Meskipun komunikasi antara Sabila dan Rayyan bisa dikatakan lancar, tapi sudah lebih dari sebulan, tak ada sedikit pun terdengar rencana Rayyan akan datang menjemput. Membuat Sabila kembali ragu dengan kesungguhan suaminya itu. Dan ini membuat Sabila memutuskan untuk melakukan shalat istikharah dini hari tadi.
Meskipun jawaban dari istikharahnya kali ini merupakan petunjuk untuk bertahan, tapi Sabila ragu. Pasalnya, dia ingat betul bagaimana jawaban istikharah dan musyawarah ketika memutuskan menikah dengan Rayyan dulu. Jawaban baik. Tapi, nyatanya semacam ini. Karenanya, Sabila ingin mencari kemantapan hati sebagai pendukung petunjuk yang diterimanya.
Dengan berusaha memantapkan hati, Sabila melangkah ke mushola santri putri. Sengaja, malam ini, dia memperbaiki penampilan. Memulas wajah dengan bedak dan gincu tipis. Agar kegundahan dan kesedihannya tersamarkan. Pun dengan pakaian yang kini berganti dengan gamis ceruti toska pemberian Hilma. Karena, baju-baju Sabila masih tertinggal di Pasuruan. Rumah kontrakannya setahun terakhir.
Sabila ingin mencoba membangun komunikasi dengan sang ibu. Berharap tak lagi salah menentukan langkah.
Sabila duduk perlahan di samping sang ibu. Pada kursi plastik di depan mushola. Biasanya Mazidah selalu duduk di tempat itu sembari membaca dzikir untuk menunggu waktu sholat Isya. Sementara di mushala, para santri duduk melingkar, terbagi dalam beberapa kelompok tadarus Al Quran. Suasana yang begitu khas dan akrab bagi Sabila sejak kanak-kanak.
"Qonita mana?" Suara Mazidah cukup lembut. Beberapa waktu terakhir, memang sikap sang ibu sudah lumayan berubah. Tak lagi mengungkit-ungkit masalah yang terjadi pada putrinya itu.
Ada sebersit kelegaan dalam hati Sabila. Dan andai sang ibu selalu bersikap begini, mungkin Sabila akan mampu memilih jalan yang terbaik. Mempertimbangkan keputusannya lebih matang.
"Ada sama Mbak Santri. Tadi main di asrama." Sabila mendongak, menatap langit cerah dengan bintang-bintang gemerlapan.
Bibir Mazidah masih berkomat-kamit, melafalkan dzikir yang selalu dibacanya setiap usai shalat. "Anakmu kerasan di sini. Syukurlah. Dulu, aku sangat khawatir, karena kamu pulang ke Dringu. Enggak ada yang membantumu mengasuh Qonita, kan?"
Sabila menurunkan pandangan, menoleh kepada sang ibu. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Berusaha menyembunyikan rasa tak nyaman yang tiba-tiba hadir. "I-iya, Mi. Di sana, kan, enggak ada santri mukim."
"Apalagi dulu, dia itu sangat kurus. Sudah kayak kurang gizi saja. Pasti di sana makan snack sembarangan. Kamu itu sama anak, harusnya, ya dijaga!" Mazidah melihat sang putri dari sudut matanya. Lantas, kembali menjatuhkan pandangan ke halaman mushola yang berlapis paving.
"Ah, sama saja, kok, Mi. Ummah sangat perhatian sama Qonita. Mbak Aisyah juga."
Mazidah hanya tersenyum sinis mendengar penjelasan sang putri. Tak mengalihkan pandangan dari paving yang tertata rapi di bawah kakinya.
"Oh, ya, Mi. Semalam delem melakukan shalat istikharah. Dan ... hasilnya petunjuk untuk bersabar dalam pernikahan. Kadi ponapah? Bagaimana, Mi?"
Mendengar kalimat sang putri, Mazidah seketika menoleh. Beberapa saat menatap Sabila. Lantas, kembali melemparkan pandangan lurus ke depan. Wanita lima puluh tahun itu mendengkus sekali dan kembali tersenyum sinis. "Istikharah itu dipengaruhi gerak hati. Kamu saja yang masih tidak bisa lepas dari Rayyan. Toh, nikahan kamu juga dengan istikharah. Tapi nyatanya?"
Sabila terdiam. Kini dia menunduk. Memainkan jari-jarinya di pangkuan.
"Kamu itu wis salah langkah. Gimana anakmu itu sekarang? Pastinya, tak bakalan ada yang mau ngelamar. Wong bapaknya kayak gitu. Kamu itu tak perlu khawatir, Bila. Yang mau sama kamu itu banyak."
Sabila tersentak dengan ucapan sang ibu. Bagaimana mungkin kalimat yang terdengar seperti kutukan itu bisa keluar dari bibir wanita yang senantiasa melantunkan dzikir? Inikah seorang nenek kepada cucunya? Mengutuk dengan tanpa beban.
Sabila menatap nyalang sang ibu dari samping beberapa saat. Sebelum kemudian kembali menunduk. "Enggi, Mi."
Keduanya meneruskan obrolan hingga lantunan adzan Isya terdengar. Obrolan beberapa menit yang bagi Sabila hanya terdengar seperti serentetan mantra sihir kutukan.
Dan ini membuat Sabila kembali bertekad. Meyakini petunjuk yang didapat semalam. Menganggap segala yang terjadi hanya ujian untuk rumah tangganya. Ujian yang nanti akan mengantar keluarganya menjadi manusia-manusia pilihan. Terutama Qonita dan semua keturunannya.
'Aku tak akan pernah bercerai dengan Rayyan sebelum dia berubah menjadi ayah yang patut dibanggakan.'
***
Setelah mengunci pintu kamar rapat-rapat, Sabila menjatuhkan tubuh pada ranjang empuk berbalut sprei biru bermotif batik. Menatap layar ponsel dengan pikiran yang begitu riuh. Kalimat sang ibu tadi, benar-benar mengusik hati.
"Pastinya, tak bakalan ada yang mau ngelamar. Wong bapaknya kayak gitu."
Bagaimana mungkin seorang ibu akan menjadi egois hanya demi dirinya sendiri? Hidup Sabila sudah tamat. Semua sudah kepalang basah. Kini, yang terbentang di hadapan hanya perjuangannya berbenah. Mematahkan semua hinaan yang ditujukan kepada putrinya.
Sayup-sayup terdengar suara dzikir bakda shalat Isya dari mushala santri putra dan putri. Baru saja, jemaah Isya usai dilaksanakan. Sabila memang sengaja mengakhirkan shalat Isya untuk dilaksanakan nanti, ketika dia terbangun untuk shalat malam.
Ibu jari perempuan yang begitu resah itu masih memainkan benda pipih di tangannya. Membaca kembali history pesan antara dia dan Rayyan beberapa waktu terakhir. Memikirkan lagi, langkah apa yang mungkin ditempuh. Hingga, Sabila memutuskan untuk menghubungi suaminya.
Butuh menunggu tiga kali nada panggilan, hingga telepon tersambung. Seketika terdengar ucapan salam dengan nada suara yang bersemangat dari seberang. Dan Sabila seketika menjawab dengan nada cukup lirih, sebab hati yang gundah.
"Kamu kenapa? Kok, nada suara kamu jadi begitu?"
"Kapan aku dijemput, Ba? Ini sudah lebih dari sebulan. Kamu serius, kan?"
"Tentu saja. Aku, kan, masih membujuk Abah dan Ummah, Sayang."
"Ah, aku tak perlu panggilan sayang darimu. Kalau kamu memang serius, segera jemput aku! Atau, kamu memang ingin anakmu terus dihina di sini?"
"Apa maksudmu, Ma?"
"Sudahlah, Ba! Kau sudah tahu bagaimana orang-orang memandang kita. Ini berpengaruh pada Qonita. Tadi juga Umi menghina Qonita terang-terangan. Sebagai ibu, hatiku sakit, Ba. Aku yang mengandunnya selama sembilan bulan. Apakah hatimu sudah mati, hah?" Suara Sabila bergetar. Matanya pun mulai berkaca-kaca.
"Kau tenang dulu, Ma! Tadi ada kakak sepupu bertamu. Mungkin ini bisa jadi jalan keluar bagi kita."
"Bagaimana aku bisa tenang?"
"Ma ... Kita enggak mungkin kembali lagi ke Pasuruan. Semua barang-barang sudah diangkut dari sana beberapa hari lalu. Dan aku, seperti keinginanmu, aku sedang mencari pekerjaan. Tadi, ada saudara sepupu menawariku pekerjaan untuk membantunya berdagang di pasar hewan."
"Entahlah, Ba. Aku pasrah saja. Yang jelas demi Allah, aku enggak mau bercerai darimu sebelum kau bisa menjadi ayah yang bisa dibanggakan. Jika setelahnya jodoh kita habis, aku tak perduli. Hidupku sudah tamat. Semua ini demi Qonita."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Republish) Journey of Love
Roman d'amourSabila Mumtazah dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Terus bertahan, atau menyerah saja. Setelah segala derita dan kehilangan yang dialami, dia masih harus terus berjuang demi sang buah hati. Berusaha meyakinkan diri akan kebahagiaan yang mun...