11: EYMe

387 91 2
                                    

haloo

_._._

Yoshi dan Jeongwoo tidak bisa berkata-kata, seolah mereka tersihir oleh mata yang berkilat tajam menatap mereka.

"Pergi dari sini sekarang juga sebelum aku mematahkan kaki kalian," ancam si pemuda.

"Kami-" Yoshi memulai namun dipotong oleh pemuda asing dihadapannya.

"Atau bagaimana kalau tulang leher kalian yang kupatahkan? Cepat pergi, kubilang," si pemuda mendesis berbahaya. Refleks Yoshi dan Jeongwoo melangkah mundur membuat jarak.

"Kami tidak bermaksud buruk. Kami hanya membutuhkan tempat untuk bermalam," Yoshi berkata cepat sebelum ucapannya kembali dipotong.

"Kau pikir rumahku itu hotel? Aku punya alasan memilih tinggal disini, salah satunya adalah agar aku tidak perlu berurusan dengan pengganggu-pengganggu seperti kalian. Sekarang pergi sebelum aku benar-benar meremukkan tulang kalian."

Jeongwoo diam-diam memperhatikan wajah pemuda yang manis menggemaskan namun tidak sinkron dengan sikapnya itu. Setelah beberapa saat, dia mendekat kepada Yoshi dan berbisik, "sepertinya aku mengenalnya. Apakah kau bisa merasakan kekuatannya?"

Yoshi mengunci tatapannya dengan si pemuda sejenak sebelum balas berbisik, "iya. Dia memiliki magis. Kau tahu siapa dia?"

"Mama," jawab Jeongwoo masih berbisik. "Dia dulunya adalah Mama."

'Mama' menatap interaksi antara keduanya tidak suka. Tatapannya semakin ganas seolah ingin membunuh mereka ditempat.

"Izinkan kami menumpang hanya untuk malam ini. Kami janji tidak akan membuat masalah. Kau boleh mengusir kami saat itu juga jika ada tindakan kami yang membuatmu terancam."

"Kenapa aku harus menolong kalian?"

"Kaulah satu-satunya kesempatan kami. kami butuh atap diatas kepala kami malam ini. kami mohon," kata Jeongwoo menangkupkan kedua tangannya.

"Hanya untuk satu malam," kata si pemuda akhirnya setelah berfikir cukup lama, "jika kalian berbuat macam-macam, kalian boleh pilih tulang mana yang harus duluan kupatahkan."

"Apa dia selalu sesadis ini?" tanya Yoshi dalam bisikan.

"Kekuatan bumi, ingat?" jawab Jeongwoo.

.

Rumah pohon itu hanya terdiri atas satu ruang seluas tiga meter persegi yang bersisi satu tempat tidur, satu nakas, dan satu lemari, dengan sebuah karpet menutupi lantai. Jeongwoo dan Yoshi duduk berdua di pojokan, mendiskusikan dalam bisikan siapa yang akan berbicara dengan si pemuda sambil sesekali meliriknya. Si pemuda balas melirik mereka tak suka dari tempatnya membaca buku di atas tempat tidur, merasa terganggu.

"Jika kalian tidak bisa berhenti bicara, aku akan menendang kalian keluar sekarang juga, literally," kata si pemuda kesal, memandang mereka tajam dari atas bukunya.

Jeongwoo melempar tatapan kepada Yoshi, memintanya untuk bicara.

"Sebenarnya," Kata Yoshi memulai, "kami sedang dalam perjalanan mencari saudara-saudara kami."

"Bukankah aku menyuruh kalian untuk diam?" Si pemuda menutup bukunya keras-keras.

"Tolong dengarkan kami dulu. Kami tidak bermaksud buruk, sungguh," pinta Jeongwoo.

Yoshi berdehem sekali sebelum melanjutkan, "apakah, by any chance, kau memiliki kekuatan spesial?"

"Kami juga," kata Jeongwoo cepat ketika si pemuda menunjukkan raut waspada.

"Sepertinya aku salah mengambil langkah awal," gumam Yoshi. "Biarkan aku mulai ulang, oke?"

Si pemuda hanya menjawab dengan mata tajamnya yang menatap Yoshi tak berkedip.

"Dulu ada enam Dewa Boseok yang bernama Danny, Jaden, Arthur, Mama, kyle, dan Justin," kata Yoshi sambil balas menatap mata si pemuda yang sedikit melebar, "suatu waktu mereka mati lalu bereinkarnasi. Namaku Yoshi, reinkarnasi dari Jaden."

"Namaku Jeongwoo. Aku adalah reinkarnasi dari Justin," Jeongwoo menambahkan. "Dan, jika memang kekuatanmu adalah bumi, kau adalah reinkarnasi dari Mama."

"Atas jaminan apa aku harus mempercayai ucapan kalian?"

Mereka berdua mau tidak mau mendemonstrasikan kekuatan mereka. Yoshi yang pertama. Dia mengangkat tangan kanannya. Dalam sekejap buku di tangan si pemuda melayang naik hampir menyentuh atap. Buku itu lalu jatuh ketika Yoshi menghentikan kontrolnya. Namun sebelum menimpa si pemuda, buku itu berhenti di udara; Jeongwoo menghentikan buku itu menimpa si pemuda.

"Sihir adalah kekuatanku, dan kekuatan Jeongwoo adalah takdir. Dia mengubah takdirmu yang seharusnya tertimpa buku itu."

"Kami mencarimu dan saudara-saudara kita yang lain. Sekali seumur hidup kita harus menghubungkan kekuatan kita dengan pohon ek. Pohon ek menyimpan sebagian kekuatan kita. Jika tidak terhubung kita tidak dapat bereinkarnasi di kehidupan selanjutnya."

"Bukankah itu bagus? Aku tidak harus hidup dalam persembunyian," kata si pemuda, ekspresinya masam.

Penuturan si pemuda membuat Jeongwoo merasa senang dan sakit secara bersamaan; senang karena si pemuda mengungkapkan perasaannya yang berarti dia mulai mempercayai mereka, sakit karena menyadari betapa kesepian dan tersiksanya si pemuda selama ini, pantas saja dia bersikap sangat defensif.

Seolah bergerak dalam mode autopilot, Jeongwoo dan Yoshi segera mendekat dan duduk di kedua sisi si pemuda.

"Hey, jangan sedih. Kami juga menyembunyikan kekuatan kami. Kau tidak sendiri. Ada alasan kenapa takdir kita selalu bersisian," kata Yoshi mencoba menghibur.

"Aku pernah mendengar kata-kata itu, 'kau tidak sendiri'. Membuatku tidak mau percaya siapapun lagi."

"Siapapun itu, lupakan dia. Kami janji tidak akan meninggalkanmu sendiri."

"Kata-kata itu aku juga pernah mendengar."

Jeongwoo menghela napas, hampir mencapai batas kesabarannya. "Tapi kau tidak pernah mendengar tentang kami, dan kau telah melihat apa yang bisa kami lakukan. Apa itu bukan cukup bukti bahwa kita sama? Diantara kita berenam, hanya akulah yang mengingat kehidupan kita sebelumnya. Kukatakan padamu kita dulu saling menyayangi. Apa kau bahkan tidak penasaran kenapa kau bisa mati meski kau adalah seorang dewa? Itu karena kalian mengorbankan keabadian kalian demi aku yang melakukan kesalahan dan dihukum." Jeongwoo meraih tangan si pemuda untuk ditautkan dengan tangannya sendiri. "Mungkin akan terdengar tak tahu malu, tapi aku mohon padamu, percayalah pada kami. Mari tetap saling menjaga dan menyayangi di kehidupan-kehidupan selanjutnya."

Si pemuda mengarahkan pandangan pada tangan mereka yang bertaut sebelum memandang Jeongwoo tepat ke dalam matanya. Hening menyelubungi mereka seperti kabut.

"Tidur sana," kata si pemuda akhirnya.

"T-tapi.."

"Tidur, I say. Bukankah kau bilang kita harus mencari saudara-saudara kita yang lain?"

Jeongwoo hampir memekik jika saja Yoshi tidak segera menutup mulutnya. Si pemuda memberikan selimutnya untuk dijadikan alas bagi dua saudaranya. Saudara, pikir si pemuda. Dia tanpa sadar tersenyum kecil.

"Selamat malam," kata Yoshi dan Jeongwoo.

"Malam," balas si pemuda sambil mematikan obor lalu berbaring setelahnya.

Beberapa menit berlalu. Tidak ada yang berbicara namun ketiganya tahu mereka sama-sama belum tidur, seolah masih ada hal yang harus dibicarakan.

"Mashiho," kata si pemuda dalam gelap, "Namaku Mashiho."

"Terimakasih telah mau mempercayai kami," kata Yoshi. Suara yang mengikuti setelahnya tidak disangka siapapun dalam ruangan itu.

Bruk...

"Ouch," Mashiho memekik tertimpa bukunya yang sedari tadi masih mengambang di udara.

_._._

Eternity: You and Me (Jaesahi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang