Resign

5.3K 497 76
                                    

“Lo seriusan resign, Jess?” tanya Desi, rekan kerja sekaligus sahabatku. 

Kami berdua sama-sama bekerja sebagai wakil accounting manager di sebuah perusahaan multi industri. Kalau aku di industri food and drink, sedangkan dia personal care.

“Seriuslah!” jawabku cepat tanpa menghentikan ketikan surat pengunduran diriku.

“Jebol itu keyboard, Jess.” 

Aku memang sengaja menekan huruf demi huruf dengan kekuatan penuh, sekalian melampiaskan emosi. Suara ketikannya bisa jadi terdengar sampai di luar ruanganku.

“Bodoh amat!” sahutku ketus. Padahal jelas-jelas bukan salah Desi dan dia hanya sedang berusaha menghiburku.

Tapi sudah tidak bisa dibiarkan lagi, Pak Pram kali ini sudah keterlaluan. Amarahku meradang, kesabaranku juga sudah habis stoknya. Lihat saja nanti!

“Sabar, Jess. Jangan memutuskan sesuatu dalam keadaan emosi.” Desi ini pantang menyerah sekali ya. Bisa-bisanya masih menyuruhku sabar setelah melihat berlembar-lembar laporan itu dilempar ke wajahku.

Kuhela napas kasar dan menghentikan sejenak ketikan surat resign-ku. Akhirnya, kutatap Desi penuh pertanyaan. “Lo masih nyuruh gue sabar setelah semua yang lo lihat di ruang meeting tadi? Gue yang nggak ngerti apa-apa, harus menanggung kesalahan bos gue yang bego itu! Udah cukup ya, Des, selama ini semua kerja keras gue diakui sebagai kerjaannya sendiri. Udah nggak bisa lagi ….

“Oke, dia emang atasan langsung gue dan udah sewajarnya kalo gue membantu dia dalam penyusunan semua laporan keuangan di food and drink. Selama ini gue nggak pernah komplain, sekalipun gue nggak mendapat credit apa pun. Never!

“Tapi, kalo lantas ada kesalahan atas laporan yang dia bahkan nggak minta bantuan ke gue dalam penyusunannya--yang entah kenapa juga dia nggak minta bantuan gue kali ini--trus gue yang dijadiin tumbal, ya gue nggak terimalah! Gila aja!

“Gue disekolahin tinggi-tinggi sama orang tua gue, bukan buat diginiin, Des!”

Puas sudah kutumpahkan segala kekesalan yang sejak tadi berusaha kutahan-tahan. Kuambil botol yang berisi air mineral di sudut meja dan langsung kuhabiskan isinya.

“Iya, tau kok. Sabar, Jess.”

“Atau jangan-jangan … gue curiga emang ini udah direncanain sama Pak Pram. Dia sengaja nggak minta tolong sama gue, biar bisa numbalin gue di depan Mr. Frans. Soalnya---”

“Nggak mungkinlah, Jess,” sela Desi tidak percaya pada hipotesaku.

“Kenapa nggak mungkin? Lo kan tau sendiri, mana bisa sih tuh orang nggak nyuruh gue sehari aja? Nggak bisa, ‘kan? Nggak pernah, ‘kan?” tanyaku pada Desi. Dia sendiri hanya menggeleng menanggapi karena memang begitulah adanya.

“Nah, tapi kenapa coba, kali ini dia nggak minta bantuan gue?”

“Ya … mungkin karena ….” Desi menggaruk-garuk kepala, terlihat seperti orang bingung.

“Nggak punya jawabannya kan lo? Ya udah, jadi bener … dia sengaja!”

“Jess---”

“Lihat aja, Des. Dia nggak akan dapat pengganti yang seperti gue. Setelah gue resign, dia butuh paling nggak tiga orang buat menggantikan gue mengerjakan dan memeriksa semua laporan yang ada. Lo lihat aja, pegang omongan gue!” potongku, tidak memberi kesempatan pada sahabatku ini untuk menyanggah.

Kulanjutkan ketikan yang sempat tertunda. Keputusanku sudah bulat. Buat apa bertahan bekerja di bawah seseorang yang tidak menghargai jerih payah kita.

Kali ini giliran Desi yang menghela napas panjang dan membanting badannya ke sandaran kursi yang dia duduki. “Tapi kalo lo resign, entar gue ama siapa?” gumamnya yang terpaksa kuabaikan.

Sorry, Des. Kali ini keputusanku sudah final!

***


Entah sudah gelas keberapa kutenggak campuran minuman beralkohol ini. Kapan lagi coba bisa dugem di hari kerja. Ups! Lupa, aku kan sekarang pengangguran. Akhirnya, setelah melewati sebulan yang menyiksa semenjak surat pengunduran diri itu kuserahkan, malam ini aku bebas. 

Bye, bye, Pram sialaaan! Wohoo ….” Teriakan kepuasan kulakukan berulang kali. Badanku meliuk mengikuti hentakan musik club langgananku. Sayang sekali Desi tidak bisa bergabung merayakan hari kemerdekaan seorang Jessica dari kekangan Accounting Manager yang psikopat itu.

Sekalipun setengah mabuk, aku masih bisa mengingat dengan jelas kata per kata yang diucapkan si Pram sialan itu. Dia bilang, “Resign? Masa begitu saja, kamu udah mau resign, Jess? Jangan punya mental kerupuk, kena air sedikit, melempem.”

Sumpah, bukannya aku tidak berani membalas hinaannya waktu itu, tapi aku malas berdebat dengan orang gila.

“Kamu nggak akan bisa dapat pekerjaan yang ngasih kamu gaji lebih besar dari perusahaan ini, Jess. Sebaiknya kamu pikirkan lagi,” lanjut mantan bosku waktu itu.

Namun, untuk membuatnya semakin kesal, bukannya menanggapi nasehatnya aku langsung permisi keluar ruangan. Bahkan sekedar senyum pun enggan kuberikan untuk bos macam dia.

Setelah itu, selama menjalani satu bulan terakhir--sebagai syarat lamanya waktu yang dibutuhkan di perusahaan setelah resign--Pak Pram kerap membujuk supaya aku mengubah keputusanku. Bahkan, sempat menawarkan kenaikan gaji. Menggiurkan sekali memang, tapi aku berpikir bukan saatnya melunak. Biar dia merasakan, bagaimana nikmatnya sebuah deadline, betapa merdunya caci maki Mr. Frans--pimpinan tertinggi di kantor lamaku--atau indahnya angka-angka laporan keuangan. Belum lagi, kalau data yang diperlukan belum lengkap dan harus mengejar departemen-departemen yang bersangkutan untuk menyelesaikan suatu laporan. Ya, walaupun bukan aku sendiri yang mengejar data tersebut, tapi para Accounting Staff di bawahku, tetap saja menunggu itu menyebalkan dan bikin senewen karena si Pram itu tidak mau tahu dan bisanya cuma nagih dan nagih.

Ah, udah ah! Bodoh amat! Kenapa aku malah mengingat-ingat bekas atasanku itu sih. Mendingan juga kunikmati kebebasan ini. Belum tentu, kalau aku sudah tanda tangan kontrak di tempat yang baru masih bisa keluar malam di hari kerja, ya ‘kan?

“Satu lagi, Mas!” teriakku pada bartender yang meracik illusions untukku.

Setelah beberapa saat, gelas berisi cairan kehijauan pun berhasil kudapatkan. Tubuhku kembali refleks bergerak seirama musik EDM yang dimainkan sang DJ. Tanganku yang masih memegang gelas terangkat tinggi. Sengaja untuk menghindari tersenggol orang lain di lantai dansa. Heran, padahal ini weekday, tapi kenapa seramai ini, sih?

“Awas!”

“Ups!”

Hampir saja aku menumpahkan isi gelas yang tersisa setengah ke Dewa Yunani di depanku ini. Apa, siapa? Sepertinya aku mulai mabuk.

Becareful, sweetheart ….

Sial! Bahkan suara beratnya terdengar merdu di telingaku. Aku betul-betul sudah mabuk. “Sorry, lo nggak pa-pa, ‘kan? Gue nggak ngotorin baju … uweeek ….” Brengsek, pasti bartender tadi menambahkan sesuatu di minumanku. Aku tidak akan mabuk cuma dengan beberapa gelas illusions.

Hey, are you okay?

Aku menengadah, memberanikan diri menatap langsung kedua mata lelaki yang bertabrakan denganku tadi. Mataku kembali menyipit seiring sinar lampu club yang menerpa wajahku. 

“Kamu!”

Hanya satu kata itu yang terdengar, sebelum akhirnya kesadaran benar-benar meninggalkanku malam ini. 

***Tika R. Dewi***

Let's try to write a new story. Makasih buat squad emak yang masih setia menunggu cerita baru ya. Jangan lupa tinggalkan jejak kaki kalian.

Office HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang