Sabila membonceng dengan ransel yang tersampir di punggung, berpegangan pada pinggang Rayyan. Sementara Qonita, tetap duduk pada bagian tangki. Dan tas spunbond, telah dimasukkan ke ransel.
Sengaja, Rayyan mengatur posisi semacam itu. Karena sejatinya, ada rindu yang membuncah di hati. Selama dua bulan lebih berjauhan dengan belahan jiwa. Wanita satu-satunya yang benar-benar berusaha menerima Rayyan seutuhnya. Meskipun ... masih ada sesuatu yang acap kali menjadi masalah di antara mereka. Tapi, sejumput cinta yang selalu tersisa, tetap menjadi penyelamat.
"Sebelum nyari kontrakan, kita makan dulu, ya, Ma?"
"Hu'um." Sabila hanya mengangguk. Tangannya melingkar erat di pinggang Rayyan.
Rayyan melepas tangan kiri dari stang motor, menepuk pelan kepala yang masih bertumpu di punggungnya. "Kita sudah lama enggak makan bertiga."
Motor melaju perlahan menyusuri jalanan pinggiran Kota Probolinggo, menuju pusat kota. Dan, betapa terkejutnya Sabila ketika Rayyan menghentikan motor di depan pusat perbelanjaan, di mana mereka pertama bertemu, dulu.
"Loh, kok ke sini, Ba? Mau belanja?" Sabila menegakkan kepala. Memandang papan nama besar di bagian depan bangunan Department Store.
"Kita makan di sini, ya?" Rayyan berbelok ke arah parkiran. Memarkirkan kendaraan dengan baik.
Sabila masih sedikit kebingungan. Tapi, Rayyan sudah mulai mematikan mesin. "Ayo, Ma, turun dulu!"
Sabila menuruti kemauan suaminya. Turun dari motor dengan pandangan mengedar ke sekeliling. Lantas memerhatikan dirinya sendiri. Dan beberapa saat kemudian, Sabila mendongak, menatap Rayyan sembari mengangkat kedua alis. "Aku kayak gini. Enggak masalah, Ba?"
Rayyan yang telah memarkirkan kendaraan dengan baik dan menggendong Qonita, menatap istrinya hangat. Telapak tangannya mendarat di pipi Sabila. Menepuknya lembut. "Mau pakai apa saja, kamu tetap cantik. Udah, yuk! Kita makan."
Sabila masih mematung beberapa saat ketika Rayyan sudah berbalik dan mulai melangkah. Dia benar-benar merasa bermimpi mendengar kalimat terakhir suaminya. Pun sikapnya yang berubah manis.
Bukannya tanpa sebab, selama ini yang dia tahu, Rayyan adalah lelaki yang sangat memedulikan penampilan. Begitu berbeda dengan Sabila yang bisa tampil apa adanya. Karenanya, sejak mengetahui perselingkuhan suaminya, Sabila selalu berusaha menjaga penampilan. Mengingat ... penampilan Ningsih yang memang berbeda jauh dengannya.
Tapi kali ini, sangat aneh. Rayyan tak memedulikan penampilan Sabila?
"Loh, Ma? Ayo!" Rayyan menghentikan langkah, berbalik ketika dirasa sang istri tak mengikutinya.
Sabila tersentak kaget. Memandang ke arah sang suami yang ternyata ... berjalan berlawanan arah. Alih-alih menuju pintu masuk, Rayyan malah menuju arah musholla.
Sabila mengernyit sembari melangkah. Lantas, bertanya ketika telah dekat dengan sang suami. "Kok ke arah sini?"
"Lah, ya kamu ganti baju dulu, toh! Masak mau pake baju itu?"
Oh, ternyata Rayyan masih sama. Sabila menahan tawa dalam hati. Menertawakan pikirannya sendiri yang sempat berpikir bahwa Rayyan akan berubah secepat itu.
***
"Ma, Kamu kutinggal di sini, ya? Main di tempat permainan anak. Biar aku yang nyari kontrakan. Kalau udah beres, kamu kujemput." Rayyan meminum es teh dari sedotan. Baru saja mereka selesai menikmati ayam goreng dari gerai makanan siap saji.
"Tapi, jangan lama-lama, ya, Ba?" Sabila masih sibuk menyuapi Qonita. Sementara makanannya sendiri sudah habis.
"Iya. Soalnya, bakal repot kalau kamu ikut. Kasihan Qonita. Ranselnya, biar aku yang bawa. Nanti, pas nemu kontrakan, bisa langsung kuletakkan di sana. Jadi, kamu enggak perlu kerepotan." Rayyan meluruskan punggung. Bersandar pada sandaran kursi.
"Hu'um." Sabila mengangguk. Menggulung lengan bagian bawah gamis katun cokelatnya. Lantas, mulai membereskan piring bekas mereka makan. Menumpuknya jadi satu dan meletakkannya di tengah meja.
Suasana pusat perbelanjaan relatif sepi. Pada hari Senin, memang biasanya tak seramai akhir pekan. Apalagi, saat ini, masih sekitar jam sepuluh pagi.
Dan setelah usai dengan makanan, mereka bertiga menuju lantai tiga. Di mana tempat permainan anak-anak berada. Rayyan membeli kartu dan mengisinya dengan nominal yang dirasa cukup untuk Qonita bersenang-senang selama dia pergi untuk mencari kontrakan. Lantas, meninggalkan anak dan istrinya untuk segera mencari tempat tinggal baru.
***
Sabila duduk menjuntai di bibir ranjang. Sementara Qonita dibiarkan bermain di lantai bersama Rayyan. Sabila mengedar pandangan ke seluruh ruangan.
Sebuah tempat kos keluarga tiga ruang yang cukup sederhana. Berukuran sekitar 3x8 meter persegi yang disekat menjadi tiga bagian. Bagian paling depan bisa difungsikan sebagai ruang tamu. Sedangkan bagian tengah sebagai kamar. Sudah tersedia ranjang berukuran 160 dan sebuah lemari kayu tanggung. Sementara bagian paling belakang terdapat kamar mandi kecil dan ruang yang bisa dipakai sebagai dapur.
Sabila berdiri, melangkah ke bagian paling belakang. Melongok dengan kedua tangan menahan pada ambang pintu.
"Kita enggak punya peralatan dapur, Ba." Sabila memeriksa kamar mandi yang terlihat dari tempat dia berdiri.
"Oh, untuk hari ini kita beli saja dulu. Besok pagi, aku akan ke rumah Ummah untuk mengambil kompor dan beberapa peralatan dapur."
"Hmm?" Sabila mengernyit dan seketika berbalik.
"Emang, bisa? Apa enggak takut dimarahi Abah dan Ummah?"
Rayyan tersenyum sembari mendengkus pelan. "Ummah tahu kehamilanmu. Dan tadi pun aku berangkat atas izinnya. Hanya Abah yang tak tahu. Bahkan, Mbak Aisyah akan ke sini beberapa hari lagi. Pastinya dia akan membantu membawakan beberapa barang."
"Oh ... syukurlah." Sabila mengembuskan napas lega. Lantas berjalan cepat dan duduk di hadapan sang suami. "Emang, bagaimana reaksi Ummah pas tahu aku hamil?"
"Kenapa kamu nanyain hal itu?" Rayyan memiringkan kepala. Menatap sang istri dengan senyum yang dikulum.
"Ya, pingin tahu saja. Soalnya, Ummah juga enggak menghalangi pas aku diseret ke rumah Umi." Nada suara Sabila merendah. Melempar pandangan ke lantai. Menunduk sembari mengembuskan napas panjang.
"Sssttt ... Udah, jangan bahas hal-hal yang enggak nyaman! Biar enggak ngerusak mood lagi." Rayyan menatap tajam ke arah sang istri.
Sabila mendongak, menatap nyalang beberapa saat. Lantas terdiam, mendengar perkataan sang suami. Kembali menunduk dan mengembuskan napas panjang.
Hal yang paling tak disukai Rayyan dan selalu diulang-ulang Sabila adalah, membicarakan berbagai hal tak nyaman yang telah berlalu. Hal-hal yang membuat hati kembali mengakses emosi serupa. Berpotensi menimbulkan pertikaian di antara mereka.
Bukannya Sabila sengaja melakukannya. Dia hanya merasa sedikit lega, andai Rayyan mau mendengar keresahannya. Keresahan-keresahan perihal segala yang dianggap telah melukai hati. Sabila hanya ingin didengarkan, sebagaimana kebiasaan wanita pada umumnya. Ahli sejarah dengan memori yang hampir mustahil terhapus. Sedangkan Rayyan, sama sekali tak mau mendengarkan.
Sebagaimana lelaki pada umumnya, Rayyan sangat benci jika harus membicarakan dan mengungkit kembali hal-hal yang telah berlalu. Terlebih lagi yang sensitif dan berpotensi menimbulkan konflik. .
Dan siang itu, Sabila berusaha menekan perasaannya sekuat tenaga. Sedangkan Rayyan berpikir bahwa sang istri baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Republish) Journey of Love
عاطفيةSabila Mumtazah dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Terus bertahan, atau menyerah saja. Setelah segala derita dan kehilangan yang dialami, dia masih harus terus berjuang demi sang buah hati. Berusaha meyakinkan diri akan kebahagiaan yang mun...