Tiga

573 108 8
                                    

Sabila baru saja melakukan salam pertama shalat Dhuha, ketika terdengar suara dua wanita bercakap-cakap pelan. Diiringi langkah yang salah satunya terkesan sedikit diseret, yang sepertinya berasal dari balik dinding kamar yang merupakan jalan berupa lorong khusus tamu wanita. Suara yang sepertinya familier.

Tapi, Sabila sangat malas untuk sekadar beramah-tamah dengan siapa pun. Karenanya, Sabila memutuskan mengurungkan niat berkunjung ke rumah Robith sampai tamu-tamu itu pulang. Sekalian saja tak perlu menunjukkan diri di hadapan siapapun.

Sabila meraih tasbih kayu yang tergeletak di ujung sajadah. Merapalkan Sholawat Jibril satu demi satu, berharap untaian pujian dan doa kepada Rasulullah itu mampu mendamaikan hati.

Hal yang masih patut disyukuri. Selama hampir lima tahun pernikahannya, Sabila masih mampu menjaga istiqomahnya melaksanakan sholat Dhuha. Dan dini hari tadi, dia sangat bersyukur ketika terbangun pukul tiga pagi dan melaksanakan sholat malam. Hal yang jarang dilakukannya memang, mengingat banyak masalah melelahkan yang telah terjadi padanya sepanjang perjalanan pernikahan yang sama sekali tak mulus.

Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah gorden peach di hadapannya, terasa hangat dan seketika menimbulkan setitik kerinduan di hati. Kali ini, bukan kerinduan pada Rayyan, tapi pada masa lalu. Masa di mana dia masih kanak-kanak. Di mana dia tak terlalu memedulikan apa yang terjadi di sekitar. Masa di mana yang dia tahu adalah mengejar mimpi dan cita-cita yang terasa sangat indah.

Bibir dengan cupid's bow di kedua sudutnya itu sedikit tertarik ke atas. Tapi, disertai dengkusan ringan. Rasa rindu itu kini bercampur miris dan kesedihan. Entah sejak kapan, semua berubah mengerikan begini. Cita-citanya kandas dan membuatnya terdampar dalam pernikahan yang menyakitkan. Hingga akhirnya, harus berada di titik ini. Titik di mana dia harus bertahan untuk kembali tegar.

"Bila ...." Suara Mazidah yang terdengar lembut, tiba-tiba saja membuyarkan lamunannya. Ada rasa aneh yang seketika muncul, mendengar nada suara sang ibu yang mendadak menjadi selembut itu.

"Enggi, Mi?" Sabila seketika menoleh. Meletakkan tasbih kayunya. Lantas beranjak dari sajadah. Berdiri sembari menyelak mukenah, menghadap wanita bergamis hijau tua yang telah berdiri di ambang pintu.

"Itu, ada Ammah Rohilah sama Fathiyah. Nyariin kamu. Temui dulu, sana!" Lagi, selain nada suara yang lembut, air muka Mazidah pun mendadak cerah dan semringah.

Sejenak timbul curiga di hati Sabila. Tapi, seketika ditepisnya. Kembali teringat nasihat-nasihat Rayyan tentang sang ibu.

'Tak baik terus menerus menyimpan curiga. Apalagi kepada Umi.

Lelaki itu masih saja menawan di hati Sabila. Dengan semua perbuatan menyakitkan yang selama ini dilakukan. Satu hal yang tak mungkin ditemui dari lelaki lain, Rayyan mampu menahan diri untuk tak mengumpat atau marah pada Mazidah. Tapi ... mengapa dia setega itu pada Sabila?

Sabila segera merapikan mukenah dan sajadah. Mengikuti sang ibu ke ruang tamu belakang.

Seorang wanita paruh baya, berbadan berisi serupa Mazidah, tersenyum ramah ketika Sabila muncul dari balik pintu. Pun dengan wanita di sampingnya. Perempuan seumuran Hilma dengan tahi lalat di pipi. Mereka adalah ibu dan anak, sepupu jauh Mazidah dan putrinya.

Sabila berjalan mendekati keduanya. Mencium punggung tangan wanita paruh baya berabaya hitam, dan berjabatan dengan perempuan berhijab panjang dengan niqab yang terbuka.

"Alhamdulillah ... kabarnya baik, Nak?" Rohilah duduk kembali. Tersenyum menatap Sabila dengan tatapan yang menyiratkan kasihan dan sedikit miris. Dan Sabila benci tatapan yang seperti itu.

Sabila duduk bersebelahan dengan sang ibu. Pada kursi kayu berlapis spons abu-abu yang berhadapan dengan kedua tamunya.

"Alhamdulillah ...." Sabila menjawab sopan.

"Syukurlah. Akhirnya kamu kembali lagi ke sini. Umimu ini sangat merindukanmu, Nak. Dia sering main ke rumah hanya untuk bercerita tentangmu. Mengobati kerinduannya. Sekarang, kamu temani Umimu ini. Jangan pergi-pergi lagi! Jangan lagi terpedaya pada lelaki seperti suamimu itu!"

Basa-basi yang terdengar dari bibir sang bibi, seperti irisan sembilu di hati. Kembali mengoyak luka lama. Tak ubahnya kritikan dan cecaran kalimat yang didengarnya dari mulut Mazidah kemarin.

"Enggi ...." Sabila hanya menjawab sopan. Meskipun perkataan sang bibi sangat menyakitinya. Dan tiga puluh menit ini, menjadi tiga puluh menit yang menyakitkan.

Sudah biasa Sabila mendengar kalimat-kalimat serupa yang diucapkan sang bibi dari orang lain. Kalimat yang terkesan menyudutkan. Sabila sangat hafal bagaimana Mazidah dan seluruh keluarganya yang selama ini selalu membicarakannya di luaran. Tapi, dia berusaha bergeming. Berharap Allah akan membantunya menunjukkan fakta.

Kepergian Sabila dari rumah ini di awal pernikahan, masih menjadi bahan gunjingan yang baginya sangat berat sebelah.

Entahlah, mengapa semua orang menuntut tanggung jawab Sabila terhadap kebahagiaan sang ibu? Seolah-olah, hanya ibunya yang teramat menderita karena pernikahannya yang penuh konflik. Tak pernahkah terpikir dalam benak mereka bahwa sejatinya yang paling menderita di sini adalah Sabila? Orang yang benar-benar berada dalam pusaran konflik.

***

Sebuah motor matic merah 125cc terparkir di halaman. Sabila yang baru pulang dari rumah Robith, menatap kendaraan itu sembari meneruskan langkah ke samping rumah. Melewati lorong kecil, masuk rumah melalui pintu belakang. Siapa lagi yang kini bertamu? Baru lima hari berada di rumah ini. Tapi kunjungan kerabat, tak henti datang.

Karena penasaran, melalui celah daun pintu ruang tengah yang sedikit terbuka, Sabila mengintip ke ruang tamu depan. Benar sekali, seorang paman jauh, adik sepupu sang ayah, kini datang berkunjung.

"Itu, Kiai Fauzi, yang istrinya baru meninggal, lagi cari istri. Mungkin bisa kita jodohkan dengan Sabila, Yu."

Kunjungan dari kerabat beberapa hari ini, beragam bentuknya, ada yang dengan terang-terangan menemui Sabila, ada yang hanya menemui Mazidah seperti kali ini. Dan percakapan yang terdengar barusan, sungguh teramat tak nyaman didengar.

Bukankah Rayyan belum menjatuhkan talak padanya? Dia masih istri Rayyan. Sabila hanya dipulangkan. Dan hal ini seketika memunculkan keinginan bagi Sabila. Menanyakan maksud yang sebenarnya dari Rayyan. Apakah dengan dipulangkannya Sabila seperti ini, sudah jelas merupakan tanda perpisahan di antara mereka.

Seketika Sabila teringat ponsel satu-satunya yang terbawa olehnya. Ponsel yang selama ini digunakan berdua dengan Rayyan. Sabila harus mencari cara menghubungi suaminya. Selama lima hari ini, komunikasi di antara mereka, sama sekali terputus.

***

Untuk mengisi waktu senggang dan mengalihkan fokus, Sabila menyibukkan diri dengan membaca buku-buku di ruang baca. Sayup-sayup terdengar suara dua orang bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa dari ruang tamu belakang. Padahal, biasanya tamu-tamu Mazidah berbahasa Madura.

"Duh, baru seminggu, masak sudah dijemput?" Suara Mazidah dari ruang tamu belakang, terdengar aneh di telinga Sabila.

"Iya, Nyai. Rayyan kangen sama Qonita katanya." Suara perempuan yang tak asing di telinga Sabila.

Sabila mendadak menutup buku dan beranjak. Melangkah perlahan, mengintip melalui daun pintu ke ruang tamu belakang.

Benar saja, Aisyah, kakak iparnya, pagi ini datang bertamu. Kemungkinan, dia akan menjemput Qonita. Dan ini kesempatan bagi Sabila untuk mengirimkan ponsel yang ada padanya. Sementara Sabila sudah berencana untuk meminjam salah satu ponsel sitaan--dari santri yang melanggar larangan membawa ponsel--yang ditemukannya di kamar sang ibu kemarin. Sabila bisa meminjamnya diam-diam.

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang