Papersh*t

2.1K 430 88
                                    

Panik. Perasaan itu yang pertama kali muncul setelah mendengar ucapan Gio tadi. Apa jangan-jangan sebelum menerima karyawan, HRD di Clover ini juga mencari tahu kebiasaan karyawannya? Kalau tidak, kenapa direktur mereka bisa mengucapkan sindiran seperti itu?


Begitu sampai di mejaku, niat sih ingin segera menghubungi Desi dan menceritakan pertemuan dengan mantan yang ternyata sekarang bosku itu. Tapi terpaksa harus kuurungkan setelah melihat setumpuk berkas di mejaku. Apa-apaan ini?

"Jess, bulan depan gue udah mulai cuti. Jadi gue cicil dari sekarang, ya? Beberapa kerjaan gue alihin ke lo. Pak Hendra juga udah ACC." Kak Astrid, wakil manajer divisi kami, tiba-tiba saja muncul dengan rentetan penjelasan yang baru saja kudengar tanpa aku harus bertanya.

Dia memang sedang hamil besar, dan seperti perkataannya, beberapa pekerjaan terpaksa dipindahkan tanggung jawabnya padaku.

Tadi dia bilang apa, nyicil? Ini sih bukan nyicil namanya.

"Iya, Kak Astrid. Pak Hendra udah jelasin dari waktu interviu." Setelah menjawab demikian pandanganku kembali teralih ke arah tumpukan berkas tadi. "Tapi, ini segini nyicil? Maksudnya masih ada lagi selain ini?"

Aku tidak peduli kalau dia tersinggung dengan pertanyaanku yang terang-terangan. Sebenarnya aku juga tidak keberatan dengan pengalihan tanggung jawab ini, toh itu lumrah di kantor mana pun. Tapi ya enggak gini juga, kali!

Pertama, biar bagaimanapun aku adalah karyawan baru. Sekalipun aku sudah memiliki pengalaman di bidang ini di tempat kerja sebelumnya, kan tetap saja aku butuh adaptasi dengan lingkungan baru. Kedua, aku juga memiliki tanggung jawab pekerjaanku sendiri. Kalau langsung dilimpahi setumpuk berkas begini, kapan aku mengerjakan pekerjaanku sendiri?

Kak Astrid malah tersenyum, sama sekali tidak terlihat kesal atau tersindir dengan pertanyaanku tadi.

"Panggil gue Astrid aja. Kalo soal dokumen-dokumen ini," tangannya menepuk-nepuk pelan ke atas tumpukan berkas di mejaku, "ini kelihatannya aja banyak. Aslinya transaksinya nggak sebanyak ini kok."

Aku sedikit menelengkan kepala, melihat dari samping ke arah tumpukan berkas itu sekali lagi dan aku meragukan kebenaran ucapan superior yang berdiri di depanku ini.

"Lo pasti tahu kan, kalau baru-baru ini Clover mensponsori pernikahan Citra? Yang acaranya sampe diadain di tiga negara itu?"

Aku hanya mengangguk. Iyalah, aku tahu banget soal ini. Gara-gara Clover menjadi sponsor tunggal acara pernikahan Citra, penyanyi papan atas Indonesia, para petinggi Omega langsung kebakaran jenggot waktu itu. Mereka sibuk menyusun rencana dan strategi yang setidaknya bisa menyaingi event yang menjadi sorotan nasional. Padahal tidak ada yang aneh, Citra kan memang brand ambassador Clover, jadi wajar sekali kalau Clover ingin turut andil dalam peristiwa penting seumur hidupnya. Ya terus, kenapa Kak Astrid bertanya soal ini?

"Nah, ini terlihat banyak karena lampiran kelengkapan dokumennya aja. Kalau transaksinya wajar aja kok."

"Tunggu deh, kok keluar dari divisi kita, Kak? Bukannya harusnya--"

"Memang dibagi rata ke masing-masing divisi pembebanannya. Gue tahu maksud lo, kenapa bukan masuk PT langsung, gitu kan?"

Lagi-lagi aku mengangguk, merespons pertanyaan Kak Astrid. Karena perlakuan pencatatannya sepertinya berbeda dengan Omega, sebaiknya aku menyimak dengan seksama.

"Udah dari sononya begini. Oh, sama lo cek juga lampirannya."

Tunggu, gimana-gimana?

"Eh, gue ke toilet dulu ya, maklum kalo udah hamil gede suka pipis mulu."

Office HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang