The MRT Journey

2.1K 392 74
                                        

Rupanya bukan cuma tiket pesawat yang di-upgrade oleh Gio, tapi kamar hotel pun demikian. Lagi-lagi bersebelahan dengan kamar yang ditempati olehnya.

Aku menyunggingkan senyum tipis. Boleh kan kalau aku berpikir kalau dia--mungkin, hanya mungkin--masih menyukaiku? Kecuali Gio memang selalu memperlakukan koleganya dengan supernice begini ya.

Kulihat sekeliling kamar, seperti biasa mengecek fasilitas yang disediakan hotel. Memperhatikan letak beberapa barang yang barangkali akan kuperlukan selama menginap di sini nanti.

Sekalipun ini bukan pertama kalinya menginap di hotel mewah seperti ini, karena selama menjabat sebagai wakil manajer accounting divisi F&B di Omega juga pernah beberapa kali perjalanan dinas, tetap saja kebiasaan memeriksa kamar saat baru check-in tidak bisa kuhilangkan.

Dering ponsel dari dalam tas menghentikan inspeksi yang kulakukan. Sudah bisa kutebak siapa yang menghubungi sepagi ini.

"Dah landing di SG, Buk?" tanya Desi begitu panggilan tersambung.

"Dah di hotel keleus, Buk!" Aku menerima panggilan tersebut sembari duduk di tempat tidur berukuran king size itu dan melepas sepatu yang dari tadi masih kukenakan.

"Hohoho, udah ngapain aja lo sama dia?" tanyanya lagi.

"Ngapain aja, menurut ngana! Baru juga check-in, emang mau ngap--"

"Heh, heh, sabar, Ijah! Maksud gue, udah ngeributin apa aja lo ama dia? Kan semalam lo sendiri yang kuatir kalo lo bakal kaya Tom and Jerry kalo business trip bareng mantan lo itu."

"Oh, itu." Aku jadi malu sendiri karena sudah asal menyimpulkan pertanyaan Desi tadi.

"Lagian, kalo udah lama check-in emang mo ngapain lo?" Di ujung panggilan ini, Desi terdengar tertawa bahagia atas kenahasan temannya ini. "Tapi tunggu, ada sesuatu yang belum lo ceritain, kan?"

"Kenapa lo bisa ngomong gitu?"

"Ijah, Ijah, gue kenal lo nggak sehari dua hari keleus. Ada perkembangan apa lo ama dia sampe-sampe lo mikir macem-macem pas gue tanya tadi?" tanya Desi penuh selidik.

"Ck, nggak ada, Des. Tapi ...," pikiranku melayang ke pembicaraan dengan Gio di pesawat tadi, juga tentang kebodohan kami di masa-masa remaja dengan segala kelabilan hormonnya, "better-lah. Harusnya kami nggak perlu ribut-ribut lagi."

"Hah?" Desi tentu saja tidak akan puas dengan penjelasan mengambang yang kuberikan.

Akhirnya, kuceritakan semua padanya tanpa meninggalkan detail sekecil apa pun. Hitung-hitung menghabiskan waktu sambil menunggu jam makan siang.

Agenda hari ini, aku akan menemani Gio, maksudku menemani direktur utama Clover bertemu dengan partner bisnisnya. Semacam lunch meeting gitu. Malamnya barulah meghadiri acara gala dinner, yang sebenarnya hanya kamuflase dari acara saling melobi, saling mendekati untuk ekspansi perusahaan masing-masing.

"Jadi maksudnya, kalian cuma salah paham gitu?"

"Semacam itu," jawabku dengan sedikit menyisakan rasa malu, tapi untung ini hanya seorang Desi yang sudah paling paham bagaimana kelakuan temannya.

"Emang bego sih lo, Ijah!"

"Yeee, kan waktu itu--"

"Eh, tapi tapi tapi, berarti ada kans dong?" sela Desi seenaknya.

"Kans apa?"

"Ya kans buat lo balikan ama dia. Kan ternyata cuma salah paham." Suara Desi di seberang terdengar lebih ceria dari biasanya. Kenapa justru dia yang semangat coba?

Office HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang