"Malam, Pak." Aku seketika berdiri dari kursi melihat sosoknya dan menelan ludah.
Sial! Tadi dia dengar tidak ya, pas aku membahas pacar pertama yang jadi bos di sini? Otakku berputar cepat, mengingat apa saja kata-kata yang keluar dari mulutku ketika asyik bergibah dengan Desi.
Harusnya aman sih. Yang membahas soal bos preman dan tentang dirinya yang selingkuh kan Desi. Gio pasti tidak dengar bagian itu. Kemudian, membahas CLBK ... wait a minute! Dia tidak akan mengira aku membicarakan kemungkinan kami balikan, kan?
"Pak, pak, gue bukan bokap lo--"
"Entar gue telepon balik!" Segera setelah memotong ucapan Desi barusan, aku langsung mengakhiri panggilan di antara kami.
Gio berdeham dan entah ini hanya perasaanku saja atau dia memang benar-benar terlihat sedikit salah tingkah. Apa mungkin karena dia sudah mencuri dengar percakapanku via telepon tadi? Atau ... sebaiknya aku bertanya saja.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Gio mengerutkan kening. Tatapan matanya, seolah menyiratkan ketidaksukaan akan sesuatu. Apa? Tidak suka aku membahas masa lalu kami, atau tidak suka aku membahas SOP di Clover.
"Harus ya kamu terus memanggilku dengan sebutan Pak?" Oh, rupanya tidak suka karena ini.
"Ya seperti yang saya bilang tadi pagi, Bapak kan--"
"Udah-udah, nggak usah kamu ulang-ulang terus!"
Ya, aku kan hanya menjawab pertanyaannya saja padahal.
Gio berjalan pelan ke arahku. Sementara aku mengantisipasi, menebak-nebak apa lagi yang akan dipermasalahkan kali ini?
"Kenapa belum pulang?" tanyanya setelah jarak kami cukup dekat. "Mau cari muka, lembur di hari pertama kerja, biar dibilang rajin?"
Hah? Mulutku sampai ternganga setelah mendengar pertanyaannya barusan. Kok sialan ya orang ini! Dulu, Gio memang menjengkelkan, tapi sepertinya jabatan sebagai bos perusahaan besar terbukti menaikkan kadar menjengkelkan itu berkali-kali lipat.
Kayanya mulut itu perlu disekolahkan. Ish, coba saja aku bisa meneriakkan ini ke mukanya.
Oke, tarik napas, hembuskan pelan-pelan. Percuma saja kalau aku sampai kelepasan emosi, tidak akan membawa kebaikan apa pun. Sudah jelas bukan aturan pasal-pasalnya; bos selalu benar dan seterusnya itu.
Aku menggeser sedikit posisiku supaya tumpukan berkas di mejaku terlihat olehnya. Kemudian, sedikit menepuk pelan di atasnya sambil berujar, "Saya masih harus memeriksa setiap lembar lampiran-lampiran dokumen ini, Pak."
Dia hanya melirik sekilas, lalu malah menarik kursi terdekat dari tempatnya berdiri dan duduk di atasnya. Aku bertanya-tanya, apa aku harus duduk juga atau tetap berdiri saja?
"Kan tidak harus diselesaikan hari ini?" tanyanya ringan. Sesaat berikutnya dia asyik memainkan ponsel.
Kuputuskan tetap berdiri, entahlah rasanya memang seharusnya begitu.
"Memang tidak. Tapi ada banyak yang secara SOP berbeda dengan tempat kerja saya sebelumnya, jadi--"
"Ya jangan disamakan--"
"Justru itu!" Aku sengaja berhenti sejenak setelah berhasil menyela ucapannya, yang lebih dulu menyelaku. Bodoh amat kalau mau dibilang tidak sopan. "Saya harus cepat beradaptasi, agar laporan tidak terlambat masuk ke atasan saya."
Pandangan kami saling bertemu dan selama beberapa saat bertahan seperti itu. Aku berusaha mencari tatapan Gio remaja yang sekalipun menjengkelkan, tapi membuatku aman. Itu dulu, sebelum ….
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Hours
Romanzi rosa / ChickLitHidup nyaman Jessica berubah seratus delapan puluh derajat semenjak dirinya resign dari tempat kerjanya. Mobil harus dijual dan dengan terpaksa dia harus menggunakan transportasi umum. Lantas apa jadinya, kalau di tempat kerja barunya Jessica bert...