Dua Puluh Lima

278 63 28
                                    

Sabila berpikir bahwa kejadian tak menyenangkan yang dialami di rumah Handoko benar-benar membuat Rayyan berubah. Hal ini karena selama beberapa bulan setelahnya, Rayyan sama sekali tak oernah melakukan kekerasan fisik. Pun, mereka tak terlalu seting bertengkar lagi. Rayyan mulai berusaha menahan diri.

Tapi, tak pernah diduga sebelumnya, jika perjalanan yang dipikir akan menjadi salah satu titik bahagia, mendadak berubah menjadi hal yang sangat mengerikan.

Sabila berpikir, perbincangannya yang semalam, akan menjadi sebuah jalan bahagia setelah kesulitan keuangan yang mereka alami beberapa bulan terakhir. Setahun hidup di kampung orang tanpa tujuan jelas, ternyata jauh lebih sulit daripada serumah dengan mertua.

Toh, ibu mertua dan iparnya sangat baik. Sabila hanya tak tahan dengan omongan dari keluarganya sendiri. Tentang strata ekonomi keluarga Rayyan. Tentang mertuanya yang hanya ustadz kampung. Dan tentang Sabila yang serumah dengan mertuanya.

Pagi itu, di atas motor naked nerah 150cc yang melaju dengan kecepatan sedang, Sabila, yang duduk di boncengan, mendekatkan kepala ke telinga suaminya. Sementara di antara mereka, Qonita duduk memeluk pinggang sang ayah.

"Ba, jadi, ini kita bakal pindah ke rumah Abah lagi?" Sabila menurunkan mika helm, berusaha menghalau sinar mentari pagi yang sejenak lalu terasa menyilaukan.

"Insyaallah. Kita lihat saja keadaannya. Kan cuma rencana, Ma." Rayyan berusaha mengeraskan suara. Embusan angin kencang, mengaburkan suaranya.

"Kalau memang jadi pindah, aku pingin Qonita masuk PAUD tahun ajaran ini. Kita harus menyediakan biayanya, Ba." Sabila pun melantangkan suara.

Dan mendengar ucapan sang istri, refleks Rayyan menekan pedal rem. Bahkan, lupa untuk menarik tuas kopling, membuat mesin motor seketika mati. Untung saja, keadaan sepi. Hingga, tak sampai timbul kejadian fatal.

"Kenapa, Ba?" Sabila menepuk pelan punggung suaminya.

"Soal itu, kita ngobrol nanti-nanti saja! Biar aku fokus mengemudi." Rayyan mengernyit dengan mimik masam.

Sudah kesekian kalinya Sabila menuntut segera mendaftarkan Qonita ke PAUD. Bahkan, dia mengharapkan Qonita masuk ke taman bermain favorit dan elit.

Padahal, kondisi keuangan masih kacau. Tak ada tabungan sama sekali. Untuk makan sehari-hari saja, masih bergantung pada hasil penjualan gorengan di depan kontrakan.

Rayyan menyalakan mesin dan melajukan kuda besi merahnya. Kini, dengan kecepatan sedikit lebih tinggi. Berharap sang istri berhenti membicarakan wacana itu. Karena, sikap Sabila ini, membuat Rayyan merasa tak nyaman dan cemas tiap kali bersama istrinya.

Perjalanan lebih dari satu jam antara Rejoso dan Dringu, dipenuhi rasa cemas dan ketidaktenangan.

Motor berbelok memasuki dua rumah yang berjajar dengan halaman luas. Berda di antara bangunan madrasah dan mushola. Tertulis Sabilun Najah pada plakat kayu hijau yang menempel pada dinding belakang bangunan. Gedung yang digunakan sebagai gedung Madrasah Diniyah.

Rayyan menghentikan motor di depan gerbang. Menunggu Sabila dan Qonita turun terlebih dahulu. Setelahnya, Rayyan turun dan menuntun motor masuk halaman.

Sejenak lalu, Sabila membenahi bagian bawah gamis toyobo biru tuanya yang sedikit kusut. Menurunkan Qonita dan membuka helm. Mengekori Rayyan sambil menuntun putrinya.

Aura bahagia dan berseri terpancar dari wajah ibu satu anak itu. Dan makin bertambah ketika tampak Hidayati, sang mertua, keluar menyambut mereka dengan senyum terkembang.

"Assalamualaikum, Ummah ..." Sabila berjalan sedikit lebih cepat. Mencium punggung tangan sang mertua, setelah meletakkan helm pada lantai teras, di bawah jendela ruang tamu.

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang