1 (awal cerita)

29.8K 1.1K 187
                                    

Stefano Mahardika, pemuda berwajah tengil, duduk santai di sudut gang sembari menghisap rokok dengan tenang. Penampilannya acak-acakan-seragam sekolah yang lebih mirip kain pel, sepatu berlumpur, dan rambut acak seadanya. Dia dikenal sebagai murid nakal yang hobi bolos, tawuran, dan tak pernah peduli dengan aturan.

"Bosan amat hidup gua. Orang tua kagak tahu siapa, temen boro-boro punya," keluh Fano sambil menatap kosong ke jalanan.

"Eh, lu anggap gua setan gitu, hah?" protes Raditya Gilang, satu-satunya orang yang sudi berteman dengannya.

Radit, sahabat setia Fano, berbeda jauh darinya. Meski sama-sama sering bolos, Radit lebih rapi dan tenang. Tapi, satu hal yang membuat mereka dekat adalah kesamaan nasib: sama-sama bermasalah di sekolah.

"Maaf, khilaf gua," jawab Fano asal-asalan.

"Lu beneran belum inget sama sekali wajah ortu lu?" tanya Radit, penasaran.

Fano menghela napas panjang. "Sumpah, belum inget gua. Yang gua punya cuma liontin biru ini, katanya petunjuk satu-satunya buat nyari ortu gua." Ia memperlihatkan liontin itu, menggantung di lehernya seolah jadi bagian dari dirinya. "Tapi gua berharap mereka nggak terlalu ngekang gua sih kalau ketemu nanti."

Radit mengangguk pelan. "Kalau ngekang dalam batas wajar sih nggak masalah, menurut gua."

"Ogah! Dikekang itu kayak tahanan, bro," balas Fano cepat.

"Ya elah, lu ini bogel aja sombong." Radit terkekeh sambil melirik Fano dari ujung kepala hingga kaki.

"Sue lu!" Fano langsung memukul lengan Radit.

"Sumpah, gua baru sadar dari SMP lu tingginya segitu-gitu aja," goda Radit lagi.

"Hei! Udah nambah lima senti tahu!" protes Fano sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Berapa sekarang?" tanya Radit.

"175 cm," jawab Fano bangga.

"Hah! Gua 185 cm. Jadi, beda sepuluh senti dong!" Radit tertawa puas.

"Dasar songong! Bedanya cuma sepuluh senti doang, jangan sok keras!" kesal Fano.

"Tapi tetep aja gua lebih tinggi! Hahaha." tawa Radit meledek Fano.

"Yaudah lah, ngalah sama yang tua!" balas Fano sambil mengangkat bahu.

Di balik keusilannya, Fano punya sisi pahit. Ia tak pernah tahu siapa keluarganya. Kehidupannya berjalan tanpa arahan, dan wali muridnya pun diurus oleh ayah Radit.

"Eh, bokap lu gimana kabarnya?" tanya Fano, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Baik. Cuma, dia sering kesel gara-gara kita berdua sering seenaknya," jawab Radit sambil menggeleng.

"Yah, nikmatin masa muda, bro. Jadi anak baik terus nggak ada kesan seru dalam hidup lu. Kasihan anak lu ntar nggak bisa niru kelakuan seru bapaknya," sahut Fano dengan wajah tengilnya.

Radit langsung menoyor kepala Fano. "Anak itu harus ngikutin yang bener, goblok! Bukan yang sesat kayak elu!"

"Hahahaha," tawa Fano meledak, tanpa beban. Bagi Fano, hidup adalah tentang menikmati momen, tanpa aturan, tanpa paksaan-walau di ujung jalan, dia tahu hidupnya takkan selamanya seperti ini.

Fano sedang asyik menikmati waktu bolos bersama Radit di sebuah warung kecil. Gelas es teh manis dingin di tangannya terasa pas untuk menghalau panas siang itu. Namun, suasana santainya mendadak kacau saat seseorang menabrak bahunya dengan keras, membuat es teh manis di tangannya tumpah ke celana sekolahnya.

"Lu!" Fano langsung berdiri dengan wajah kesal, menatap tajam orang yang baru saja menabraknya.

Tanpa banyak bicara, Fano melayangkan tinju keras ke wajah pria itu. Tinju itu tepat mengenai hidungnya, dan darah segar langsung mengalir, membuat pria itu mimisan.

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang