Kuhempaskan diri di kursi yang menurut Mbak Lita adalah tempat di mana supervisor sebelumnya duduk. Lidahku kelu, bahkan menjelang Mbak Lita mengakhiri tur kecilnya tadi, aku cuma bisa mengangguk, menggeleng, dan sesekali tersenyum dengan sedikit terpaksa. Semoga saja Mbak Lita tidak berpikir macam-macam atau mengira diriku kurang sopan.
Sial! Kenapa harus dia yang bakal menjadi bosku. Menurut Mbak Lita, Gio sudah dua tahun terakhir menjabat sebagai direktur utama. Dan di bawah kepemimpinannya Clover--nama kantor baruku ini--mengalami kenaikan penjualan di beberapa produknya secara pesat. Iya, aku paham betul kalau Clover memang tidak bisa dianggap remeh. Hal itu juga yang menjadi salah satu faktor menerima tawaran pekerjaan, meskipun hanya sebagai supervisor di perusahaan ini.
Itu sebelum aku melihat sosoknya yang sebelumnya bagai lenyap ditelan bumi. Kenapa harus sekarang dia muncul?
Salahku juga yang tidak mencari tahu lebih dalam. Aku tidak tahu kalau sudah ada pergantian jabatan di Clover. Sebelum wawancara pekerjaan, aku cukup percaya diri dengan pengalaman yang kumiliki. Jadi tidak merasa perlu mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan siapa-siapa para pengambil keputusan di perusahaan ini.
Sebenarnya, belum terlambat kalau aku ingin meninggalkan pekerjaan ini. Sayangnya, aku juga harus realistis, perut ini masih butuh asupan karbohidrat, protein, dan lainnya.
Aku mengembuskan napas keras-keras dan menelan ludah, memikirkan langkahku berikutnya. Apakah aku harus tinggal dan menelan mentah-mentah rasa gengsi, atau pergi saja, yang artinya mengulangi lagi semua proses interviu di perusahaan lain yang membosankan itu?
"Stay!" seruku menyemangati diri sendiri. Iya, kenapa aku harus menghindar, memangnya aku salah apa! Lagi pula aku cuma seorang supervisor, kansku bertemu langsung dengan mantan pacar yang sekarang bukan lagi bos preman, melainkan bos perusahaan multinasional ini pun pasti kecil sekali. Kecuali jika kebetulan berpapasan seperti tadi.
"Jadi kamu pengganti Vania?"
Lamunanku seketika pecah dan aku refleks berdiri mendengar suara seseorang di hada-pan-ku. Kenapa orang yang baru saja kubayangkan memiliki kans kecil untuk bertemu muka, mendadak muncul di depanku?
Kami saling bertukar pandangan selama beberapa saat, hingga kudengar dia berdeham dan kembali bertanya, "Saya barusan tanya, kamu penggantinya Vania?"
"E-eh, iya Gi ... Pak." Sial! Hampir saja aku keceplosan menyebutkan namanya.
Gio sampai terlihat sedikit terkejut, tapi dia pintar menutupinya. Dasar Jessica goblok!
"Pagi, Pak." Pak Hendra muncul dengan tergesa-gesa dan langsung menyapa direktur kami. Mungkin dia juga heran kenapa atasannya berada di depan meja supervisornya.
"Pak Hendra, siapa yang menginterviu dan menerima dia di sini?"
Apa-apaan maksud pertanyaan Gio ini? Maksudnya aku tidak seharusnya bekerja di sini begitu? Kerdil sekali pemikirannya kalau benar begitu.
Jadi maksudnya apa? Apa itu artinya seorang Giorgino Adyatma belum berhasil move on dariku, karenanya dia merasa terganggu dengan kemunculanku.
Alisku mengernyit menunggu jawaban yang akan diberikan accounting manager divisi food and drink ini.
"Saya, Pak. Pengalamannya--"
"Kamu masuk perusahaan saya bukan sebagai mata-mata, 'kan?" Tiba-tiba saja Gio memotong jawaban Pak Hendra dan barusan dia tanya apa, bisa-bisanya. "Karena kalau iya, kamu tidak akan mendapatkan--"
"Saya mengundurkan diri dari Omega atas kemauan sendiri. Begitu pula ketika saya memutuskan untuk bekerja di sini, semuanya kemauan saya sendiri, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya." Ada keketusan yang memang sengaja kuperlihatkan saat aku menyelanya barusan. Bodoh amat!
Gio mengambil dua langkah lebih dekat ke arahku. Tanpa mengalihkan pandangannya yang mengancam.
Sudah kepalang tanggung, aku pun tidak gentar melempar tatapan yang sama. Kalau sebelumnya aku tahu kamu adalah direktur utamanya, mungkin akan kuurungkan niatku bergabung di Clover.
"Bagaimana kalau sebaliknya, sekarang kamu adalah karyawan di Clover. Untuk menunjukkan loyalitas, kamu tidak akan keberatan memberikan beberapa informasi tentang Omega yang kita perlukan, bukan?"
Kernyitan di keningku semakin dalam mendengar permintaannya barusan. "Saya hanya seorang wakil manajer di sana, untuk informasi yang Anda perlukan--"
"Tapi kamu bersedia, bukan?"
"Jessica, kemarin waktu wawancara saya juga sempat menanyakan hal yang sama, bukan? Dan saat itu kamu menjawab itu tidak akan menjadi masalah."
Hah? Kapan Pak Hendra bertanya seperti itu? Di wawancara kemarin dia hanya membahas gaji yang kuinginkan dan kemampuanku menyusun laporan keuangan. Sama sekali tidak membahas kantor lamaku.
Kutelan ludah sebelum membuka mulut. "Tentu saja, tidak masalah, jika itu memang diperlukan."
"See, Pak, tidak ada masalah," ucap Pak Hendra sepertinya terlihat lega. Apakah Gio adalah atasan yang menakutkan?
Gio menunduk sambil mengangguk pelan. Kemudian kembali mengangkat pandangan dan tatapan kami pun kembali bertemu. "Kalau begitu saya tunggu kamu di ruangan saya sekarang. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan."
"Kenapa tidak sekarang saja? Maksud saya, Bapak bisa menanyakan hal-hal yang ingin Bapak ketahui di sini!" seruku, menghentikan langkah Gio yang tadi langsung berbalik badan setelah mengucapkan titahnya.
Kuperhatikan Gio sempat membuang napas sebelum menjawabku, "Maksudnya, kamu menyuruh saya berdiri di sini selama beberapa menit ke depan?" Penekanan dalam nada bicaranya terdengar menyeramkan. Ternyata aura Gio si preman sekolah masih sangat terasa.
"Umm, Pak, Jessica akan ke ruangan Bapak saat ini juga." Pak Hendralah yang lagi-lagi mengambil alih menjawab Gio, sembari matanya berkode ria padaku. Seolah dia sedang menyuruhku untuk tidak lagi membantah atasan kami.
Sementara Gio tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung berjalan kembali menuju ruangannya.
Pak Hendra bernapas lega lepas kepergian si direktur utama. Sebegitu takutnya dia pada Gio. Sekarang dia memandangku, apa maunya? "Jessica! Tunggu apa lagi, cepat ambil buku catatanmu dan segera ke ruangan Pak Gio!"
Astaga, hari pertama yang menyebalkan. Kuambil tablet dari dalam tas dan segera berlalu dari meja, meninggalkan Pak Hendra yang entah kenapa belum juga kembali ke ruangannya.
"Jess!" panggil Pak Hendra sembari menahan lenganku. "Kamu tidak perlu takut, walaupun Pak Gio terlihat dingin dan mengerikan, dia sebenarnya baik kok. Kamu cukup menjawab pertanyaan beliau dengan jujur. Tidak perlu gugup, okay?"
Kutatap tangannya yang masih bertahan di lenganku. Pak Hendra ini masih muda sebenarnya, mungkin usianya hanya terpaut beberapa tahun di atasku dan Gio. Dia bukan tipe orang yang hobi menjamah, 'kan?
"Eh, sorry," ucapnya sambil menarik tangannya cepat.
Aku hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum untuk merespons nasehatnya tadi.
Sekarang aku berdiri tepat di depan pintu ruang direktur utama yang sempat kulewati saat tur kecil pengenalan gedung tadi pagi. Sebenarnya apa tujuan Gio memanggilku ke ruangannya. Entah kenapa perasaanku mengatakan ini bukan hanya soal Omega. Apa dia akan membahas masa lalu kami?
"Mbak, ketuk aja pintunya." Ucapan Hesti sekretaris Gio yang mejanya terletak tepat di depan ruang direktur utama mengejutkanku. Lagi-lagi aku terpaksa tersenyum canggung.
Kuhela napas dan mengembuskannya perlahan, sebelum akhirnya tanganku terangkat untuk mengetuk pintu di depanku.
"Masuk!" Suara Gio yang dalam terdengar dari balik pintu.
Aku menelan ludah saat telapak tangan mulai bersentuhan dengan pegangan pintu. Pintu mengayun terbuka dan kakiku pun melangkah pelan memasuki ruangannya.
Tatapan matanya yang tajam menyambutku. Rahangnya mengeras, seolah menyiratkan kalau dia sedang memendam amarah. Tapi marah kenapa?
Sudahlah, aku kan tidak salah apa-apa. Mari kita lihat apa maunya. "Selamat pagi, Pak Gio."
***Tika R. Dewi***
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Hours
Romanzi rosa / ChickLitHidup nyaman Jessica berubah seratus delapan puluh derajat semenjak dirinya resign dari tempat kerjanya. Mobil harus dijual dan dengan terpaksa dia harus menggunakan transportasi umum. Lantas apa jadinya, kalau di tempat kerja barunya Jessica bert...