Chapter 12

185 21 0
                                    

"Kau sudah pulang? Bagaimana kencanmu? Menyenangkan ya? Sampai kau lupa waktu dan baru pulang jam segini?" cecar Nana saat melihatku baru saja masuk ke dalam rumah membawa satu kantungan berisi makanan yang belum sempat kusentuh tadi. 
Meski mendapat cercaan pertanyaan dari Nana yang menghampiriku namun aku tetap melangkah maju menghiraukan keberadaannya agar bisa menaruh bawaanku keatas meja makan. Dia yang tahu aku sedang mengacuhkanku, dia lalu mengikutiku dari belakang sambil membalikkan badanku dan menatap wajah datarku tanpa ekspresi.

"Kau kenapa, An? Apa terjadi sesuatu?" tanya Nana curiga sembari menatap makanan yang kubawa dari celah kantung yang terbuka.

"Kau membawa pulang sebanyak ini? Dugaanku benar-kan? Lelaki itu sama brengseknya dengan Marvin sialan yang juga meninggalkanmu seperti ini demi bisa menemui pujaan hatinya! Kurang ajar sekali dia mempermainkanmu begini! Dimana tempat tinggalnya?! Biar aku labrak dan hancurkan masa depannya!" geram Nana saat mulai mengerti dengan situasi yang kuhadapi saat ini.

Jujur saja aku tak lagi bisa merasakan apa apa. Kecewa dan marah seakan bercampur aduk menciptakan rasa yang terlalu menyakitkan hingga aku tak lagi bisa merasakan rasa sakit. Sebagaimanapun aku menolak akan perasaan seketika tumbuh ini, aku sadar bahwa aku sudah memberikannya terlalu banyak hatiku. Itulah yang akhirnya menusukku kembali dari belakang seperti halnya yang kualami dengan Marvin. Bodohnya aku, aku malah membiarkan diriku berada dalam posisi ini untuk kesekian kalinya. Aku seperti keledai yang selalu jatuh pada lubang yang sama meski aku sudah mengerti betapa rasa sakit yang harus kuterima disaat aku kembali terjatuh.

"Tidak usah terlalu dipermasalahkan, Ann. Aku baik baik saja dan aku juga tak ingin terlarut dalam masalah ini. Biarkan saja masalah ini berlalu begitu saja. Mungkin dia sedang ada kerjaan atau ada halangan yang membuat dia tidak bisa datang. Aku tidak mau langsung berprasangka buruk dengannya. Karena aku juga tidak tahu apa alasan yang sebenarnya melakukan hal ini kepadaku." terangku perlahan melepas tangan yang  berada di kedua lenganku dan berjalan membuka pintu kamarku.

"Kau itu idiot apa tolol sih, An! Untuk apa membela lelaki bajingan sepertinya! Harusnya sekarang kau sadar! Dia tidak baik untukmu! Dia tak pantas mendapat rasa sayangmu yang tulus! Dan kalau bisa kau tak lagi berhubungan dengannya! Dia membawa dampak buruk bagi dirimu, An! Stop menyakiti dirimu karena lelaki pengecut sepertinya. Berhenti berusaha untuk mengerti keadaan mereka disaat hatimu saat ini sebenarnya sadar bahwa dia sudah mencampakanmu!" marah Nana segera memberhentikan langkahku disaat tanganku sudah akan membuka pintu kamarku. Aku lalu berbalik perlahan ke arahnya dan mencurahkan perasaanku padanya.

"Apalagi yang bisa kulakukan agar aku bisa meredam rasa sakit selain mencoba menyakinkan diriku akan hal itu, Na! Kau pikir aku mau berada di posisi ini lagi?! Terus menerus mengharapkan cinta dari seorang lelaki yang pada nyatanya tidak menganggapku penting. Aku juga tahu kenyataan didepanku saat ini. Bahkan di saat kau mengoceh akan kebajingan dirinya logikaku juga terus mengungkit ungkit akan hal itu, Na. Yang dia lakukan saat memang bukanlah hal yang tepat tetapi aku masih ingin percaya bahwa aku masih memiliki harapan. Meski aku bukan seseorang yang penuh keoptimisan, namun setidaknya  dengan begini aku masih punya alasan agar lukaku jadi tidak terlalu dalam." beberku masih menahan tangisku agar jangan sampai terjatuh.

Aku bukanlah wanita lemah. Yang akan menangis untuk hal kecil begini. Lagipula aku juga tidak sedang ditolak ataupun dicampakkan. Aku masih mempercayainya. Dia bukanlah lelaki yang seperti Nana pikirkan. Hatiku barangkali belum siap untuk melepaskannya dan masih memiliki kekuatan untuk berharap padanya. Maka dari itu, aku tidak ingin meratapi nasibku seperti orang yang habis putus cinta. Yang kubutuhkan sekarang cuma tidur dan melupakan semua kejadian. Sehingga saat esok telah tiba, aku bisa melupakan semuanya dan bersikap selayaknya tidak ada yang terjadi.

Aku kemudian membalikkan badanku kembali untuk mengarah masuk ke dalam ruang kamarku yang sunyi. Sebelum aku menutup pintu aku lantas menegaskan sesuatu kepadanya, "Aku tidak butuh ceramahmu yang memintaku untuk melupakannya karena hatiku takkan mendengarkan siapapun selain dirinya sendiri, Na. Sekalipun kau memaksa dan mengurungku di rumah takkan mengubah fakta bahwa aku sudah memiliki perasaan yang lebih terhadapnya."

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang