Sembilan

293 64 17
                                    

Di belakang ambang pintu kamar, Sabila memeriksa jam pada ponsel. Setengah sembilan pagi. Waktu yang pas. Apotek akan buka setengah jam lagi.

Sabila membenahi jilbab instan dan gamis katun birunya. Menghela napas dalam, lantas mengembuskannya lewat mulut. Meyakinkan diri dengan niatnya. Seminggu berlalu dari kejadian bakda Maghrib itu. Kala sang ibu merendahkan Qonita dengan begitu mudahnya.

Ini semua bukan tentang Sabila. Ini hanya untuk Qonita.

Lagi, ingatan Sabila tentang kejadian tahun lalu, kembali berkelebat. Bagaimana dia memutuskan untuk mengesampingkan ego hanya demi sang buah hati. Dan kini, setelah lebih dari setahun berlalu, Sabila kembali harus melakukannya.

Apa pun bisa dilakukan. Bahkan, menjatuhkan harga diri, mengemis kepada keluarga Rayyan akan dilakukannya.

Semua hanya demi Qonita.

Sabila melangkah dengan mantap. Satu langkah akan membawanya menyusuri jalan baru. Melaksanakan satu per satu rencana yang mungkin akan membuatnya kembali bersama Rayyan.

Ini semua demi Qonita.

Wanita dengan kacamata baca berbingkai metal warna keemasan, duduk pada kursi kayu antik beralaskan rotan. Di sebelah lemari baca pada ruang tengah. Wanita dengan abaya hitam beraksen bordir bunga besar-besar itu mengernyit, memerhatikan dengan saksama, tulisan pada kertas kekuningan di hadapannya.

"Umi, saya mohon izin untuk keluar sebentar." Sabila berdiri di hadapan sang ibu dengan gestur khas dan sangat sopan.

Seketika, Mazidah mendongak. Meletakkan kitab ke meja, dan membuka kacamata bacanya. "Mau ke mana, Bila?"

"Ke pasar, Umi. Mau membeli sesuatu. Lagipula, beberapa waktu ini, saya di rumah saja. Paling juga ke rumah Yuk Hilma dan Cak Robith. Sekalian ingin ngandok bakso."

"Iya. Kamu benar. Pasti kamu merasa bosan. Bersenang-senanglah agar kamu bisa melangkah dan endak lagi mikirin bapaknya Qonita!" Bibir Mazidah mencebik dengan dengkusan kecil. "Naik apa?"

"Pinjam motornya Cak Robith. Nanti saya juga mungkin akan mampir ke rumah teman. Itu pun kalau dia ada. Kalau tidak ada ya tidak mampir. Hanya rencana."

"Iya. Segarkan pikiranmu! Mungkin, tahun ajaran baru nanti, kamu bisa mulai bantu-bantu lagi buat mengajar di sini."

"Enggi." Sabila menunduk. Berucap salam dengan sopan. Lantas berlalu keluar rumah.

***

Rencan selanjutnya. Harapan Sabila adalah kehamilan. Beberapa bulan terakhir, Sabila memang sengaja melepas kontrasepsi hormonal yang dikonsumsinya. Terhitung sejak empat bulan lalu. Meskipun terakhir kali, dia masih mengalami menstruasi sebelum pulang ke rumah ini.

Tapi, selama ini, Sabila memang tak memiliki siklus menstruasi yang lancar. Pun jika mengingat kehamilan Qonita, Sabila adalah perempuan yang jika hamil, nyaris tanpa keluhan. Jadi, mungkin saja kali ini dia hamil, kan?

Kehamilan pada kondisi semacam ini, mungkin dianggap tak tepat bagi sebagian orang. Tapi, Sabila tak berpikir demikian. Dia begitu ingat bagaimana kehamilannya yang pertama, berhasil membuka kembali jalan komunikasi dengan sang ibu. Dan saat ini harapannya pun serupa.

Sabila menyobek plastik alumunium foil alat tes kehamilan yang tadi dibelinya di apotek. Lantas, kembali mengantongi bungkusnya dengan baik. Dia tak mau sang ibu tahu hal ini, sebelum semua berjalan lancar. Berpura-pura baik-baik saja dan move on, adalah cara terbaik yang harus dilakukan.

Perlahan, dia melangkah ke kamar mandi. Beberapa menit lalu, adzan Dzuhur telah berkumandang. Waktu yang pas. Ke kamar mandi untuk bersuci, sekalian melakukan tes kehamilan.

Tak lupa, Sabila mengantongi sebuah gelas plastik bekas air mineral. Gelas yang nanti akan digunakannya untuk menampung urin. Akan sangat mudah untuk membuangnya tanpa menimbulkan kecurigaan. Dan bungkus alat tes, akan dibakarnya di dapur. Semua sudah terencana dengan baik.

Sabila masuk kamar mandi seperti biasa. Dan rupanya, Mazidah sudah lebih dahulu bersuci. Saat ini, sepertinya dia sudah berada di mushola santri putri.

Sabila merasa cukup tegang. Harapannya terhadap kehamilan ini begitu besar. Perlahan, alat yang terendam urin mulai bereaksi. Beberapa menit menunggu, dan ... dua garis merah terpampang begitu jelas. Sabila hampir saja memekik kegirangan, andai saja tak ingat semua rencananya.

"Santai ...! Santai, Bila! Kalem dan elegan. Semua ini bukan tentang kamu, tapi Qonita dan janin yang kini di perutmu ini."

Dengan hati-hati, Sabila membakar bungkus alat tes kehamilan dan membuang gelas plastiknya. Tapi, dia menyimpan alat tes bergaris dua itu dengan rapi. Rayyan harus tahu secara langsung semua ini.

[Ba, aku hamil.]

Pesan yang cukup singkat. Sengaja Sabila mengirim pesan text, alih-alih menghubungi melalui telepon. Dia berharap Rayyan menunjukkan pesannya kepada sang mertua.

***

Manik hitam itu membelalak seketika, manakala membaca pesan text yang mendarat di ponsel.

Hamil? Di saat seperti ini? Apa yang harus dilakukan Rayyan?

Di satu sisi, dia senang dengan kabar kehamilan istrinya. Tapi, di sisi lain, rasanya ini benar-benar bukan waktu yang tepat. Tapi ... memang kehamilan ini adalah rencana mereka sebelum pertengkaran itu terjadi.

Selain karena umur Qonita yang sudah pas, kehadiran buah hati juga diharapkan mampu membuka pintu rezeki dan mempererat hubungan yang sempat merenggang. Tapi ... keadaan berubah menjadi tak terkendali yang menyebabkan mereka terpisah begini. Dan ini sangat sulit bagi Rayyan.

Zainullah, sang ayah yang begitu keras menentang Rayyan untuk menjemput Sabila.

"Ah, kalian ini baiknya bercerai saja! Sejak awal menikah bawaannya ribut melulu. Istrimu itu sering mengamuk seperti orang gila. Dan kamu, Rayyan, suami yang tak becus. Kalian menyusahkan dan bikin malu saja."

Kalimat terakhir sang ayah seminggu lalu, masih teringat jelas di benak Rayyan. Meskipun kali ini, dia bersungguh-sungguh, menunjukkan i'tikad baiknya mencari nafkah.

[Kamu sudah tes benar-benar, kan, Sayang?]

Ah, sial, mengapa Rayyan membalas pesan Sabila dengan kalimat bodoh itu? Dan lelaki yang kebingungan itu baru sadar ketika ponsel yang berada di genggamannya berdengung.

"I-iya, Sayang?" Tubuh Rayyan hampir merosot dari ranjang, manakala dia mendengar deru nafas Sabila di seberang sana.

"Kenapa kamu seolah-olah meragukan kehamilanku?" Suara Sabila begitu ketus. Dan ini membuat Rayyan semakin kebingungan.

"Eng-enggak. A-ku cuma nanya. Takutnya, kamu belum ke bidan."

"Ah, alasan. Yang jelas aku hamil. Dan tak ada pilihan lain, kita harus bisa bersama lagi, kalau kau mau punya anak yang sehat dan cerdas. Apa kamu mau membiarkanku menahan amarah dan selalu dihina di sini, hah?"

"T-tapi ... "

"Ah, jangan banyak alasan, Ba. Kalau kau memang lelaki, jemput aku! Atau kalau kau tak berani, kita kabur bersama. Bukankah kita sering melakukannya?"

"Kabur lagi? Dalam keadaan kamu mengandung begitu? Aku tak bisa membiarkannya, Bila." Seketika emosi Rayyan naik. Meskipun dia bersikap seperti seorang pengecut, tapi untuk urusan kabur tanpa tujuan, dia tak mau lagi melakukannya. Terlebih lagi, Sabila hamil.

"Katanya kau sudah punya pekerjaan. Ya kita ngontrak lagi. Aku tahu, kok, kenapa kamu mengulur-ulur waktu. Kamu takut sama Abah, kan? Tenang saja, Ba. Aku tak akan mengambil hati semua omongan Aba. Ini bukan lagi tentangku. Ini tentang Qonita dan janin ini."

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang