Bel masuk madrasah baru saja berbunyi, sekitar sepuluh menit yang lalu. Itu artinya, sebagian besar para santri sudah masuk kelas. Dan ini kesempatan bagi Sabila untuk keluar rumah dengan bebas, menuju ruang setrika. Ruangan yang berada terpisah dengan rumah utama, berjajar dengan tempat mencuci pakaian khusus keluarga pengasuh. Dan untuk sampai ke tempat itu, Sabila harus melewati jalan kecil yang melintasi asrama santriwati.
Bukannya tak boleh keluar ketika banyak santri, Sabila hanya merasa risi dan tak nyaman. Entah mengapa hal itu bisa terjadi. Padahal, dia lahir di tempat ini. Tempat yang memang selalu ramai dan banyak orang. Di mana privasi dan kesunyian menjadi hal langka. Sedangkan Sabila suka keheningan dan menyendiri.
Mungkin juga, ini dikuatkan oleh ucapan Mazidah kala itu. Ditambah beberapa kejadian, termasuk gosip menjelang pernikahan dan hengkangnya Sabila dari rumah sang ibu.
Ah, benar-benar kehidupan yang seru dan penuh kejutan.
Celingukan, menoleh ke kanan dan kiri, Sabila sangat awas dan waspada ketika melewati ambang pintu belakang. Entahlah, rasanya sangat aneh bagi perempuan berperawakan sedang itu jika harus berpapasan dengan para santri. Dan ketika dipastikan benar-benar sepi, Sabila berjalan cepat menuju ruang setrika untuk mengambil beberapa potong baju Qonita. Lantas, segera membawanya ke kamar untuk dikemasi ke dalam tas yang nantinya akan dibawa keluar hari Senin, dua hari lagi. Sementara baju yang akan dibawa ketika Qonita dijemput Aisyah, biasanya sudah disiapkam para Abdi Dalem.
Berjalan cepat dan terburu-buru, melintasi halaman pesantren putri, ternyata cukup membuat gerah. Karenanya, Sabila membuka hijab kaos instan hitam dan meletakkannya di ujung ranjang. Lalu, menggulung ujung lengan daster batiknya setelah meletakkan baju-baju Qonita yang sudah disetrika rapi di ranjang. Lantas, duduk dan mulai memasukkannya ke dalam tas.
Sembari memasukkan satu per satu baju sang buah hati, Sabila kembali teringat kejadian tahun lalu. Kejadian serupa. Yang membuatnya mengalami setahun kehidupan di kampung orang. Menemukan hal-hal baru. Pengalaman yang pastinya tak pernah dialami seorang pun dari keluarga besarnya yang merupakan keluarga ulama dan cukup disegani.
Sabila menghentikan kegiatan sesaat. Menghela napas dalam. Matanya memandang lurus dan kosong untuk beberapa saat. Lantas, mengembuskan napas pelan seraya mengulas senyum miris sembari menggeleng.
'Ternyata, keseruan hidupku ini masih akan terus berlanjut. Tuhan kalau bercanda suka lucu. Tahu banget kalau aku suka hal-hal seru.'
***
Dari kejauhan, iris kecokelatan itu menatap sendu wanita paruh baya yang sedang duduk menghadap kiblat dengan memakai mukena pada kursi plastik. Seperti biasa, bakda Maghrib, Mazidah selalu membaca dzikir di depan mushola santri putri hingga waktu Isya tiba. Ada sejumput haru tiba-tiba hadir di hati Sabila. Betapa sesungguhnya dia sangat menyayangi orangtua perempuannya itu. Berbagai perseteruan memang acap kali terjadi sejak Sabila menginjak remaja. Perseteruan yang ... sebenarnya tak mampu dipahami. Sabila tak benar-benar mampu mengingat apa sejatinya yang menjadi akar masalah semua itu.
Sabila berjalan perlahan, mendekati sang ibu. Lantas, duduk di sampingnya. Pada kursi plastik yang serupa.
"Ummi ...." Suara Sabila terdengar lembut. Bahkan jika didengarkan dengan saksama, akan terasa sedikit bergetar. Semua karena efek rasa haru dan tersekat di tenggorokan.
Perlahan, Mazidah menoleh dengan bibir yang melengkung tipis. Manik tuanya menatap sang putri dengan hangat.
Ah, Sabila pasti akan kembali merindukan tatapan hangat itu. Tapi, dia tetap harus memilih demi hal yang paling diprioritaskan. Qonita dan calon adiknya.
"Bila ... mau ngabarin sesuatu." Sabila menunduk. Jari jemarinya tertaut di pangkuan yang berbalut gamis kaos cokelat tanah. Dengan kedua jempol yang saling beradu beberapa kali di pangkuan.
"Ada apa, Bila?" Mazidah menjawab sembari tetap sibuk berkomat-kamit membaca dzikir. Tangan kananya memutar tasbih kayu koka peninggalan sang suami.
"Bila ... hamil, Mi. Sudah hampir dua bulan. " Sabila memandang wajah sang ibu yang seketika itu juga menoleh dan menatap nyalang padanya.
"Duh, Bila ... kamu, kok, ceroboh sekali, sih? Apa kamu memang tak meminum pil kontrasepsimu?" Mazidah mengernyit dalam. Menatap tajam sang putri yang menatapnya dengan tatapan sendu.
"Kemarin pas masih di Pasuruan, Bila memang sengaja lepas. Selain karena Qonita sudah tiga tahun ... Bila pikir kehadiran bayi mungkin akan membawa berkah." Kedua ujung alis Sabila turun.
Mazidah melempar pandangan lurus ke depan. Dadanya tampak naik turun. Wanita paruh baya berperawakan berisi itu menghela napas dalam dan menahannya beberapa saat sembari memejam. "Ya ... mau bagaimana lagi? Andai saja aborsi tidak haram." Mazidah mendengkus kasar.
Dan kalimat terakhir sang ibu, sukses membuat jantung Sabila mencelus. Salahkah janin di rahimnya ini? Bukankah seorang anak adalah berkah dan anugerah? Hadiah luar biasa dari Allah.
Tapi, kalimat Mazidah seolah-olah mengesankan bahwa calon bayinya adalah musibah. Sesuatu yang patut dibuang.
***
Sabila berjalan masuk kamar. Lantas, menutupnya rapat-rapat. Pada bibir ranjang, dia duduk menjuntai. Mengambil ponsel dari saku gamis biru tuanya. Menatap layar ponsel yang baru dinyalakan. Memeriksa jam pada layar. Pukul delapan pagi.
Qonita sudah berada di rumah Rayyan. Dan kini, hari yang direncanakan telah tiba.
Sabila masih saja mematung beberapa saat. Ada ragu dan cemas tiba-tiba menelusup di dada. Akankah keputusannya ini membawa pada kebahagiaan? Jika iya, apakah bahagia itu akan segera hadir? Lima tahun pernikahan bukanlah waktu yang sebentar. Dan dalam rentan waktu itu, yang Sabila rasa hanyalah sakit dan terhina. Deraian air mata seolah-olah hal lumrah dan biasa.
Sabila menghela napas dalam, lantas menekan tombol dial setelah berusaha meyakinkan hatinya dengan keputusan yang telah diambil.
Hanya butuh dua kali nada tunggu, hingga Rayyan menjawab panggilan.
"Assalamualaikum, Ma?"
"Waalaikumsalam. Aku mau berangkat sebentar lagi, Ba. Ini mau ngabarin saja. Soalnya, aku mau mematikan HP dan mengembalikannya lagi ke kamar Umi. Kamu sudah siap?"
"Iya. Sudah. Aku sayang sama kamu, Ma." Suara Rayyan terdengar berbeda. Dan seketika membuat jantung Sabila berdetak lebih cepat.
Sabila membisu, dia bingung dan tak mampu menjawab. Selama ini, yang berada dalam benaknya hanya Rayyan yang selalu menyakiti. Tapi, mendengar suara Rayyan yang berbeda, sejenak menimbulkan kembali rasa yang sempat terlupa.
Ah, ternyata ini tak benar-benar tentang Qonita. Masih ada sejumput cinta yang tersisa.
"Ma ... kamu masih di situ, kan?"
"Eh, iya, Ba. Udah, ya, aku mau balikin HP ini. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Seketika Sabila menekan tombol merah. Lantas, menjatuhkan tangan yang masih menggenggam ponsel di pangkuan. Lagi, Sabila mematung dan pikirannya menerawang jauh. Berbagai kejadian yang lalu, termasuk kepergiannya ke Pasuruan tahun lalu, kembali muncul dalam benak.
'Apakah Rayyan memang mencintaiku? Lantas, mengapa dia setega itu menyakitiku hampir tanpa jeda?'
KAMU SEDANG MEMBACA
(Republish) Journey of Love
RomanceSabila Mumtazah dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Terus bertahan, atau menyerah saja. Setelah segala derita dan kehilangan yang dialami, dia masih harus terus berjuang demi sang buah hati. Berusaha meyakinkan diri akan kebahagiaan yang mun...