Dua Puluh Tujuh

202 35 0
                                    

Sabila akhirnya menuruti aturan main ibunya. Mau bagaimana lagi? Selama ini, tak ada yang bisa menghentikan kemauan Mazidah. Inilah salah satu alasan Sabila sering kabur. Karena hanya dengan melarikan diri saja, dia mampu menyelamatkan diri dan mendapat apa yang diinginkan. Tak ada negosiasi dalam kamus Mazidah.

Makanan telah tertata rapi di ruang tengah. Hanya ruang tengah dan ruang baca saja yang keadaannya sepi jika sedang ada acara semacam ini. Sedangkan ruang makan, kini telah beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan kue dan berbagai buah untuk sajian tamu.

Sabila melangkah keluar rumah, menuju Masjid. Lagi, Sebenarnya, dia merasa risi tiap kali harus berpapasan dengan beberapa santri. Sedangkan saat ini, malah harus berjalan melintasi halaman pesantren menuju masjid. Yang tentunya, membuatnya berpapasan berkali-kali dengan para santri. Tak hanya perihal risi, pun Sabila tak nyaman dengan suara musik yang terlampau keras.

Tiba-tiba, Sabila menghentikan langkah, beberapa meter dari tempat Rayyan. Berdiri mematung menatap sang suami yang sedang menolong dan membenahi sandal seorang lelaki paruh baya. Lantas, lelaki paruh baya itu memakainya dan berterima kasih dengan melambaikan tangan. Sementara Rayyan menunduk hormat dan mengangguk dengan mengulas senyum hangat.

Setelahnya, Rayyan kembali duduk sendiri di undakan masjid bagian samping. Sementara itu, beberapa orang lalu-lalang di sekitarnya dengan sikap biasa.

Ada rasa tak nyaman tiba-tiba menelusup hati Sabila. Sebagai keluarga pengasuh, biasanya akan mendapat perlakuan berbeda. Lebih dihormati. Orang-orang akan berjalan menunduk, atau bahkan memilih untuk lewat jalan lain demi penghormatan kepada Keluarga Ndalem--istilah bagi keluarga pengasuh pesantren. Tapi, sikap orang-orang malah sangat biasa kepada Rayyan. Tapi, bisa jadi mereka memang tak tahu siapa Rayyan.

Dan yang membuat Sabila kembali kagum adalah sikap suaminya yang bisa sangat sopan dan tawadhu'. Pun tak pernah menonjolkan diri dan minta dihormati. Bahkan, cenderung menepi. Seolah-olah memang sadar tentang siapa dia dan skandal yang telah terjadi.

Tapi, adab dan sopan santun Rayyan memang sudah begini sejak dulu. Sejak sebelum terjadi kasus yang membuat mereka hengkang dari Faizul Ulum pun, Rayyan memang sangat sopan dan lebih memilih untuk menepi. Sejak pertama kali berkenalan, Rayyan memang sangat baik dan perhatian. Pun tutur katanya sangat lembut. Tapi ... entah mengapa, dia bisa berubah mengerikan dan kasar ketika diliputi amarah.

Tak hanya itu, perselingkuhan dan skandal yang pernah terjadi pun, membuat Sabila sangat heran. Jadi ... yang manakah Rayyan yang sebenarnya?

Lelaki lembut dan penuh sopan santun itu? Atau ... tukang selingkuh dan kasar kepada wanita?

Ah, Sabila tak bisa menjawabnya sama sekali.

Untuk beberapa saat, Sabila hanya mematung, sebelum kembali tersadar dan melanjutkan langkah.

"Ba, makannya udah siap di ruang tengah. Ayo, kita makan!" Sabila berisyarat dengan jempol ke arah rumah, setelah berdiri di dekat sang suami.

"Loh, makan di dalam? Kupikir mau dibawakan ke sini. Cukup sepiring aja biar enggak repot." Rayyan mulai beranjak, berdiri menghadap istrinya.

"Maunya begitu. Tapi, kamu tahu sendiri bagaimana Umi, kan?" Sabila mengangkat kedua bahu.

"Oh, iya juga. Ayo!"

***

Suasana malam Haflatul Imtihan begitu meriah. Suara musik gambus semakin keras dan rancak. Hadirin lalu-lalang. Para santri, wali santri, alumni dan simpatisan.

Acara semacam ini memang merupakan kegiatan yang ditunggu-tunggu. Meskipun ada acara yang serupa di tengah tahun, yaitu ketika menjelang liburan Maulid. Tapi, kemeriahannya jauh berbeda. Karena acara tengah tahun tertutup hanya untuk para santri dan asatidz.

Sabila duduk pada kursi rotan di teras rumah. Memerhatikan keadaan. Beberapa waktu lalu, Qonita sempat datang bersama seorang santri yang mengasuhnya untuk sekadar menyapa dan meminta tambahan uang jajan. Maklum saja, pada acara semeriah ini, banyak penjual mainan dan cemilan di jalan depan pesantren.

Sabila membenahi posisi, duduk sedikit lebih tegak. Menurunkan ujung gamis katun toska yang sempat sedikit terangkat sebatas betis. Meskipun sudah memakai celana legging, tapi pada keadaan seramai ini, menjaga penampilan tetap rapi dan bersahaja, tentu sangat diperlukan. Ya ... lagi-lagi, ini adalah nasihat Rayyan. Demi menjaga diri dari berbagai pandangan yang mungkin bisa menimbulkan anggapan miring dan omongan kurang sedap. Yang tentunya hal itu bisa berakibat pada emosi Sabila sendiri nantinya.

Pandangan Sabila menyapu sekitar. Dan kini, berhenti pada jejeran kursi yang tertata apik di bagian paling depan dan terdekat dengan panggung. Kursi-kursi khusus bagi para pengajar perempuan dan saudari-saudarinya.

Acara memang dilaksanakan bersamaan antara santri putra dan putri. Karenanya kini halaman pesantren dibagi menjadi dua bagian yang dibatasi oleh pembatas berupa kain panjang dan lebar. Memisahkan antara hadirin lelaki dan perempuan. Tapi, dari tempat Sabila duduk, dia masih bisa melihat jelas pada jejeran kursi lain, yaitu kursi khusus para pengajar laki-laki, yang berada pada sisi lain halaman pesantren. Pun kursi yang berada pas di depan panggung. Kursi VIP untuk para undangan dan tamu khusus.

Sabila menghela napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ada selaksa gundah menyelimuti hati.

Seketika Sabila menyadari bahwa dia tak lagi bisa duduk di sana. Dia masih ingat, hanya sekali dia duduk di tempat itu. Sebelum menikah.

Dan karena berbagai hal ini--selain karena suasana yang terlampau riu, sebenarnya, Sabila ingin sekali masuk saja, mengunci diri di kamar dan menyepi. Tapi, lagi-lagi dia ingat pesan Rayyan sore tadi di ruang tengah.

"Kamu jangan seenaknya kalau ada acara macam ini. Sesekali, ikutilah aturan orang lain! Berbaurlah dan tampakkan dirimu. Niatkanlah demi menjaga nama baik Umi dan saudara-saudaramu."

Ah, mengapa Rayyan bisa sesabar dan setelaten itu menghadapi sikap keluarga Sabila? Padahal ...

Lagi, pandangan Sabila terhenti pada sosok sang suami yang kini kembali duduk di undakan masjid bagian depan. Berjajar dengan beberapa lelaki yang sepertinya alumni lawas. Beberapa alumni yang mengenal Rayyan sebelum hengkang dari rumah ini. Dan sikap Rayyan bersama mereka, sungguh sangat berbeda. Tampak akrab. Meskipun para alumni itu, masih menunjukkan gestur berbeda. Masih menunjukkan rasa hormat.

Seulas senyum terlukis pada bibir Sabila. Ada secercah bahagia berkembang.

'Salah satu kebaikan Babanya Qonita yang sulit kutemui dari lelaki lain.'

Tapi, kebahagiaan itu tak bertahan lama, karena setelahnya rasa tak nyaman kembali hadir. Beberapa saudara bahkan keponakan-keponakannya yang sudah membantu mengajar, kini duduk berjajar pada kursi-kursi khusus. Berseragam dan mendapat penghormatan berbeda. Sementara di belakang jejeran kursi itu, tampak Rayyan duduk di undakan masjid. Sangat kontradiktif dan ... membuat Sabila kembali teringat bahwa mereka datang ke tempat ini hanya sebagi tamu. Bukan lagi keluarga pengasuh. Sadar diri, mungkin itulah frasa yang harus selalu diingat.

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang