Bab 14

1.9K 391 30
                                    

 Meriska sudah bertanya dua kali penyebab lebam sudut mata dan luka di tubuh bagian belakang Ami namun istri majikannya bungkam, Meriska tidak ingin membenarkan pikiran kotornya.

"Ibu tidak mau mengatakannya?"

"Berikan saja krim terbaik dan obati lukaku."

Meriska tahu Bram akan membiayai seluruh pengobatan Ami sampai kulitnya kembali halus seperti semula, tapi seorang tenaga medis wanita itu wajib memberitahu pasiennya.

"Luka di sekujur tubuh Ibu boleh saja disembuhkan bahkan tanpa tersisa sedikitpun,  yang kutakutkan jiwa Ibu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang salah?"

Ami tidak pernah memikirkan kesehatan jiwa sejak Bram berubah, ia mendapatkan perlakuan tak enak dari mertua ditambah tekanan dari seorang suami yang dielakkan adalah membuat masalah dengan orang-orang itu meski dia sendiri sadar saat tidak melakukan kesalahan tetap saja mereka menyudutkan posisinya.

"Kalau jiwaku terganggu mungkin aku tidak akan ke sini."

Meriska tidak membenarkan jawaban Ami. "Bisa jadi pak Bram...."

Ami menatap Meriska ketika wanita itu menyebut nama suaminya, ia tidak sadar kalau dokter melihat keterkejutannya.

"Yang menyuruh Ibu." mungkinkah Ami berpikir bahwa dirinya akan mengatakan bahwa Bram yang menyebabkan luka ini? Resikonya tidak kecil andai saja Meriska menyinggung hal yang tidak diketahui kebenarannya.

Ami menarik napas pelan ia melakukan dengan hati-hati dengan maksud Meriska tidak menyadarinya. 

"Ibu ketakutan, katakan sesuatu agar aku bisa membantu."

Ami menggeleng. Ia tidak bisa mengatakan apapun, Bram pasti atau mengetahuinya. Diam lebih baik lebih dirinya juga Nahla.

"Aku cuma takut lukaku tidak bisa disembuhkan."

Alibi yang tidak bisa diterima oleh logika Meriska, ia tidak memandang remeh pada luka yang dialami wanita itu dan merasa aneh karena Ami meremehkan kekalutannya.

"Baiklah. Akan kusembuhkan, di sini aku dibayar mahal."

Ami tidak mendengar ada bangga dari kalimat Meriska, sebaliknya wanita itu seperti mencemooh bayaran tinggi dari suaminya.

Ami memejamkan mata menahan rasa perih ketika Meriska mulai bekerja, ia sadar ketika butiran hangat keluar dari sudut mata. 

Ami sudah bersumpah tidak melakukannya, bahkan ia berani membawa nama Tuhan. Ini sakit tapi lebih sakit lagi saat posisinya sebagai istri tidak dipercayai lagi oleh suami, Ami tidak pernah berbohong kadang jika ada yang mengganjal langsung ditanyakan pada Bram tapi lihat sekarang dia disiksa untuk hal yang tidak dilakukannya.

"Mana yang lebih sakit?" tanya Meriska. "Luka ini atau orang yang membuat Ibu terluka?"

"Perih." Ami sedang menangis jadi ia tidak bisa meredam suaranya.

Meriska bisa merasakan apa yang dialami Ami. "Sudah berapa lama kita kenal, coba membuka dirimu setidaknya di hadapanku saja siapa tahu aku bisa membantu." Meriska sedikit kesel jadi dia tidak menggunakan bahasa formal lagi.

Ami menggeleng, ia yakin tidak ada orang yang bisa membantunya apalagi lari dari gedung ini dengan membawa Nahla.

"Aku cuma kesakitan karena cairan itu." maksud Ami cairan NaCl dari kasa.

"Aku tidak mengenal keluarga ini selain nama dan jabatan mereka, keberadaanku di sini juga atas rekomendasi profesor."

Meriska berkata jujur agar Ami bisa menilai bahwa memang dirinya ingin berteman dengan wanita itu, setidaknya dia bisa menjadi pendengar.

"Kalau memang aku dekat dengan keluarga ini, mungkin sesekali aku akan bergabung saat makan malam."

Untuk apa Meriska memberitahunya? Ini tidak akan mengubah apapun, Ami tidak mungkin mengatakan apa yang dialaminya selama ini tepatnya setelah satu tahun pernikahannya dengan Bram.

Meriska hanya bisa mengela napas kasar ketika kami masih diam tak berkutik, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari wanita itu mengenai keadaannya sekarang. 

"Ibu punya nomor teleponku, hubungi aku saat ibu membutuhkanku."

Meriska sudah selesai mengobati luka di tubuh Ami tapi ia tidak menyuruh wanita itu pergi andai saja Ami mau dia ingin mengobrol.

"Terimakasih. Aku turun dulu."

Meriska tidak mungkin menahan kadang ada hal penting yang ingin dilakukan Ami mengingat posisi wanita itu dan dia juga tahu Bram sedang sibuk dengan kampanye pemilihan.

Keluar dari ruangan Meriska, Ami melihat ibu mertua berjalan ke arah kamarnya karena tidak ingin ibu mertua melihat lukanya Ami segera berbalik. Ia tidak ingin wanita itu menertawakan atau menghinanya lagi sementara hatinya sudah cukup sakit.

Cara apa yang bisa digunakan Ami agar bisa keluar dari rumah ini dengan membawa serta Nahla, terdengar tidak memungkinkan. Ami tidak punya teman atau kenalan hebat yang bisa membantunya ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.

Tunggu sebentar, obat tidur. Ami tampak memikirkan sesuatu. Apakah ini ada hubungannya dengan Elena? Detak jantung Ami berpacu dengan cepat, ia ingat ketika di kamar tunggu Elena masuk tanpa mengetuk pintu dan ia sempat melihat senyum aneh di bibir wanita itu. Ayo, Ami berpikir lagi.

Kaki Ami terus melangkah hingga tidak sadar dia telah menaiki tangga menuju rooftoop kediaman Cendana. Sepi dan terasa nyaman, Ami menyukai tempat seperti ini. Di sana ada tiga buah bangku besi panjang berwarna putih.

Sementara ia mulai menikmati suasana rooftoop di bawah Bram yang tiba-tiba pulang untuk menemuinya tidak melihat keberadaan Ami.

"Ibu sudah berapa lama di sini?"

"Sekitar lima belas menit, Ibu pikir dia di dalam."

Bram berdecak kesal saat tidak menemukan istrinya di kamar. "Apa ada di kamar Nahla?"

Bram bergegas turun untuk mencari ke kamar putrinya. Ia baru pergi selama dua jam, di tengah tangga ia ingat menyuruh Ami mengobati lukanya ke ruangan Meriska mengundurkan langkahnya Bram menuju ke ruangan dokter keluarga. Kekesalannya memuncak saat Meriska mengatakan urusannya dengan sang istri telah selesai.

"Kamu bermain-main denganku Ami?" tatapan mata Bram tajam rautnya mengerikan.

Dari tangga ia melihat Nahla dengan pengasuhnya, lalu di mana Ami?

"Di paviliun juga tidak ada. Dia keluar tanpa memberitahumu?"

Sudah bagus semalam ia membiarkan Ami tidur di ranjang yang sama dengannya apakah salah tidak memotong kaki wanita itu?

Bram dibuat frustrasi oleh Ami.

Bu Cendana paling suka melihat Bram marah terhadap Ami dengan begitu putranya bisa melakukan apa saja pada wanita itu.

"Terlalu baik padanya, jadi begini kan."

Apakah dia pulang ke rumah orangtuanya? Tangan Bram terkepal, jika benar wanita itu benar-benar berani.

Di rooftoop Ami berbaring di bangku panjang ia terlelap di sana. Sakit hatinya tidak sebanding dengan luka di punggung dan bahu ia menikmati kesendirian ini rasanya nyaman dipeluk oleh semesta. Ami tidur ditemani air mata, mimpinya menyedihkan persis seperti kehidupannya sekarang.

Bersambung....

Bukan menantu pilihan (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang