"Serius kamu mau bela-belain ngantri buat es potong doang? Di Jakarta udah banyak yang jual, Jes!"
Aku mengabaikan racauan Gio yang dengan terpaksa ikut mengantri es krim denganku. Ini balasan untuknya, setelah sebelumnya dia juga mengabaikan pertanyaanku sebelum kami turun dari MRT.
Dia yang sudah mengangkat topik tentang pekerjaan lamaku di Omega, tapi giliran aku bertanya balik, Gio malah sengaja mengalihkan pembicaraan. Menyebalkan, bukan? Sekarang gilirannya merasakan situasi yang sama.
"Kalau tahu gini, harusnya aku nggak ngikutin kamu," tambahnya masih mengomel sendiri.
"Masih belum terlambat kok, Pak. Bisa langsung pesan Uber atau nyegat taksi di ujung sana." Jariku menunjuk ke arah drop point pemberhentian taksi. Lagi pula tidak ada yang meminta dia mengikutiku.
"Manggil Pak lagi nih? Sebenarnya kamu kesal kenapa?"
"Siapa yang kesal, saya kan cuma mengusulkan--"
"Saya lagi, Jes? Kamu juga kaya gini lho pas kita masih SMA, ingat nggak?"
"Hah? Kaya gini gimana?"
Gio menggeleng kecil, tapi tidak menjawab pertanyaan terakhirku. Lihat nih, sekali lagi dia melakukannya, mengangkat sebuah topik kemudian menggantungnya, awas saja. Tapi aku tetap tidak bertanya ulang mengenai topik baru yang diangkatnya barusan. Aku kembali diam dan berjalan maju sedikit demi sedikit di dalam antrian es krim khas Singapore itu.
Tiba giliranku di depan paman penjual es krim, terpaksa aku kembali bicara dengannya untuk sekedar bertanya, "Bapak mau juga nggak?"
Gio menoleh dengan tatapan kesalnya padaku, mungkin karena panggilan bapak yang sengaja kusematkan untuknya lagi. "Seriously, Jes!"
Lagi-lagi kuabaikan protesnya karena dengan sengaja panggilan bapak itu justru kuulang berkali-kali. Sampai pada akhirnya aku hanya memesan satu es potong untukku sendiri.
"Keterlaluan kamu, Jes, masa benar-benar cuma beli buat kamu sendiri setelah kutemani ngantri panjang tadi," gerutunya sepanjang jalan masuk ke area Bugis Market.
"Tadi sudah saya tanya berkali-kali kan, Pak. Bapak mau atau enggak? Pak Gionya aja yang dari tadi sibuk ngomel-ngomel nggak jel--"
Gio tiba-tiba menahan pergelangan tanganku, menghentikan ocehan panjang sekaligus langkah kakiku. "Kamu kesal karena pertanyaanmu di MRT tadi belum kujawab? Oke, kujawab sekarang. Kenapa aku akan langsung mendatangi Omega kalau tahu kamu bekerja di sana sejak lam--"
"Nggak perlu!" Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya, tapi dia masih dengan kuat menahanku. Aku sampai merasa tidak enak sendiri menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang di sekitar kami.
"Menurutmu kenapa? Sebenarnya jawaban itu sudah ada di kepala kamu, Jes!" Gio berhenti sesaat. Saat ini kami berdiri sangat berdekatan, terlalu dekat bahkan untuk menjaga kewarasanku tetap berada di tempatnya. Terbukti aku tidak bisa mengatakan apa pun atas ucapannya barusan. "Menurutmu kenapa aku mengiakan begitu saja usulan Hendra untuk mengajakmu di business trip ini?"
Lagi-lagi aku tidak menjawab pertanyaannya. Iya, seharusnya aku memang sudah tahu kalau ini semua faktor kesengajaan dan aku malah menurut saja. Tentu saja, biar bagaimanapun ini perintah atasan, bukan? Hilih, siapa pula yang sedang berusaha kubohongi sih!
"Tentu saja karena ada yang harus kita bicarakan, bukan? Sooner or later, hal itu tidak bisa kita hindari, Jes. Dan menurutmu, kalau aku tahu kamu adalah wakilnya Prambudi, aku akan diam saja dan tidak segera mendatangi kamu. Hell, no way! Cukup di masa mudaku saja aku sudah berbuat bodoh dan kehilangan kamu ya! Kali ini nggak akan kubiarkan itu terjadi lagi, jelas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Hours
ChickLitHidup nyaman Jessica berubah seratus delapan puluh derajat semenjak dirinya resign dari tempat kerjanya. Mobil harus dijual dan dengan terpaksa dia harus menggunakan transportasi umum. Lantas apa jadinya, kalau di tempat kerja barunya Jessica bert...