Pada kamar bagian belakang rumah besar nan mewah ini, Sabila masih duduk emok seusai menunaikan shalat Ashar. Mematung dan menatap kosong. Matanya tak lepas dari gambar abstrak serupa ukiran vas pada sajadah cokelat di lantai. Gambar yang pas di tengah bagian atas sajadah.
Ruangan dengan dekorasi dominan biru ini adalah kamar di mana Sabila dan Rayyan sempat tinggal ketika mereka masih baru menikah. Kamar yang hanya ditinggali selama tak lebih dari tiga bulan sebelum terpaksa angkat kaki.
Perempuan yang masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja menimpanya itu, hanya mampu pasrah. Bahkan untuk sekadar membaca zikir dan sholawat pun, Sabila tak kuasa. Semua seolah-olah tertahan di tenggorokan.
Hingga, suara ceria Qonita, seketika membuyarkan lamunan, "Mama ..."
Sabila sontak menoleh, tersenyum menyambut sang buah hati yang berjalan cepat ke arahnya. Bedak putih sudah melumuri wajah bulat balita tiga tahun itu. Rambut ikal pendeknya basah dan tersisir rapi. Dan dress katun pink selutut, sangat menggemaskan di badan bocah imut itu.
Qonita menghampiri sang Mama, memeluknya seketika. Wangi minyak kayu putih dan bedak bayi menguar segar dari tubuh montok balita itu.
Sabila, menyingsingkan lengan mukenah biru yang masih dipakainya. Menangkup pipi gembul buah hati tersayangnya. Menatap mata bulat dengan iris hitam pekat yang menawan. Manik mata yang selalu mengingatkannya pada Rayyan.
"Qonita habis mandi? Mandi sama siapa tadi?" Ibu jari Sabila bermain-main di pipi sang putri.
"Mandi sama Mbak. Aku tadi juga digendong. Beli cilok, es, susu, sama sosis juga." Mata bulat itu berbinar. Hidung bulat kecilnya kembang kempis dan bibir serupa sang Mama itu kini dimajukan.
"Qonita suka main sama, Mbak?" Ada rasa aneh tiba-tiba muncul bersamaan dengan terlontarnya pertanyaan dari bibir Sabila. Rasa aneh serupa perasaan bersalah dan terhina. Tapi, Sabila tak benar-benar memahami apa arti semua itu.
Qonita mengangguk cepat. Menyeringai, menampilkan gigi-giginya yang rapi serupa gigi Mazidah. Sejenak Sabila teringat bagaimana kelahiran sang Putri bisa menjadi penyambung kembali tali silaturahmi yang sempat terputus oleh skandal yang telah ditimbulkan Rayyan.
Lagi, ada sejumput bimbang di hati. Mana yang akan dipilih? Berada di rumah ini demi Qonita, atau kembali pada Rayyan dan membenahi semua.
Tapi, bukankah Sabila dipulangkan? Itu artinya, Sabila dibuang. Dan Rayyan tak menghalangi kejadian itu.
Sabila masih bercakap-cakap dengan Qonita, ketika tiba-tiba suara bariton Robith mengejutkannya. "Bila ... kamu baik-baik saja?"
Lelaki kurus berkulit cerah itu berjalan cepat masuk kamar. Seorang perempuan bertubuh mungil dan berhidung mancung mengekorinya. Aina, kakak ipar Sabila.
"Cak ..." Sabila beranjak dari sajadahnya. Berdiri menyambut sang kakak. Wajahnya datar, karena masih berpikir bahwa mungkin saja Robith akan berbuat serupa Hilma dan Malik.
Sabila hendak meraih punggung tangan lelaki berkoko krem itu. Tapi, tiba-tiba saja, Robith memeluk adik bungsunya dengan erat.
Seketika hati Sabila berubah haru. Masih ada yang mau menerimanya. Tapi, apakah ini akan bertahan atau hanya kali ini saja?
"Sudah, sudah! Yang penting kamu baik-baik saja. Kamu sudah makan?" Robith melepas pelukannya dari Sabila.
Sabila hanya mengangguk pelan. Lantas sedikit melongok, melihat pada istri sang kakak, yang sedang menggendong Qonita, melalui pundak Robith.
"Yu ... " Sabila bergeser sedikit, mendekati wanita mungil bergamis katun hijau itu. Lantas, bersalaman dengannya.
Robith bergeser sedikit. Berbalik, dan melangkah keluar kamar.
Serupa dengan sang suami, Aina memeluk Sabila, setelah sebelumnya menurunkan Qonita. Membelai punggung adik iparnya dengan lembut. Hanya seulas senyum tipis dan tatapan hangat. Tanpa kata, tapi cukup menyejukkan hati yang lara.
Sabila membereskan sajadahnya. Lantas, duduk berjajar dengan Aina di bibir ranjang. Sementata Qonita sudah keluar kembali ketika barusan ada seorang santriwati yang datang menjemput. Sedangkan Robith, adik Hilma itu, kembali masuk kamar dengan membawa sebuah kursi plastik. Rupanya dia keluar untuk mengambil kursi itu dari ruang tengah. Dia meletakkan kursi itu di sisi ranjang. Lantas duduk berhadapan dengan sang adik.
"Maafkan kami, Dik. Kami baru datang dari Lumajang. Setelah dihubungi Umi tadi, kami langsung pulang." Aina menepuk pelan lutut adik iparnya.
"Iya, enggak apa-apa, Yu." Sabila tersenyum menatap hangat kepada ipar cantiknya.
Mereka bercakap-cakap ringan, sama sekali tak menyinggung permasalahan yang tengah dihadapi Sabila. Dan ini, membuat Sabila merasa benar-benar di rumah.
"Empat bulanan lagi aku akan ke Solo. Kamu ikut, ya? Kita sekalian ziarah dan jalan-jalan. Kamu pasti sudah lama enggak jalan-jalan." Robith duduk menghadap adiknya. Kedua telapak tangan menumpu pada lutut yang berbalut sarung Samarinda hijau tua.
Sabila mengangguk seraya tersenyum. Sejenak, dia melupakan Rayyan. Ternyata, kehadiran Robithlah yang bak oase di tengah padang tandus. Obrolan dengan sang kakak dan ipar, sungguh membahagiakan. Hingga, tiba-tiba Mazidah muncul dari balik pintu.
"Datang kamu, Cong?"
"Oh, Umi. Enggi. Baru saja." Robith seketika beranjak. Menghampiri sang ibu dan mencium punggung tangannya. Sementara Aina, membenahi hijab paris kuningnya, lantas bersalaman dengan sang ibu mertua.
Setelahnya, Aina segera melangkah keluar ruangan. Lantas, segera kembali, membawa kursi plastik, dan meletakkannya di sebelah kursi Robith.
"Dekremah adikmu ini?" Mazidah berdecak. Bersedekap menatap tajam pada Sabila dengan dahi berkerut. Membuat Sabila, yang sejenak lalu merasakan sedikit kelegaan, kini kembali tertunduk menahan sesak dan sedih yang seketika hadir.
"Lenggi dimin, Mi! Duduk dulu!" Robith membimbing sang ibu agar duduk di kursi plastik yang telah dibawakan Aina. Lantas, dia pun duduk di sebelah sang ibu, pada kursi plastik yang serupa.
Aina kembali duduk di sebelah sang adik ipar. Perempuan bertubuh mungil itu mendekatkan posisi pada Sabila. Mencoba menyembunyikan tangannya yang menepuk-nepuk halus punggung sang adik ipar agar tak terlihat oleh Mazidah.
"Kamu itu, ya, Bila. Harusnya berterima kasih sama Cacakmu ini. Tahun kemarin dia sampai turun dari kelas pas ngajar, demi menjemput kamu. Eh, ternyata kamunya hilang." Lagi. Mazidah berdecak.
Sabila kembali merasakan hati yang gemuruh. Ingin rasanya dia menjawab semua ucapan Mazidah, seperti apa yang biasa dilakukannya dulu. Tapi, seketika dia teringat pada Rayyan. Pesan-pesan suaminya itu masih terngiang jelas di kepala
'Sak elek-elek é umi, dia tetap ibumu. Ya kita tetap harus hormat.'
Ah, bagaimana mungkin lelaki yang katanya begitu bejat dan brengsek itu, bisa memiliki sisi baik yang sangat langka?
Hal inilah yang membuat Sabila bimbang. Rayyan masih memiliki sisi baik yang dia butuhkan. Rayyan mampu membimbing Sabila untuk bisa menahan diri di hadapan sang ibu. Tanpa Rayyan, mampukah Sabila merasa nyaman di tempat ini?
Ah, andai bukan Rayyan, pastinya tak akan tahan memiliki ibu dan mertua seperti Mazidah. Dan sebersit ingatan akan kejadian beberapa tahun lalu yang menjadi cikal-bakal pertemuannya dengan Rayyan, seketika hadir.
Bukankah pertemuannya dengan Rayyan adalah takdir Allah? Andai saja ada ketenangan dan kenyamanan dalam rumah ini, niscaya Sabila tak akan sampai tergelincir sangat jauh. Tapi, semua sudah terjadi. Dan dalam pandangan orang-orang, Sabilalah yang paling bersalah. Mana mungkin mereka akan menyalahkan Mazidah, Hilma, atau bahkan Malik?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Republish) Journey of Love
RomanceSabila Mumtazah dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Terus bertahan, atau menyerah saja. Setelah segala derita dan kehilangan yang dialami, dia masih harus terus berjuang demi sang buah hati. Berusaha meyakinkan diri akan kebahagiaan yang mun...