"Shoot!"
Aku melirik ke sekitarku. Semua orang melempar pandangan tajamnya ke arahku, seolah menunggu kelanjutan ucapanku.
"Sshh, sshh," gumamku sembari membungkuk, pura-pura menggosok betis, kebetulan hari ini aku memang mengenakan rok merah muda selutut favoritku. "Nyamuk, Pak," ucapku lirih ke arah Pak Hendra di seberangku, yang masih melotot dan tampak kesal karena kebodohanku yang menginterupsi ketegangan di ruangan ini.
Ish, seharusnya dia berterima kasih, karena berkat aku perkara yang ditanya bos kami tertunda sebentar, bukan? Atau enggak?
Aku jadi salah tingkah sendiri, merutuki kebodohan yang kulakukan. Untung saja aku terbiasa memelesetkan kata shit, jadi shoot. Coba kalau aku mengucapkan kata yang sebenarnya, bisa-bisa aku dipecat di hari kedua bekerja.
Gio berdeham singkat, kemudian berujar, "Pak Hendra, setelah meeting ini selesai, hubungi bagian GA. Mungkin sudah jadwalnya fogging."
Aku menggigit bibir. Sialan, barusan itu dia menyindirku ya? Dari dulu dia memang rajanya sarkasme, tapi barusan mulus sekali, sampai Pak Hendra dengan polosnya langsung mengiakan. Atau Gio benar-benar percaya ruangan ini dihuni para nyamuk nakal.
"Sampai di mana tadi kita?" Gio mengulurkan tangan, mengambil satu bendel dokumen dari tumpukan di depannya. "Jadi ada yang bisa menjelaskan, kenapa dokumen-dokumen yang belum diverifikasi ini sudah ada di meja supervisor accounting-nya F and B?" Kali ini intonasinya memang biasa saja, tapi aura menyeramkan itu masih di sana.
Aku melirik Kak Astrid, terlihat seperti sedang menelan ludah berkali-kali. Aku juga menunggu jawaban apa yang kira-kira akan diberikan olehnya.
"I-itu, Pak." Akhirnya Kak Astrid mulai membuka suara, meskipun dengan sedikit gugup. "Kemarin Jessica menawarkan diri untuk memeriksa dokumen-dokumen itu biar prosesnya lebih cepat."
Whaaat!
Sialan perempuan ini! Jelas-jelas dia yang kemarin menyuruhku untuk memeriksa semua lampiran dokumen, terutama yang ada kaitannya dengan pernikahan si penyanyi itu. Kenapa sekarang jadi dibalik begini?
"Apa benar begitu," kali ini Gio mengarahkan tatapan tajamnya padaku, sementara aku dengan terpaksa, juga melihat ke arahnya, "Jessica?"
Aku masih bergeming, memikirkan jawaban apa yang harus kukeluarkan. Masalahnya, sebetulnya Gio sudah tahu jawaban yang sebenarnya. Bukankah karena kejadian semalam makanya rapat darurat ini diadakan?
Pilihannya ada di aku, mengatakan sebenarnya atau mendukung kebohongan Kak Astrid, sekalipun bos kami sudah tahu kondisi sesungguhnya.
Aku kembali melirik ke arah Kak Astrid yang menampakkan wajah memelasnya. Ck, untung lagi hamil kamu, Kak. Kalau enggak, no ampun lah!
Aku menghela napas panjang sebelum mengatakan kebohonganku yang lain. "Iya, Pak. Saya berpikir, dengan membantu memeriksa dokumen, saya akan lebih cepat beradaptasi di kantor--"
"Memangnya kamu tidak dikasih tanggung jawab lain sama Pak Hendra? Dan kamu juga harusnya tahu, kalau yang kamu lakukan itu tidak sesuai SOP. Buang-buang waktu dan malah dua kali kerja!
"Lagi pula, Astrid, kamu yang lebih senior di sini. Harusnya kamu lebih tahu kan, pekerjaan apa saja yang jadi tugas bawahanmu?" Gio mengomel panjang lebar setelah menyela jawabanku tadi.
"Iya, Pak." Sementara Kak Astrid hanya menunduk dan menjawab lirih.
"Kamu sebentar lagi cuti, limpahkan hal-hal urgent yang tidak bisa ditunda pengerjaannya ke Jessica. Bukan tugas dia memverifikasi lampiran-lampiran dokumen ini!
"Maria, ini kan jobdesk divisi kamu, kok bisa dokumen-dokumen ini sudah nyasar ke Jessica. Bawa balik tumpukan ini ke ruangan kamu nanti. Kalau nggak salah, Jessica sudah menandai temuan-temuannya, kamu tanya sama dia biar nggak kerja dua kali!"
"Iya, Pak." Cik Maria hanya menjawab pendek dan sepertinya mukanya sedikit kesal, entah kenapa.
"Pak Hendra, kamu aturlah anak buah kamu. Jangan mengubah sistem yang sudah berjalan baik. Boleh mengubah, asal tujuannya memperbaiki, bukan malah bikin berantakan. Biasakan efektivitas dan efisiensi kerja!"
"Siap, Pak. Akan kami perbaiki," jawab Pak Hendra pelan.
Aku belum pernah melihat sisi Gio yang ini. Cerdas! Kalau tegas dan dominan, sepertinya sudah mendarah daging dimiliki seorang Gio, tapi efektif dan efisien seperti ucapannya barusan ... hmm, this is new!
Gio membuang napas kasar. Sepertinya pagi ini sedikit terlalu berat untuk kami semua. Ngomong-ngomong, sebenarnya jam berapa mereka sampai kantor? Karena tadi mereka sudah duduk manis di ruang rapat ketika aku datang, di saat jam masuk kantor bahkan belum dimulai. Oh, mungkin mereka punya grup khusus yang membahas diadakannya rapat dadakan ini.
"Mengenai undangan ke Singapore sudah Bapak siapkan semua, kan?"
"Umm, soal itu, Pak ...." Pak Hendra menggantung ucapannya, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan jawaban atas pertanyaan Gio tadi.
Aku yang tidak mengerti topik pembahasannya hanya menyimak saja.
"Kenapa lagi, ada masalah?" tanya Gio lagi.
"Enggak, Pak. Semuanya sudah siap, tapi masalahnya ...."
Ish, Pak Hendra ini mau ngomong apa sih? Dari tadi ditahan-tahan. Namun, kali ini Gio tetap diam, sepertinya sengaja menunggu Pak Hendra melanjutkan.
"Saya sepertinya tidak bisa ikut, Pak."
"Lho kenapa? Ini yang akan kita temui orang-orang penting di bidang yang sama lho. Pak Hendra harus hadirlah di sana!"
"Iya, Pak, saya juga maunya begitu. Tapi ini istri saya ...." Sekali lagi beliau tidak melanjutkan ucapannya.
Sepertinya Gio sudah paham ke mana arah pembicaraan Pak Hendra, karenanya dia hanya menggeleng kecil, lalu bertanya, "Jadi siapa yang akan ke Singapore? Astrid hamil besar, nggak mungkin Bapak kirim dia, kan?"
Pak Hendra tampak gelisah dalam duduknya, seolah bingung harus menjawab apa. Dia melirik ke arah Kak Astrid yang duduk di sampingnya, kemudian melihat ke arahku.
Aku mengernyit bertanya-tanya apa arti pandangan Pak Hendra, sampai mendengar perkataan atasanku itu.
"Bagaimana kalau Jessica, Pak?"
Tunggu-tunggu, barusan aku enggak salah dengar, kan? Namaku yang disebut Pak Hendra, bukan? Di ruangan ini hanya ada satu Jessica, sial!
"Jessica? Tapi dia masih baru--"
"Tapi dia bukan orang baru di bidang ini. Bisa jadi dia malah sudah mengenal sebagian besar orang-orang yang hadir di acara itu nantinya, Pak. Menurut saya, Jessica orang yang paling tepat untuk mendampingi Pak Gio."
Wait, what?!
"Masuk akal sih. Kalau gitu kamu atur saja."
Heh, ini mereka ngomongin apa sih? Bisa-bisanya menyebut-nyebut namaku seolah aku sedang tidak berada di sini. Apa tidak ada satu pun di antara mereka yang berniat menjelaskan atau bertanya tentang kesediaanku ya? Hello ....
"Baik, Pak. Segera saya atur semuanya," jawab Pak Hendra sembari mulai mengemasi berkas di atas meja rapat.
Sementara Gio mulai beranjak dari duduknya, diikuti oleh semua bawahannya termasuk aku yang mulai berdiri dan mengambil barang-barang, sekalipun berbagai pertanyaan masih berkecamuk di dalam pikiranku.
Saat melaluiku, Gio sempat berhenti sesaat seperti baru teringat sesuatu. Apa mungkin ada barangnya yang tertinggal? Aku melihat sekilas ke arah meja yang ditempatinya saat memimpin rapat. Tidak ada apa pun kecuali tumpukan berkas tadi.
Gio berbalik dan kali ini kami berhadapan. Duh, jangan-jangan dia mau membahas soal jawaban bohongku untuk menutupi alasan palsu Kak Astrid tadi. Karena dia tahu betul soal keluhanku semalam. Semoga saja bukan itu.
"Lain kali pakai celana saja, biar nggak digigit nyamuk!" ucapnya pelan, sebelum kembali melanjutkan langkahnya keluar ruangan.
Siaaal! Awas ya kamu, Gio!

KAMU SEDANG MEMBACA
Office Hours
ChickLitHidup nyaman Jessica berubah seratus delapan puluh derajat semenjak dirinya resign dari tempat kerjanya. Mobil harus dijual dan dengan terpaksa dia harus menggunakan transportasi umum. Lantas apa jadinya, kalau di tempat kerja barunya Jessica bert...