Sesosok tubuh berbalut kaos putih, terlentang pada dipan kayu dengan kasur kapuk queen size. Kedua telapak tangannya terlipat, menyangga kepala yang sedari tadi menatap kosong ke langit-langit kamar. Suasana hening, hanya terdengar bunyi baling-baling kipas angin dinding yang menyala.
Pada pagi hari menjelang siang begini, alih-alih membuka gorden dan membiarkan sinar mentari masuk dengan leluasa, Rayyan malah memilih untuk menutup jendela dan pintu. Membuat kamar menjadi temaram oleh sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela di antara gorden yang sedikit terbuka.
Sudah seminggu ini, lelaki yang merasa sangat menyesal dan tak berharga itu, mengurung diri di kamar. Kalau bukan karena omelan ibunya, niscaya Rayyan tak akan pernah keluar untuk makan. Bahkan, untuk salat dan bersuci pun, Rayyan berusaha keluar dengan memastikan bahwa tak ada seorang pun yang akan berpapasan dengannya, meskipun itu ibu dan ayahnya. Rayyan tak ingin menemui siapa pun, kecuali Sabila dan Qonita.
Rasa sesal senantiasa menghantui benak lelaki tiga puluh tahun itu. Bagaimana mungkin dengan bodohnya, minggu lalu, dia membiarkan satu-satunya perempuan yang mau hidup bersamanya, diseret paksa ke dalam mobil? Tak henti Rayyan merutuki perbuatannya sendiri. Perbuatan bodoh yang membuatnya sangat menyesal.
Dan kini, dia tak tahu harus berbuat apa? Dia tak memiliki sedikit pun keberanian untuk menjemput anak dan istrinya ke rumah sang mertua. Bahkan, untuk menjemput putri semata wayangnya saja, dia harus meminta bantuan Aisyah.
'Sungguh engkau sangat pengecut, Rayyan!'
Umpatan itu tak henti bergema di kepala. Membuatnya tak mampu bahkan untuk sekadar memejamkan mata. Siang dan malam tak ada beda, Rayyan tak mampu untuk tidur.
Rayyan masih dalam posisi yang sama, ketika sayup-sayup terdengar suara salam yang begitu khas. Suara ceria Qonita. Dan itu membuatnya seketika tersentak dan beranjak gegas. Turun dari ranjang dan keluar kamar.
Kaki telanjang lelaki bersarung itu begitu cepat melewati tiap ubin antara kamarnya dan ruang tamu. Membuatnya berdiri sedikit terengah-engah ketika melihat sang buah hati berada di gendongan Aisyah. Melambai padanya, melewati ambang pintu.
Tatapan kosong yang tadi, kini berubah berbinar. Wajah tanpa ekspresi itu seketika semringah.
"Baba ...." Qonita membentangkan tangan. Aisyah mendekatkan keponakannya perlahan pada sang ayah.
"Qonita ...." Rayyan seketika mengambil putrinya dari gendongan sang kakak. Mencium pipi chubby-nya dan memeluk erat. "Qonita kangen Baba, enggak?"
"Hu'um." Bocah gembul itu mengangguk dalam dekapan sang ayah. Sedikit meronta ketika dirasa dekapan itu tak jua terlepas. "Sakit, Ba."
"Oh, Maaf, Nak." Rayyan segera merenggangkan dekapannya. Dan Qonita meronta meminta untuk diturunkan.
"Aku mau main."
Dengan berat hati, Rayyan membiarkan sang putri turun dan lepas dari dekapannya. Melihatnya berlari melewati ambang pintu depan.
"Biarkan dia main! Banyak bocah bermain-main di halaman. Nih, baju dan perlengkapan Qonita. Aku mau pulang dulu. Mau istirahat." Aisyah memberikan tas karton cokelat yang berisi pakain Qonita pada Rayyan. Lantas, segera berbalik, dan melangkah keluar.
Rayyan melongok isi dalam tas. Lantas, menutupnya dan memutar tubuh, hendak kembali ke kamar.
Tanpa menghidupkan lampu atau membuka jendela, Rayyan meletakkan tas karton itu begitu saja. Kembali berbaring seperti tadi. Membiarkan dirinya perlahan dib*nuh sesal.
Hingga, hampir satu jam kemudian, dengungan serupa deringan ponsel terdengar. Rayyan beringsut, duduk menjuntai di bibir ranjang. Meraih tas karton itu setelah memastikan bunyi itu berasal dari dalam tas. Menumpahkan isinya di atas kasur.
Dan betapa terkejutnya dia, menakala menemukan benda pipih dengan layar menyala, terjatuh dari dalam tas. Sebuah nomor tanpa nama, terpampang di layar.
Dengan sedikit ragu, Rayyan meraih ponsel. Menjawab panggilan itu. "A-ssalamualaikum."
"Baba ... ini aku. Qonita sudah sampai?" Suara Sabila yang tiba-tiba terdengar, seketika memacu detakan jantung tak beraturan di dada Rayyan. Antara senang dan cemas berbaur menjadi satu.
"Mama? P-pakai HP siapa?"
"HP sitaan. Aku pinjam sembunyi-sembunyi. Baba mau jemput aku dan Qonita? Kita segera kembali ke Pasuruan, ya? Aku di sini enggak betah. Aku capek, Ba. Baba enggak kangen sama aku?"
Kalimat demi kalimat yang terdengar, bak rentetan peluru yang menghujam hati Rayyan, membuatnya semakin merasa tak berguna. Rayyan memang masih hidup, tapi tak ubahnya mayat. Membiarkan istri yang seharusnya dilindungi, sendirian menghadapi cacian dan cercaan dari keluarganya. Rayyan sudah menerka apa yang mungkin dikatakan mertua dan ipar-iparnya pada Sabila. Tapi, Rayyan malah berdiam saja, tak mampu berbuat apa pun.
"Ehm ... Tentu saja, Ma. Aku tak berniat menceraikanmu. Sabar dulu, ya, Ma? Aku sedang merayu Abah dan Ummah agar mau menjemputmu. Keadaan begini, kurang sopan kalau kamu hanya dijemput olehku. Harus keluarga besar." Rayyan berkilah. Berusaha mengarang alasan hanya demi menyelamatkan dirinya sendiri.
"Memang harus begitu, ya? Tapi, apa benar kamu enggak akan menceraikanku?"
"Enggak, enggak, Ma. Demi Allah, aku enggak ingin berpisah denganmu. Kejadian kemarin itu di luar kendali. Semua terjadi begitu saja."
"Kalau begitu, segera jemput aku! Aku tak suka di sini. Beberapa kerabat datang menjenguk. Aku tak suka dijenguk. Mereka hanya menyalahkan dan menyudutkanku. Apalagi, sepupu Abi kemarin datang. Dia bermaksud menjodohkanku dengan Kiai Fauzi?"
Deg!
Seketika dada Rayyan bagai dihimpit batu besar. Dia kembali tersadar siapa dia dan siapa istrinya. Istrinya adalah wanita dari keluarga terhormat. Tak sedikit Kiai dan Gus yang hendak melamarnya dulu. Dan merupakan hal yang luar biasa, ketika Rayyan mampu mendapatkannya. Bahkan, pengorbanan Sabila, tak mungkin dengan mudah ditemui pada wanita lain. Meskipun, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Rayyan, sikap Sabila yang terkadang masih saja terlalu dominan dan penuntut.
"Tapi, kita, kan, tak bercerai, Ma. Kita hanya jeda saja. Ini bukan langkah awal menuju perceraian. Sama sekali bukan." Lagi, Rayyan berusaha meyakinkan istrinya.
Meskipun dia sama sekali tak yakin mampu kembali menjemput anak dan istrinya, tapi egonya tak mau melepas perempuan yang masih dikasihinya itu untuk orang lain.
"Tapi, Baba bakal jemput beneran, kan?"
"Iya. Pasti. Pasti."
Keduanya mengobrol beberapa saat, yang tentunya lebih didominasi oleh curahan hati Sabila perihal ketidaknyamanannya berada di rumah sang ibu. Hingga, tiba-tiba Sabila mendadak memutuskan sambungan telepon. Membuat Rayyan terkejut dan seketika berpikiran buruk. Khawatir kalau sang mertua menemukan Sabila sedang menghubunginya.
Dan, beberapa menit kemudian, sebuah pesan text mendarat di layar ponsel yang membuat Rayyan seketika membacanya.
[Ba, udah dulu, ya? Aku ini sembunyi di kamar mandi. Kayaknya ada orang di luar. Aku takut ketahuan Umi.]
[Iya, Sayang. Kamu jangan khawatir, ya? Tunggu aku. Aku pasti akan menjemputmu.]
Rayyan segera membalas pesan itu. Berharap pesannya mampu membuat Sabila tenang. Meskipun sebenarnya, ada ragu yang seketika muncul di hati.
Mampukah Rayyan memenuhi janjinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Republish) Journey of Love
RomanceSabila Mumtazah dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Terus bertahan, atau menyerah saja. Setelah segala derita dan kehilangan yang dialami, dia masih harus terus berjuang demi sang buah hati. Berusaha meyakinkan diri akan kebahagiaan yang mun...