"Eh ... pagi, Pak," sapa beberapa staf HRD yang baru saja memasuki pantry dengan membawa botol minum di masing-masing tangan mereka.
"Pagi," balas Gio sambil berpura-pura memperbaiki kancing di lengan kirinya, yang padahal baik-baik saja. "Jess--"
"Iya, Pak, siap. Kita ketemu di bandara saja lusa, biar lebih efisien seperti yang tadi Bapak sampaikan." Aku memotong begitu saja ucapan Gio untuk menghindari kecurigaan para kolega kami.
Sementara Gio tampak mengernyit, mungkin sedikit terkejut dengan respons refleksku. Bodoh amatlah, sebaiknya cari aman.
"Umm, kalau tidak ada yang lain, saya permisi duluan, Pak. Banyak yang harus saya selesaikan sebelum berangkat--"
"Oh iya, ini business trip pertama kamu di Clover, kan? Jangan sampai ada yang missed." Akhirnya Gio juga larut dalam sandiwara pagi ini.
"Siap, Pak." Aku sedikit membungkuk untuk berpamitan sekali lagi, sebelum benar-benar keluar dari pantry.
Kuperhatikan sekilas para staf HRD yang sedang sibuk mengisi ulang botol-botol mereka. Aku cuma bisa berharap kalau tidak akan ada gosip-gosip aneh yang keluar dari mulut mereka karena melihat aku hanya berdua saja dengan bos kantor ini di pantry tadi. Semoga saja sandiwara tadi cukup untuk membungkam mereka.
Pikiranku justru teringat ke pertanyaan-pertanyaan si bos alias mantanku itu. Kenapa dia tiba-tiba membawa-bawa Pasha dan apa tadi, kenapa aku memilih dia? Mengkhianati ... tunggu-tunggu, jangan-jangan dia mengira aku dan Pasha pernah ada hubungan spesial?
Astaga, bagaimana bisa muncul dugaan seperti itu? Lagi pula, bicara soal mengkhianati, jelas-jelas dialah pelakunya! Jelas-jelas dia yang malah mencium cewek lain di saat kami masih pacaran.
Ah, jadi kesal sendiri kalau mengingat itu. Sementara kulihat Gio malah berjalan santai saat berlalu di depan ruangan accounting. Menyebalkan sekali.
"Jess, laporan keuangan kuartal terakhir udah gue email." Kak Astrid menghampiri mejaku dan memberi tahu perihal ini.
Hubungan kami bisa dikatakan membaik, secara profesional. Beberapa hari lalu akhirnya dia meminta maaf, meskipun tanpa memberi penjelasan alasan dia melakukan perbuatannya waktu itu.
Aku yang tidak ingin memperpanjang masalah langsung menerima permintaan maaf darinya. Pemikiranku sama dengan Gio tadi, setidaknya dia sudah tahu berurusan dengan siapa.
Kan, malah jadi ingat Gio lagi.
"Oke, Kak, nanti gue cek lagi," balasku singkat, padat, dan jelas.
Sekalipun permasalahan selesai, tapi karena sudah paham sifatnya, aku pun malas berbasa-basi dengannya. Cukup membahas pekerjaan dan kerja sesuai koridor masing-masing.
"Buat ke Singapore udah beres semua, kan?" lanjutnya lagi, yang kali ini hanya kurespon dengan anggukan. "Kalo ada yang mau lo tanyain, tanya aja oke. Gue usahain tetep on kok, pas di rumah sekalipun."
Munafik kamu, Kak! Kenapa juga sih kamu harus baik-baikin aku sekarang, di saat kelakuanmu itu sudah jelas busuknya.
Ya, tapi tetap saja petuahnya tadi kujawab, "Oke!"
Untungnya setelah itu dia balik ke mejanya. Semoga juga dia sadar dengan sikapku yang acuh tak acuh padanya tadi, itu artinya aku tidak mau terlalu dekat dengannya.
***
Sial, sial, sial. Aku sempat lupa kalau sudah enggak ada si Asep. Dulu setiap akan berangkat perjalanan dinas selalu ditemani Asep, biasanya kutinggal di bandara dua sampai tiga hari tergantung lamanya business trip itu. Kecuali kalau sampai seminggu barulah aku minta diantar jemput mobil kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Hours
Literatura FemininaHidup nyaman Jessica berubah seratus delapan puluh derajat semenjak dirinya resign dari tempat kerjanya. Mobil harus dijual dan dengan terpaksa dia harus menggunakan transportasi umum. Lantas apa jadinya, kalau di tempat kerja barunya Jessica bert...