Dua Puluh Sembilan

209 32 5
                                    

Sesosok tubuh berbalut mukenah, duduk emok dengan tangan yang menengadah setinggi dagu. Mata gadis itu memejam dengan bibir yang berkomat-kamit. Melangitkan doa. Terlarut dalam harap yang disemogakan.

Suasana tak terlalu ramai, cenderung sepi. Hanya ada tak sampai sepuluh santri putri yang sudah datang. Di pesantren sebesar Darunnajah, tentu saja akan terasa sangat sepi. Karena jumlah santri yang belajar di sini sekitar tiga ribu santri perempuan saja.

Kebanyakan santri yang datang sebelum jadwal adalah para santri dari luar Jawa, atau mereka yang sengaja datang awal.untuk beberapa hari berkhidmah kepada keluarga pengasuh. Karena sejatinya, saat ini masih jadwal liburan. Masih tersisa dua hari lagi hingga jadwal kembali ke pesantren yang sebenarnya.

Sabila baru saja melaksanakan sholat Dhuha. Setelah bakda Subuh tadi menyapu di ndalem. Pada pagi yang masih hangat semacam ini, di mana mentari baru saja menampakkan diri, Sabila masih tenggelam dalam lautan doa yang sudah beberapa tahun ini dilangitkan terus-menerus. Doa yang sama yang diulang tanpa bosan dan tak putus asa.

"Ya Allah, karuniailah hamba, jodoh yang baik menurut-Mu. Dia yang menyayangi hamba dan keluarga hamba. Bersabar dan mampu menghadapi ibu hamba. Dia yang mampu mempererat tali silaturahmi antara hamba dan seluruh keluarga hamba. Dan jadikan pernikahan kami sebagai berkah bagi sekitar."

Bukan tanpa sebab Sabila berdoa semacam itu, dia hanya sangat mengkhawatirkan masa depannya. Dua hari lalu, perseteruan kembali terjadi antara Hilma dan sang ibu. Dan tentunya, Robith sebagai satu-satunya anak lelaki yang ada di Faizul Ulum, kembali terseret. Permasalahannya sama, perebutan siapa yang berhak menjadi pengasuh pesantren.

Dua tahun sejak meninggalnya sang ayah, perseteruan makin memanas, alih-alih mereda. Mazidah yang sama sekali tak mau mengalah, pun Hilma yang bosan dengan sikap otoriter sang ibu. Dan ini juga dipengaruhi oleh sikap suami Hilma yang tak tahan juga dengan tekanan-tekanan sang mertua.

Semua anak-anak harus menuruti kehendak Mazidah. Hanya Robith yang mampu meredam egonya, meskipun di belakang, dia juga mengeluh. Tapi, minimal di depan Mazidah dia bisa menahan diri.

Dan Sabila? Tentu saja sangat muak dengan keadaan ini. Karenanya, dia meminta untuk kembali ke pesantren beberapa hari sebelum jadwal yang semestinya. Beralasan ingin mengabdi di ndalem kiai. Meskipun sejatinya, hanya untuk melarikan diri.

Inilah yang membuat Sabila selalu mendamba memiliki seorang imam yang mampu membimbingnya. Terlebih lagi dia sadar bahwa sangat sulit menyadari sikap-sikap sang ibu. Hanya lelaki istimewa saja yang mampu. Lelaki dengan kesabaran ekstra. Pun perseteruan yang acap kali terjadi antara dia dan sang ibu, membuatnya teramat khawatir. Sabila tak ingin makin durhaka. Dan imam yang mampu membimbingnya menjadi anak berbakti adalah imam dambaannya.

Tiba-tiba saja, satu tepukan halus di pundak, membuat Sabila membuka mata. Menyelesaikan doa dan menoleh gegas.

"Keluar, yuk! Cari makan!" Seorang gadis telah duduk bersila di samping Sabila.

Seketika sabila mengangguk, mengiyakan ajakan gadis itu. "Hu'um. Aku ngelipat mukenah dulu."

***

Ngaji Sorogan, salah satu kegiatan favorit Sabila di pesantren. Pengajian tak wajib yang diadakan pada pagi sebelum jam sekolah dan sore hari setelah jam sekolah sore sampai menjelang adzan Maghrib. Sejak masuk pesantren, Sabila selalu mengikuti hampir semua ngaji sorogan yang diadakan. Meskipun risikonya adalah, dia harus menunda waktu sarapan atau kesulitan mendapat antrian kamar mandi untuk bersuci. Tapi, Sabila hampir tak pernah absen. Bahkan, dia memiliki cara tersendiri agar bisa dengan mudah langsung menunggu waktu salat Maghrib tanpa antri.

Sabila memiliki prinsip bahwa setiap keinginan pasti terkabul. Dan setiap kesulitan sejatinya hanyalah harga yang harus dibayar untuk menggapai keinginan luhur.

Karenanya, semangat untuk belajar di pesantren, memang tak diragukan lagi. Selain memang merupakan santri yang cerdas, pun Sabila rajin mengikuti berbagai kegiatan.

Seperti pagi ini, Sabila sibuk menulis makna pegon pada kitab yang sedang dikaji. Sementara dari pengeras suara mushola, terdengar suara seoarang ustadzah membacakan kitab dan makna Jawa dengan perlahan, diselingi dengan keterangan singkat.

"Jadi, Nduk .... Surganya perempuan yang sudah menikah itu, ya, ada di suami. Wis bukan di orangtua lagi. Kasarane, kalau antara ibu dan suamimu itu memanggil barengan, kalian itu harus datang ke suami duluan. Beda sama lelaki yang selamanya ya sama ibunya."

Para santri mendengarkan keterangan dengan saksama. Mengangguk-angguk seolah-olah telah paham. Dan sejenak lalu, muncul kembali ingatan bertahun-tahun lalu tentang celetukan Hilma. Celetukan yang membuat Sabila tak nyaman. Berkenaan dengan panjang jari kaki.

"Kalau mau surga, ya manut sama suami. Selagi bukan hal yang melanggar syariah, manut sama suami itu ibaratnya manut Gusti Allah. Kalian manut suami itu, diniati karena Allah. Murni mengharap ridho-Nya. Insyaallah hidup kalian akan senantiasa dinaungi maunah dan hidayah. Senantiasa diridhoi. Endak ada yang lebih berharga daripada keridhoan Allah."

Lagi ... sekelumit harap dan tekad terpatri di hati Sabila. Mengharap ridho Allah. Menjadi perempuan baik yang istimewa. Terlebih lagi, jika itu mampu membuat hidupnya bahagia dan berharga. Karena, selama ini Sabila merasa kesepian dan diabaikan.

***

Sabila setengah berlari terburu-buru menuju aula pesantren, di mana kegiatan pengajian mingguan dilaksanakan. Pengajian sorogan mingguan hanya dilaksanakan pada Senin petang, bakda Maghrib, dan hanya diikuti oleh santri yang cukup senior. Yang mengisi adalah Kiai sendiri, bukan ustadz atau ustadzah. Karenanya, banyak santri yang giat dan bersemangat mengikuti pengajian ini. Ngalap berkah, menurut mereka.

Tapi kali ini, karena mendapat hajat yang sangat tiba-tiba, Sabila harus ke kamar kecil terlebih dahulu. Dan akhirnya sedikit terlambat mengikuti pengajian.

Terdengar Kiai sudah memulai pengajian. Sabila berjalan perlahan sedikit menunduk. Dan karena sedikit terlambat, dia mendapat tempat paling belakang.

Setelah mendapat tempat, Sabila duduk emok. Membenahi sarung batik dan baju kurung hijaunya. Membuka kitab. Lantas, bertanya kepada seorang teman yang duduk di sebelahnya dengan nada berbisik, "Halaman berapa, Mbak?

Tanpa menjawab, gadis bergamis cokelat itu menunjukkan kitabnya pada Sabila, membuat Sabila tahu halaman berapa yang kini tengah dikaji.

Perlahan, Sabila membuka halaman yang dimaksud. Menyiapkan pena, dan duduk tenang mendengarkan keterangan sang Kiai.

" ... Raja itu telah menjaga sang putri sejak lahir dengan penjagaan yang sangat ketat. Semua dia lakukan karena ingat bahwa ketika masih muda, dia pernah mengganggu anak gadis orang. Dia tak mau anak gadisnya mengalami hal yang sama. Tapi, ternyata semua penjagaan itu sia-sia. Anak gadisnya tetap mendapat gangguan. Seorang pemuda telah menciumnya ketika sang penjaga lengah. Saat itulah sang Raja sadar. Kalau sebenarnya, yang harus dia lakukan bukanlah menjaga anak gadisnya seketat itu, melainkan meminta maaf dan mantaubati dosa dan kesalahannya. Raja terlalu angkuh dan sombong, merasa usaha fisiknya akan berguna. Dia lupa bahwa semua ini Allah yang mengaturnya ...."

Sabila terdiam. Mendengarkan dan memikirkan keterangan sang Kiai. Membuat angannya menerawang jauh.

Sejenak timbul pemikiran dalam hatinya, 'Jika aku ingin memiliki anak keturunan yang baik, maka aku harus berbuat baik. Tak boleh sedikit pun melakukan kesalahan. Aku harus bisa menjaga diri. Menjadi gadis baik, lalu menjadi ibu yang baik.'

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang