Chapter 4

209 23 3
                                    

"Kamu yakin akan bertemu dengannya berdua? Bagaimana jika dia bersikap aneh aneh kepadamu? Atau bahkan mungkin saja dia berani lagi melecehkanmu? Mending tidak usah, An. Aku takut terjadi apa apa denganmu." usul Nana saat aku masih terus memandangi penampilanku di cermin. Aku memutuskan untuk mengenakan strapless dress berwarna merah dengan sentuhan makeup smokey eyes untuk dinner malam ini.

"Sudahlah, Na. Aku tidak mungkin mengcancel ajakan makan malamnya karena aku takut dirinya akan berbuat macam macam denganku. Lagipula kita bertemu di restoran bukan hotel. Pastinya dia juga menjaga nama baiknya, tidak mungkin dirinya mau dicap sebagai predator seks." sanggahku mengabaikan usulan dan berjalan mengambil tas yang ada di tempat tidurku. Disana Nana terlihat masih tidak tenang, dia mondar mandir seperti tetap tak menginginkanku pergi. Aku yang melihat kekhawatirannya cuma bisa tersenyum sembari menggelengkan kepalaku.

"Aku pergi dulu ya." Pamitku bergerak keluar dan diikuti Nana dari belakang.

"An! Please! Jangan pergi!" pinta Nana dengan suara yang begitu khawatir.

"Tenanglah, Na. Semua akan baik baik saja." jaminku sambil beranjak masuk ke mobil.

Selagi diperjalanan aku tiba tiba mendengar suara nada dering dari handphoneku dan saat aku melihat identitas pemanggilnya, Marvin. Apa yang membuatnya menelponku malam malam begini? Apa terjadi sesuatu yang terjadi lagi dengannya? Kapan hari-kan aku juga menerima kabar tentangnya pada malam begini? Serasa saat itu hatiku seketika diselimuti dengan rasa khawatir. Aku jadi tidak tenang saat memikirkan kembali momen itu. Saat dimana aku melihatnya terbaring di atas brankar rumah sakit dengan luka luka di sekujur tubuhnya.

Hatiku terasa begitu perih melihatnya dalam kondisi itu karena tentunya aku tidak pernah menginginkan sesuatu terjadi pada orang yang kucintai. Sayangnya, bahkan saat saat tersulit dirinya, dia tetap menggumamkan nama perempuan lain dan bukan aku. Sebegitu cintanya dirinya terhadap wanita itu padahal aku disini menunggunya untuk bisa merasakan cinta yang sama yang ingin kuberikan kepadanya. Mengingat semua itu seakan mengulik luka lama yang sampai sekarang belum sembuh.

"Hello Vin." sapaku setelah aku menerima panggilan telepon darinya.

"Hello An! Sedang apa kamu saat ini? Kamu sibuk?" tanya Marvin kepadaku. Aku mulai merasa curiga terhadap perhatiannya terhadapku. Tidak biasanya dia menelponku dan menanyakan tentang kabarku begini. Sepertinya dia ingin untuk aku melakukan sesuatu.

"Katakan apa tujuan kamu menelponku? Tidak usah berbasa basi begitu." ketusku sambil memutar mataku malas namun di satu sisi aku lega setidaknya aku tidak lagi mendapatkan kabar tentang dirinya yang kecelakaan untuk kedua kalinya.

"Kau tahu apa yang kubutuhkan, An. Kapan kau ada waktu untuk menjelaskan semuanya? Dia sudah tak lagi bisa menunggu, An." tekan Marvin memaksaku untuk bertemu dengan wanita pujaan hatinya dan menjelaskan semua kepadanya.
Permintaan itu lagi. Tidak bisakah dia memberikanku waktu untuk bisa move on darinya. Aku belum sanggup untuk menjelaskan semuanya, okay? Hatiku masih terlalu egois untuk memilikinya disampingku meski aku tahu hatinya bukan teruntuk aku. Meski aku tahu saat aku  menggenggamnya erat dirinya, dia akan sama seperti pasir yang dengan sendirinya lepas dari tanganku. Aku sadar akan itu. Tapi bisakah sang waktu memberikanku sedikit lagi kesempatan untuk memiliki raganya walau aku tahu sejak awal hatinya tak pernah ada untukku.

Aku membenci diriku yang terlalu lemah bila berbicara soal cinta. Karena dialah cinta pertamaku. Cinta yang selama ini kucari dan kutemukan dalam dirinya. Biarpun rumahnya bukan aku, tetapi setidaknya bisakah aku menjadi tempat persinggahannya untuk sementara waktu? Biarpun aku tahu aku takkan bisa menjadi pemeran utama dalam kisahnya tetapi itu jauh lebih daripada diriku yang ditinggalkan bahkan saat kisah kita belum sempat aku perjuangkan. Tapi nyatanya, aku terlalu pengecut mengungkapkan itu pada dirinya karena aku tak mau hubungan kita rusak karena perasaanku. Biarkan saja aku tetap begini dan menyaksikan kebahagiaannya dari jauh walau bukan akulah penyebab kebahagiaannya.

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang