Bab 12

2.1K 378 58
                                    

"Ibu yang mendorong Ami?" tanya Bram tanpa basa-basi begitu menemui ibunya di kamar. Sejenak ia tertegun karena ekspresi ibu terlalu biasa sedikitpun tidak kaget atau berusaha mengelak. "Jadi dia tidak membohongiku?"

Bu Cendana terkekeh. "Yang penting keinginan Ibu terwujud. Untuk apa memiliki anak lagi dengan wanita itu, kamu juga senang kan?"

"Ibu melihat bahagia di wajahku?"

"Tentu." lalu wanita itu tertawa lagi. "Sama seperti Ibu kamu juga tidak menginginkan wanita itu, jadi bagaimana?"

"Aku tidak suka Ibu mengambil keputusan sepihak!" Bram menekan kata-katanya. "Aku keberatan."

"Sudah lah Bram. Sekarang tidak ada janin lagi di rahimnya dan kamu!" ibu menatap tajam wajah putranya. "Bukankah kamu tidak ingin berhubungan lagi dengannya?"

Bram tidak menjanjikan apa-apa pada ibunya dan dia tidak perlu melaporkan apa yang dilakukan pada wanita itu.

"Ini terakhir kalinya Ibu mendengar wanita itu hamil!"

Bukan ancaman main-main, bu Cendana bisa melakukan hal yang lebih keji dari ini. Hari ini janin yang belum bernyawa itu dibunuh mungkin saja kalau Bram mengulang makanya nyawa Ami yang melayang.

"Aku sudah mengatakan akan mengatasinya sendiri, kenapa Ibu ikut campur?"

"Menunggumu dirayu oleh wanita itu?" bu Cendana tertawa.

"Tidak ada yang bisa merayuku."

"Omong kosong." bu Cendana melihat sendiri buktinya, anda saja wanita itu tidak merayu putranya mungkin saja Ami tidak hamil.

"Kapan kamu akan menceraikannya, atau kamu tidak perlu mengotori tanganmu karena orang-orang kita akan membuangnya ke tempat yang lebih sadis."

"Akan kulakukan sendiri dan ini peringatan terakhir untuk Ibu, jangan ikut campur dalam masalahku."

"Kamu pikir akan berhasil tanpa Ibu?" dengan bangga bu Cendana mengungkapkan kesadisannya. "Kamu tidak akan berada di posisi ini andai saja Marco tidak lumpuh dan yang lebih penting karena Ibu kamu bisa memperoleh posisi ini."

Bukan hanya Marco tapi masih ada beberapa korban lainnya yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaan, bahkan Bram tidak tahu hanya ibunya yang mengetahui segala sesuatu di balik dunianya sekarang.

"Yang pertama aku tidak menyukai istrimu, Ibu pikir kamu juga begitu dan kedua dia harus disingkirkan karena bisa menghalangi jalanmu."

Yang dikatakan oleh ibu ada benarnya namun di satu sisi Bram ingin mengatasi sendiri masalah yang dibuat oleh Ami namun kembali lagi pada kesibukannya yang mungkin saja akan lengah ada kesalahan yang dilakukan oleh istrinya.

"Cukup lakukan tugasmu, kerikil kecil akan Ibu bereskan."

Ya, Bram hanya perlu melangkah ke depan dan membiarkan ibunya membereskan duri yang menghalangi langkahnya.

"Mulai minggu depan wartawan akan sering ke sini, perhatikan wibawamu jangan terkecoh dengan wanita itu."

Tentang wibawa tidak perlu diragukan lagi semua orang mengenal Bram sebagai sosok yang berwibawa dan bersahaja, yang ditampilkan oleh laki-laki itu adalah segala kesempurnaan layaknya kandidat lain untuk memperoleh kursi.

"Elena akan mengurus keperluanmu."

"Aku sudah memiliki Xander."

"Tidak semua orang kepercayaanmu bisa diandalkan, Elena sudah membuktikan kesetiaannya."

Bram tetap menolak, mungkin bagi ibunya Elena sempurna tapi Xander-lah yang selama ini dipercaya oleh Bram. "Hanya ada Xander, bukan Elena."

"Kamu bisa memberikan waktu padanya selama dia mengurus kepentingan politikmu. Anggap saja pendekatan."

"Apa yang Ibu harapkan darinya, menjadi menantu? Tidak akan pernah."

"Bram!"

"Aku tidak butuh wanita, mereka hanya akan menjadi penghalang."

"Elena wanita pintar, dia tidak bodoh seperti Ami. Perlu Ibu sebutkan satu persatu prestasinya?"

Bram menggeleng. "Aku tidak butuh, jadi jangan paksakan."

Bram telah selesai bukan kamar tapi laki-laki itu kembali ke ruang kerja, sementara Elena yang menguping pembicaraan anak dan ibu tersebut geram melihat Bram yang begitu keras kepala.

Elena akan memikirkan sebuah cara jika dia tidak bisa menaklukkan seorang Bram maka dia hanya perlu menjebak laki-laki itu dan membuat keinginannya menjadi nyata. Ia perlu ide kemudian menyusun rencana secara matang, bagaimana kalau kita mulai dari ruangan kerja pria itu? Tidak tepat untuk malam ini, mungkin Elena akan mencari waktu lain yang jelas dalam beberapa hari ini.

******

Mendekati kampanye pemilihan Bram mengalami insomnia jadi setiap kali ingin tidur laki-laki itu mengkonsumsi obat dan hal ini menjadi kesempatan untuk Ami keluar dari kamar dan bisa berlama-lama melihat putrinya. Hari-hari kami akan disibukkan dengan aktivitas suaminya, setiap hari Ami akan berada di samping Bram tersenyum pada kamera dan melambai tangan pada rakyat. Itulah skenario yang disiapkan oleh keluarga Cendana untuknya demi mensukseskan langkah Bram.

Malam itu Elena memberanikan diri menyelinap ke kamar Ami dan Bram, ia tampak awas ketika melihat Ami keluar sepertinya semesta sedang berada di pihaknya.

Perlahan dia keluar dari bawah ranjang dan memperhatikan dengan seksama wajah polos Bram yang sedang tidur. Tampan dan memikat, jangan lupa hidung yang tinggi itu dan bibir yang ingin sekali dikecup setiap kali berhadapan dengan laki-laki itu, sayangnya Bram tidak bisa digapai dengan mudah.

Karena Elena terlatih menjadi penyelinap, sebelum melakukan aksinya ia memeriksa kamar tersebut. Tidak butuh waktu lama kurang dari tujuh menit ia menemukan sesuatu. Obat tidur, jadi dia minum ini?

Kembali berjalan ke arah Bram wanita itu sedikit menunduk dan perlahan melabuhkan kecupan di bibir Bram, kemudian tangannya meraba wajah Bram dengan hati-hati ia merasakan semua hal yang selama ini dibayangkan dan baru sekarang tersampaikan.

Malam itu menjadi awal semuanya bagi Elena, tidak masalah jika Bram tidak merespon memuaskan diri dengan pria tak sadarkan diri itu ternyata cukup menantang.

******

Yang selalu berada di sisi Bram adalah Xander tapi yang menyiapkan kebutuhan laki-laki itu Elena tentu tanpa sepengetahuan semua orang termasuk nyonya Cendana. Dengan begini Elena bisa mengontrol suami Ami, jadi setiap dia membutuhkan pria itu selalu ada.

Cukup larutkan pil tidur ke botol air mineral, semua bisa dikendalikan.

Ada kebanggaan tersendiri bagi Elena sekarang, wanita itu merasa telah memiliki putra Cendana. Tidak apa-apa jika yang berdiri di sana adalah istri sah laki-laki itu karena ia juga menikmati suami Ami. Sepertinya Elena agar menyimpan rahasia ini hingga waktunya tiba, sekarang dia akan menikmati dulu permainan yang baru dimulai dalam beberapa hari ini.

Ami harus mengikuti serangkaian aturan dari keluarga Cendana, tidak ada yang mengucapkan bela sungkawa atas musibah yang dialaminya. Kampanye ini lebih penting dari sebuah empati, berlaku untuk ibu mertua juga suaminya.

Setelah obrolan satu minggu yang lalu, Ami tidak melihat tanda-tanda Bram mengkonfirmasi kesalahan yang dilakukan oleh bu Cendana dan Ami dituntut diam karena Bram sedang fokus pada kampanye.

"Tidak semua orang mendapatkan posisi sepertimu jadi hargai saja."

Ami menelan kata-kata suaminya, bukan tidak ada tanggapan ia hanya menghindari perdebatan yang tentunya tidak akan dimenangkan olehnya.

Bukan menantu pilihan (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang