Delapan

325 65 10
                                    

Iris kecokelatan itu mengerjap beberapa kali. Dahinya mengernyit dalam. Gigi kecil yang berderet rapi, menggigit-gigit ujung kuku-kuku jari. Dan, tubuh yang sudah dua hari tak kemasukan makanan, meringkuk memeluk guling.

Keadaan sangat sepi. Udara begitu dingin. Suara tetsan air dan nyanyian kodok masih terdengar. Pada malam selarut ini, hujan baru saja reda.

Lampu sudah dimatikan. Suasana hampir gulita, hanya tampak cahaya samar-samar dari sinar lampu lorong yang masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup gorden. Tapi, mata itu tak mampu terpejam.

Suara-suara bising itu masih menggema di benak Sabila. Rasa cemas dan ragu, kembali berkecamuk. Beberapa hari yang lalu, utusan keluarga Rayyan, datang melamar. Tapi, penerimaan keluarganya, jauh dari harapan.

"Dia itu lelaki berandalan. Kata beberapa orang, suka membonceng perempuan tak jelas." Informasi Robith yang sejatinya sudah Sabila tahu dari mulut Rayyan sendiri jauh-jauh hari.

"Aku sih, terserah Sabila. Tapi, kalau ada apa-apa, jangan sampai merengek dan menyusahkan lagi!" Suara Hilma yang sampai saat ini terasa sangat menyakitkan.

"Memangnya, bagaimana kamu bisa kenal lelaki tak jelas begitu, hah? Di sini itu enggak ada yang nikah atas pilihan sendiri. Semua dijodohkan, Bila." Muka masam Malik masih saja tak menyingkir dari ingatan.

"Hhh ... entahlah, lagi-lagi, Sabila bikin ulah dan menyusahkan." Kekecewaan Mazidah yang meski sudah acap kali didengarnya sejak kanak-kanak, tapi rasa sakitnya tak pernah berubah. Ngilu.

Ada sejumput sesal yang seketika ditepis. Mengapa Sabila tak mampu menjaga diri? Hingga semua terjadi dan menyebabkannya tak mampu memilih lagi.

Tapi, Sabila tak mau menjadi seorang pengkhianat. Dia tak mungkin mengkhianati siapa pun yang menjadi suaminya kelak. Karenanya, jika bukan dengan Rayyan, Sabila tak akan pernah menikah. Sabila tak mau menyimpan bangkai dalam kehidupan rumah tangganya.

Di tengah kekalutan dan pikiran riuh yang masih saja menghantui, tubuh gadis itu bangkit perlahan. Beringsut dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi. Tak ada cara lain kecuali meminta petunjuk Allah, seperti yang biasa dilakukan.

Masih teringat jelas di benak, bagaimana dia menenangkan hatinya sendiri ketika impian besar seumur hidup harus kandas. Impian meneruskan pendidikan dan menggapai cita-cita harus terhenti.

Hanya dengan melakukan shalat istikharah, tiba-tiba saja hatinya menjadi tenang. Dan berbagai kejadian datang dalam hidupnya. Termasuk, bertemu dengan Rayyan.

Dinginnya udara, tak lagi jadi penghalang niat bertemu dengan Sang Maha Pemberi Petunjuk. Di saat manusia selalu menolak dan menyalahkan, hanya Allah tempat kembali.

Lampu utama kamar telah dinyalakan. Sabila duduk bersimpuh di atas sajadah. Menatap gambar-gambar abstrak yang terlukis di sana. Gadis dua puluh tahun itu menghela napasnya dalam. Hingga, kelopak dengan bulu mata lentik itu mengatup rapat.

Perlahan, tangannya menyeka air yang masih menetes di dagu. Memasang mukenah perlahan.

Bismillah ... Berilah hamba petunjuk-Mu, ya Rabb ...

***

"Qabiltu Nikahaha Wa Tazwijaha, Bilmahril Madzkur." Suara Rayyan terdengar lantang dari pengeras suara hingga ke kamar pengantin di mana Sabila duduk dalam keadaan tegang sejak tadi. Akad nikah di Masjid sudah usai dilaksanakan bakda Maghrib malam ini. Malam Jumat, hari impian Sabila. Hari para Nabi melangsungkan akad nikah.

Perjuangan akhirnya menemukan ujungnya. Sabila menikah dengan Rayyan, dua minggu setelah prosesi lamaran mereka. Ada selaksa bahagia dan kelegaan menyeruak di dada. Meskipun, sebersit ragu dan cemas masih saja sesekali hadir. Tapi, semua berusaha ditepis.

'Tidak, Allah itu Maha Pengampun. Toh, aku memutuskan ini dengan jalan istikharah.'

Keluarga yang menyetujui dengan dasar keterpaksaan, menjadi batu ganjalan di hati. Tapi, Sabila tetap berusaha yakin. Meskipun, dalam hati ada rasa ngenes yang tak mampu ditepis. Apalagi, Malik, kakak sulung, yang seharusnya menjadi wali nikah, malah tak hadir dan beralasan ada acara organisasi di luar kota. Sabila tahu itu hanya alasan Malik untuk lari dari tugasnya.

Dan, lagi-lagi, Robith sebagai kakak termuda, maju bak pahlawan penolong. Meskipun sempat tak setuju, tapi kakak ketiganya itu, berusaha memberikan yang terbaik bagi adiknya.

Akad nikah yang bagi Sabila sangat meriah. Para Kiai yang diundang. Pun kerabat yang datang. Sabila tak pernah membayangkan jalan pernikahannya yang penuh hambatan ini, akan menghadirkan akad nikah yang sama khidmatnya dengan pernikahan saudara-saudaranya yang lain.

"Assalamualaikum ...." Suara beberapa wanita membuat Sabila yang sedari tadi menunduk, seketika tersentak kaget.

Suasana kamar pengantin masih sedikit riuh, karena prosesi setelah akad masih dilaksanakan di Masjid. Kedatangan pengantin lelaki masih beberapa puluh menit lagi.

"Waalaikumsalam." Seluruh yang berada dalam ruangan menjawab hampir serempak.

Beberapa wanita muda masuk kamar. Mereka adalah sepupu-sepupu Sabila. Seketika, beberapa wanita itu mendekati perempuan berkebaya putih dengan hijab dan mahkota di kepala. Bersalaman, dan ... salah satu dari mereka, seketika meraih roncean sedap malam yang tergantung di sisi kanan sanggul sang pengantin. Mencium dan menghidu aromanya dalam-dalam.

Sabila mengernyit melihat tingkah wanita itu. Sedangkan beberapa yang lain, malah cekikikan, menepuk pelan bahu sang saudari.

"Ih, kamu iseng. Ada-ada saja kelakuannya," ucap salah satu yang berkacamata.

"Iya, nih. Mantennya ngeliatin keheranan, loh!" yang lain menimpali. Diiringi cekikikan yang rasanya makin mengganggu.

Apa maksud perbuatan mereka? Kata-kata dan tawa cekikikan yang terasa seperti ejekan itu maksudnya apa?

"Oh, syukurlah .... Ternyata sedap malamnya masih wangi." Lagi, terdengar cekikikan menyertai ucapan perempuan yang tadi mencium roncean bunga.

"Kamu itu pilek, ya? Wong sejak dari luar wanginya kecium. Semerbak banget, loh. Tapi, kamu masih saja usil pakek nyiumin roncean segala." Seorang wanita lain lagi, menepuk pundak yang tadi mencium bunga.

Sabila masih memandang mereka bergantian. Tak paham maksud dari perbuatan saudari-saudarinya ini.

"Maksudnya apa, Mbak?" Suara Sabila merendah dengan tatapan yang masih tampak kebingungan.

"Ah, enggak apa-apa, Dik. Cuma mau memastikan." Lagi, tawa cekikikan yang terasa sangat menyebalkan.

"Memastikan apa maksudnya?"

"Hayo ...." Salah satu wanita lagi, menyikut yang lain. Hingga terjadi saling sikut. Dan lagi-lagi tawa cekikikan.

Suasana malam akad nikah yang sempat begitu haru dan khidmat, mendadak berubah tak nyaman. Tawa-tawa itu terdengar bagai ejekan.

"Katanya, sih, perempuan yang sudah dicicipi, bunga sedap malamnya bakal enggak wangi. Tapi, ini wangi, kok. Artinya aman, kan?" Perempuan lain lagi tertawa sembari menutup mulut. Melirik pada yang lain dan menaikkan alis.

Deg!

Hati Sabila seketika tak nyaman. Sebegitu burukkah pandangan mereka pada pernikahan ini? Memang proses yang sangat singkat, bisa menjadi fitnah. Tapi ... seingat Sabila, hal itu tak sampai benar-benar terjadi. Dia dan Rayyan masih mampu menahan diri.

Sejenak Sabila terdiam. Kembali mengingat kejadian kala itu.

Tidak, tidak! Sabila tak melakukannya, kan? Toh, roncean sedap malam yang tersemat di sanggulnya ini masih sangat wangi. Pun, bunga-bunga dalam pot yang diletakkan di sudut-sudut ruangan rumah ini, semua semerbak.

Tapi ... seketika cemas menggelayuti hati. Apakah kehidupan rumah tangganya akan selalu dipenuhi hinaan dan ejekan macam ini?

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang