Tiga Puluh Lima

248 41 5
                                    

Sabila berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya. Gamis branded berbahan tebal dan ... sedikit membuat mudah gerah, kini telah dipakainya. Corak full color dan desain abstrak yang sedang tren, dipilih hanya demi menjaga penampilan.

Sabila menghembuskan napas melalui mulut, hingga kedua pipinya menggembung. Lantas bergumam sendiri sembari membenahi pasmina sifon biru di kepalanya. "Huft ... mau cantik, kok, ribet banget. Kalau bukan demi menjaga nama baik Babanya Qonita, ogah banget pakai baju ribet ini.

Hari ini, Sabila hendak menghadiri acara kumpul keluarga dalam rangka halal bihalal pasca Idulfitri. Acara Pertemuan Bani pertama setelah bertahun-tahun prahara rumah tangga pernikahanya. Ada sebersit harap hadir di hati. Semoga kali ini suasana sedikit menyenangkan. Mengingat, acara haflah dua bulan lalu ternyata tak jauh berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Masih ada rasa terkucilkan.

Setelah memastikan penampilannya rapi, Sabila melangkah keluar kamar. Tampak Rayyan duduk memangku Qais yang sudah berumur setahun. Pun Qonita sudah rapi dengan satu set pakaian muslim bermerk yang dibeli minggu lalu.

Sabila terpaksa membeli pakaian bermerk yang cukup bagus. Pun tas dan berbagai aksesorisnya. Meskipun terkadang, ada rasa tak nyaman dan mengganjal dalam hati. Ada perasaan sedikit sayang dengan uang yang dikeluarkan, dan ... ketakutan akan habisnya uang.

Maklum saja, meskipun usaha Sabila terbilang lancar, tapi karena usaha Rayyan semakin menurun, membuat Sabila tetap harus bisa bersabar lagi. Bahkan, demi bertahan dengan kios jamunya, Sabila pun sekarang turun tangan.

Rayyan berdiri, menyerahkan Qais kepada Sabila. Sementara dia menuntun Qonita. Mereka berjalan keluar rumah. Berboncengan menuju Klakah, Lumajang. Tempat di mana acara pertemuan diadakan.

Suasana acara begitu meriah. Banyak kerabat Sabila yang datang. Sebagian besar dari mereka adalah tokoh masyarakat. Mobil-mobil segala merk, berjajar rapi di halaman. Hanya beberapa saja yang mengendarai motor. Mereka adalah para kerabat yang bertempat tinggal tak terlalu jauh dari lokasi acara. Hanya Sabila saja, bertempat tinggal jauh, tapi bermotor.

Sabila turun dari motor dengan menggendong Qais, dan tangan kanannya menuntun Qonita. Sementara Rayyan, memarkirkan motor di tempat parkir.

"Bila!" Suara seorang wanita, membuat Sabila, yang sejenak lalu sedikit menunduk karena berbicara dengan Qonita, mendongak seketika. Seorang wanita pertengahan tiga puluhan tahun dan berbadan berisi, telah berdiri di depannya.

"Eh, Mbak Hanifah." Sabila tersenyum, mengulurkan tangan. Bersalaman dengan kerabat jauhnya yang sudah lama tak bertemu.

"Ini anak kamu, ya? Naik apa ke sini?" Wanita bernama Hanifah itu menepuk pelan lengan Sabila.

"Iya. Ini anakku, Mbak. Naik motor."

"Duh, anak kecil-kecil gini kok dibawa motoran. Mana jauh, juga."

"Hehehe ... Iya." Sabila hanya tertawa hambar. Ada rasa tak nyaman seketika menelusup di hati.

Untung saja, basa-basi yang memang basi dan tak penting itu, tak berlangsung lama. Karena, Rayyan akhirnya datang. Membuat mereka harus segera mengakhiri percakapan dan segera menuju ke tempat acara berlangsung.

Sabila bertemu Mazidah, Hilma, Aina, dan Nisrina. Tempat untuk wanita, berbeda dengan para lelaki. Acara berlangsung cukup meriah. Diawali sambutan dan diakhiri dengan dengan acara ramah-tamah dan makan bersama.

"Wah, Sabila. Bagaimana kabarnya?" Seorang wanita berpakaian set gamis pesta jingga, menyapa ramah. Dia tiba-tiba duduk pada kursi kosong di samping Sabila.

"Alhamdulillah." Sabila menyuapi Qonita dengan sesuap nasi soto.

"Ini kamu baru pertama hadir, ya? Alhamdulillah, setelah sekian lama melanglang buana. Sekarang sudah dibelikan rumah. Yang anteng, ya?" Wanita itu meminum air mineral gelas dari sedotan. Lantas meletakkannya kembali pada meja di depannya.

Dan kalimat-kalimat yang terlontar dari bibir saudari jauh Sabila ini, terasa sangat-sangat tak nyaman. Rasanya benar-benar membuat ngilu hati. Tak ada yang bisa diperbuat Sabila kecuali tersenyum miris.

"Sekarang suami kamu kerja apa? Kamu sendiri katanya sekarang bisnis perabot dapur, ya?"

"I-iya. Babanya Qonita buka kios jamu."

"Wah, pasti rame, ya, kiosnya?"

"I-iya. Alhamdulillah, rame banget." Ada rasa besalah yamg seketika menyelimuti hati. Sabila memang sama sekali tak suka berbohong.

"Sudah kelihatan. Sekarang penampilan kamu makin cantik dan anggun. Anak-anak kamu pun udah beda."

Percakapan yang sebenarnya sangat membuat Sabila tersiksa. Tapi, Sabila tetap berusaha bertahan. Bahkan, hingga acara usai pun. Percakapan macam itu, masih saja terjadi. Tak hanya dari satu dua orang, tapi beberapa orang yang berbeda.

Suasana yang diharapkan begitu menyenangkan dan kekeluargaan, ternyata tak ubahnya ajang penghinaan bagi Sabila.

Dan semua itu, kembali mengingatkan Sabila pada kejadian bertahun-tahun lalu. Awal pernikahan yang penuh gunjingan, pun kejadian hengkangnya mereka dari Faizul Ulum. Dan ... semua itu memunculkan sebersit ketakutan.

Apakah semua ini terjadi karena dosa yang pernah Sabila dan Rayyan lakukan? Atau ... apakah ini akibat perselingkuhan itu?

***

"Ba, aku ... pingin kita ngomong. Tapi, kamu jangan marah, ya?" Sabila duduk bersila pada bibir ranjang. Menghadap pada Rayyan yang sedang berganti pakaian.

Baru saja, Rayyan pulang dari kios. Wajah murung dan lesu sang suami, membuat Sabila kembali memikirkan untuk membicarakan kelanjutan usaha suaminya itu.

"Ngomong aja, enggak apa-apa." Rayyan membuka satu per satu kancing kemejanya.

"Ehm ... dua bulan lagi, perpanjangan kontrak kios. Apa kamu masih mau memperpanjangnya? Uangnya ada?" Nada suara Sabila merendah. Dia sedikit menunduk, memainkan ujung daster batiknya.

Seketika Rayyan menghentikan kegiatan. Mematung dan menatap kosong ke depan. "Insyaallah ada."

"Ba, maukah kamu mendengarkanku lagi? Kupikir, usaha kios jamu ini sudah tak sehat lagi. Biaya operasionalnya bahkan tak bisa ditutupi dengan hasilnya, kan?"

Rayyan tertunduk. Kedua tangannya menumpu pada bibir ranjang. "Lalu, maumu apa?"

"Bagaimana kalau kamu berhenti saja?" Tangan kanan Sabila kini mendarat di pundak sang suami. Wajahnya menunduk, mencoba menangkap wajah Rayyan.

"Kalau itu maumu. Aku akan kuturuti. Toh, selama ini, malah uang kamu yang banyak kupakai." Nada suara Rayyan sangat lirih. Bahkan, hampir tak terdengar.

"Ehm ... bagaimana kalau kita mengurus usaha online ini saja? Aku sedikit kelelahan kalau sendirian. Toh, packing dan segala macam, memang kamu yang mengerjakannya, kan?"

Rayyan menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Yah ... mumgkin emmang seharusnya aku tak bekerja di luar. Mungkin apalagi, kini Qais sudah bisa berjalan. Jelas kamu kelelahan. Kalau aku sudah enggak ke kios, malam-malam aku bisa menemanimu membungkus pesanan untuk pengiriman esoknya. Pun membantumu mengurus anak-anak." Rayyan mendongak perlahan. Menoleh menatap istrinya lekat-lekat. Sebuah lengkungan tipis, terlukis di bibirnya.

Dan melihat hal itu, seketika Sabila memeluk sang suami erat. Mendaratkan kepala di dada lelaki yang sangat dicintainya.

Rayyan membalas pelukan sang istri. Membelai lembut rambut hitam panjang Sabila. Pun mencium pucuk kepalanya.

Sabila merasa, Rayyan menyetujui semua dengan lapang dada. Karenanya, ada selaksa bahagia dan harapan yang hadir. Berharap semua akan menjadi indah.

Tapi, sejatinya, ada ganjalan luar biasa di hati Rayyan. Perasaan gagal dan tak berharga, menghimpit dadanya. Menimbulkan sesak yang teramat parah.

(Republish) Journey of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang