Kantor Baru

2.6K 445 60
                                    

Aku terbangun di kamar kos-kosan dengan kondisi kepala serasa memakai konde. Pengar sekali. Sebelumnya tidak pernah aku pulang dari clubbing dalam keadaan skip begini. Sebenarnya apa yang kuminum semalam? Perasaan aku cuma order illusions. Bartendernya pasti salah mencampur minuman. Untungnya aku tetap terbangun di kamarku sendiri, coba kalau ....

Tunggu deh, bagaimana aku bisa sampai kos-kosan kalau aku saja tidak ingat apa pun? Siapa yang mengantarku pulang?

"Sial!"

Meskipun sedikit terhuyung, akhirnya aku berhasil bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dispenser air minum. Tenggorokan rasanya kering sekali. Usai beberapa teguk melewati kerongkongan barulah aku menuju kamar mandi. Aroma bekas asap rokok bercampur alkohol masih lekat sekali di badanku. 

Jadi siapa yang membawaku pulang? Pikiran itu kembali menyapa saat guyuran air dari shower mulai membasahi ujung kepala sampai kaki. Kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun?

Buru-buru kuselesaikan acara mandi karena dering ponsel terdengar dari kamar. Aku langsung berlari menuju nakas tempat di mana benda itu berada, masih dalam balutan handuk. "Ya, Des."

"Jessicaaa!!!" 

Aku sampai refleks menjauhkan ponsel dari telinga karena teriakan Desi barusan. Kenapa lagi dia? Masa baru sehari kutinggal dia mulai gila? Lagi pula jam-jam segini bukankah dia seharusnya berada di kantor. "Apaan sih, Des? Pagi-pagi udah teriak-teriak. Emangnya lo nggak gawe apa?"

"Lebih penting daripada itu ... lo udah gila ya, Jess? Clubbing sendirian sampe skip gitu, kalo lo kenapa-napa gimana, hah?"

Aku mengernyit heran medengar perkataan Desi barusan. "Kok lo bisa tau? Emangnya ... oh, gue tau ... lo yang jemput gue semalam, ya? Thank---"

"Bukan itu yang lebih penting!" potong Desi tak memberiku kesempatan bicara lebih panjang. "Lo tau nggak kenapa gue bisa jemput lo?"

Iya juga ya, semalam kan tidak ada yang tahu kalau aku pergi clubbing, tapi kok ....

"Ada cowok yang nelepon gue dan ngasih tau kondisi lo yang katanya mabok parah. Gue sempet mikir itu cuma telepon iseng, tapi begonya gue percaya dan berangkat juga---"

"Tunggu, tunggu, cowok nelepon lo? Siapa?"

"Mana gue tau, lo nggak inget sama sekali emangnya? Wah parah banget sih lo! Kalo dia bukan cowok baek-baek gimana, Ijaahh!"

Kalau Desi sudah mengubah sapaannya padaku menjadi Ijah, artinya kekesalannya sudah memuncak. Tapi siapa yang bersama aku semalam dan telepon ke Desi?

"Seinget gue, gue sendirian," gumamku, berkata untuk diri-sendiri. 

"Kalo lo sendirian, gimana gue bisa tau lo tepar, Ijah? Gue cuma lagi mikir---"

"Orangnya kaya gimana, Des?"

"Hah?"

"Orang yang sama gue, dia kaya gimana?" Aku jadi penasaran sendiri, kalau Desi saja enggak kenal, bagaimana bisa dia menelepon Desi? 

"Orangnya? Oh, yang nemenin lo sampe gue dateng jemput? Ganteng, Jah! Sumpah ini mah, lo langsung gue restuin kalo dia cowok baru lo!"

Boro-boro pacar, ingat orangnya saja tidak. Eh, tunggu. Aku menggeser tampilan ponsel yang tadinya menampilkan lama panggilan Desi denganku, beralih ke daftar panggilan telepon. Rupanya aku sendiri yang menelepon Desi semalam, riwayatnya ada di panggilan telepon keluar sekitar pukul 1 dini hari. 

"Ah, udahlah! Gue mesti balik ke ruangan, entar dicari Pak Roy." 

Padahal atasan Desi mah enak, tidak akan bawel. Beda dengan mantan bosku. Kita lihat saja nanti, apa penggantiku yang baru bergabung dengan perusahaan mereka bisa bertahan di bawah tekanan bos macam Pak Prambudi yang tidak berbudi itu. 

"Baek-baek lo, Ijah! Jangan diulangin mabora sampe skip gitu!"

"Hmm." Aku hanya bergumam setengah hati, menjawab omelannya. "Ya udah. Gue juga mo keluar, ada urusan."

"Jadi lo jual si Asep?"

"Iyalah, ngasih makannya pake apa? Lo tau sendiri, di tempat baru gue mesti mulai dari bawah."

"SPV nggak bawah-bawah banget lah, Jess. Dengan kemampuan yang lo punya, pasti sebentar aja karir lo juga bakal nanjak. Eh, gue beneran harus cabs dulu nih. Entar sambung lagi, ya!"

"Oke, oke, bye."

Satu hal yang paling membuat aku sedih saat mengundurkan diri adalah berpisah dengan Desi. Mau bagaimana lagi. Ya sudahlah, tidak ada yang perlu disesali. Sekarang waktunya move on. 

Hari ini aku sudah membuat janji untuk bertemu dengan calon pembeli Asep--mobil kesayangan--yang sudah menemaniku empat tahun terakhir ini. Kuhela napas berat, harus ikhlas. Aku jelas tidak mungkin mempertahankan Asep. Apalagi kalau lusa jadi sign kontrak dengan tempat baru untuk posisi supervisor, jelas akan berat untukku membiayai perawatan sebuah mobil. 

"Nggak pa-pa, suatu saat bisa beli mobil lagi. Sekarang ini, realistis dulu!" seruku menyemangati diri sendiri. 

Jadi meskipun kepala masih cenat-cenut dan terasa berkonde, let's go! 

Eh, tapi aku masih penasaran siapa orang yang semalam sudah menolongku dan telepon Desi. Lalu bagaimana caranya dia membuka ... oh, aku tahu, pasti dia mencoba dengan pemindai jari. Tapi kan dia tidak tahu jari mana yang kugunakan untuk membuka kunci ponsel. Apa itu berarti dia mencoba menempelkan jariku satu per satu? Kupandangi kesepuluh jari yang kumiliki membayangkan kejadian semalam. 

Memang dasar bego! Bayangkan kalau lelaki itu orang jahat, bagaimana nasibku ya, Tuhan? 

***


Setelah pertimbangan matang, akhirnya kutandatangani juga kontrak kerja sebagai accounting supervisor departemen food and drink. Iya betul, memang departemennya sama dengan pekerjaanku yang lama dan kantor yang baru ini bisa dibilang adalah kompetitor terkuat dari perusahaan tempatku bekerja sebelumnya. 

Sebetulnya aku melamar untuk posisi yang setidaknya sama dengan jabatan sebelumnya. Masalahnya, tidak ada posisi kosong untuk jabatan tersebut. Jadi ya sudahlah tidak apa-apa memulai dari bawah lagi. 

Hari pertama bekerja aku sengaja berangkat lebih awal. Takut terlambat karena aku harus membiasakan diri, kembali ke hari-hari di mana harus berdesak-desakan di kereta, seperti saat sebelum membeli Asep. 

Aku juga sengaja memakai setelan kerja terbaik demi kesan pertama untuk rekan-rekan kerja di tempat baru nanti. Celana warna khaki kupadukan dengan atasan putih polos favorit, dan riasan tipis untuk wajahku. Sementara rambut sengaja kubiarkan tergerai, tapi aku sudah menyiapkan ikat rambut di tas kalau-kalau nanti dibutuhkan. 

Hal yang pertama yang kulakukan sesampai di kantor baru adalah bertemu perwakilan HRD yang lalu mengantarku mencetak ID card kantor yang juga berfungsi sebagai kartu akses karyawan. Pun mengantar berkeliling untuk berkenalan dengan beberapa manajer yang kemungkinan akan berhubungan langsung dalam urusan hirarki kerja denganku nantinya. 

"Ini ruangan direktur utama, tapi kita nggak perlu masuk, nanti kapan-kapan kamu juga akan kenal beliau."

Aku mengangguk saja menanggapi penjelasan Mbak Lita, HRD yang menemaniku berkeliling, saat kami berdua melewati ruangan pimpinan perusahaan ini. 

Baru saja hendak melanjutkan tur kecil kami, pintu ruangan itu terbuka.

"Hesti, tolong kamu ...." 

Dia? 

Tunggu-tunggu, apa itu berarti direktur utama di perusahaan ini Gio? Giorgino Adyatma, pacar pertamaku, sekarang jadi pimpinan perusahaan tempatku bekerja? 

Mampus! 

***

Please be nice ya, sabar dengan slow update-nya. Terutama buat yang sebelumnya udah baca dan terpaksa baca ulang hehe. Btw, kalian kemarin baca sampai part apa, guys?

Office HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang