Chapter 27

173 12 0
                                    

Dia pergi. Dia kembali pergi dan kali ini karena diriku padahal kebahagiaan seperti sedikit lagi bakal terwujud namun sayangnya semua kenangan indah itu kembali musnah karena kebodohanku. Sikapku yang sok jual mahal telah berakibat aku kehilangan dirinya mungkin untuk selamanya tanpa diberikan kesempatan agar bisa memperbaiki kesalahan ini sekali lagi. 

Tiada hari yang tak kuhabiskan dengan menangis dan mengurung diri dalam kamar kecilku tanpa cahaya penerangan. Hanya duduk menundukkan mukaku ke sela sela kedua lututku yang sedang tertekuk dan enggan untuk membicarakan dengan siapapun tentang masalah ini termasuk dengan Nana yang tentunya sangat khawatir dengan kondisiku. 

Aku selalu menanti notifikasi yang muncul berharap salah satu notifikasi itu berasal dari dirinya namun aku tahu aku tak bisa berharap banyak selain berdoa Tuhan bermain untuk meluluhkan hati Henry agar mau memaafkanku. Kisah 6 bulan lalu dimana dirinya pergi tanpa kabar seakan terulang kembali layaknya dejavu yang tak henti hentinya bermain di ingatanku bak potongan scene drama yang terus menerus di putar.

Jika saja, apabila, kalau, apapun kata itu yang bisa menggambarkan keinginanku untuk mengulang semua ini, aku bersedia untuk memperkatakannya 100 kali andaikata itu bisa mengembalikannya ke hadapanku. Aku benar benar menyesal telah berpikir untuk menguji cinta dan kesetiaannya demi sebuah pembuktian. 

Pembuktian seperti apa lagi yang kubutuhkan? Jika sudah menjadi begini, apakah pembuktian itu sepadan dengan rasa sakit karena kehilangannya? Kurasa itu sangat tidak sepadan. Lebih baik aku hidup dalam keraguan daripada berada dalam kesendirian tanpa kehadirannya untuk kedua kalinya. 

"An, Ayo makan!" panggil Nana dari luar kamarku namun tidak kutanggapi apapun. 

"An! An!" 

Aku mendengar dirinya terus menerus memanggil namaku sembari jejak kakinya terdengar menuju ke arah kamarku dan beberapa saat kemudian, pintu kamarku terbuka lebar dengan dirinya yang sudah berjalan masuk menghampiriku sambil menyalakan lampu tidur yang berada disamping tempat tidurku.

"Kau tahu kau tak bisa terus begini, An. Sudah berapa hari kau mengurung diri di dalam kamar? Keluar dan nikmati hidupmu! Hidupmu bukan bertumpu pada satu pria, An. Kamu masih bisa mengeksplor dunia ini tanpa ada dirinya."

"Bisakah kau berhenti mengoceh tentang hal itu berkali kali, Na? Jawabanku tetap sama. Aku masih butuh waktu sendiri untuk merefleksikan kebodohanku yang menyebabkan aku kehilangannya. Kau minta aku move on menikmati hidupku? Bagaimana hidupku bisa kembali berwarna disaat dialah yang memberikan warna dan mengajari keindahan dunia ini, Na?"

"Karena keraguan sialan itulah, aku tak bisa merasakan momen itu lagi barangkali di sisa hidupku bersamanya. Padahal aku sudah berekspektasi terlalu jauh bagaimana kehidupanku nantinya bersama. Tapi begitulah, sang waktu kembali merobohkan mimpi itu dalam sekejap mata. Jadi tak bisakah kau mengerti sedikit dan membiarkanku meratapi nasibku yang selalu gagal dalam urusan percintaan?" uraiku menatapnya sendu dengan linangan air mata. 

Aku benar benar hancur kali ini dan tak lagi bisa memendam kekecewaan dan kesedihan didalam diriku lagi. Ingin sekali rasanya aku menelpon dirinya yang berucap kata maaf padanya tapi aku tahu aku tidak berhak melakukan itu. Dia masih membutuhkan waktu untuk bisa menerima perbuatanku yang keterlaluan. Mana ada orang yang mau dipermainkan begitu perasaannya? Bahkan jika itu adalah aku, aku mungkin akan langsung pergi tanpa ada niatan untuk memberikannya kesempatan kedua.

Melihat tingkahku yang masih sama saja tak bergerak sedikitpun dari tempatku, Nana cuma bisa menghela nafas berat dan menarik selimut yang sedari tadi melindungiku dari dinginnya malam dan menarik tanganku agar aku bangun dari tempat tidurku. 

"Ikut aku." perintah Nana setelah dirinya berhasil membuatku berdiri dan langsung kuhempaskan tangannya begitu saja karena aku tidak sedang ingin berurusan dengan dunia luar apalagi menghadapi kenyataan bahwa kemungkinan aku bersama Henry sangat kecil bahkan barangkali tidak mungkin.

"Aku ingin tetap disini, Na. Jika kau ingin pergi ke Mall, mintalah Cherry ataupun pacar main main ke 100-mu itu menemanimu. Aku tidak punya mood untuk berbelanja apalagi bergerak dari tempat tidurku."  kataku sambil menyilangkan kakiku duduk di tempat tidur. 

"Kau tidak takut jadi babi begitu. Lihatlah otot perutmu yang dulu menonjol keluar sekarang mulai tertutupi dengan lemak lemak. Menjadi tidak menarik begitu, mana ada nanti pria yang mau sama kau, An."

"Aku tidak butuh pria lain mengisi kehidupanku kecuali dia, Na. Mau jadi babi dengan 100kg-pun aku tidak masalah apabila dia mau menerimaku kembali. Sebesar cintaku kepadanya dan kini aku berani mengatakan semua itu dengan sangat jelas karena sebesar itu dampaknya di kehidupanku, Na. Bahkan yang kupikir bahwa cintaku kepada Marvin itu sudah sangat kuat kalah dengan rasa ini, Na. Rasa yang membabi buta dan meluluhlantakan seluruh kehidupanku."

"Kau mungkin takkan bisa merasakan apa yang kurasakan saat ini dan akupun tak pernah berharap kau akan ada di posisiku sekarang karena jujur ini benar benar menyakitkan. Serasa bernafas yang dulu bisa kulakukan tanpa sadar kini semua itu terasa harus kupaksakan agar aku bisa hidup. Hidup dalam kehidupan yang terancam kembali kelam tanpa kehadirannya."

"Satu hal yang pasti, Na. Jangan menyia nyiakan lelaki yang memang kau rasa dialah yang terbaik untuk kehidupanmu. Jangan menjadi sepertiku yang menjadi bucin saat dirinya pergi dan tak pernah menghargai keberadaannya saat dia masih mengejarku." peringatku sambil berbaring dan membelakanginya tak mau berbicara apa apa lagi. 

Dia yang tahu takkan bisa mengubah keputusanku, cuma bisa menaruh kedua tangannya dipinggang sambil menghela nafas kesal dan berkata, "Terserah kamu deh, An. Matilah jikalau kau memang ingin mati." tegasnya berjalan keluar.

"Let me die Na apabila dirinya bisa bahagia tanpa diriku." lirihku dan mulai menangis menyalahkan diriku sendiri. Akupun berbaring menahan sesenggukan sembari mengingat kenangan kami berdua. Serasa kenangan itulah yang menjadi pelipur laraku saat ini dan perlahan mataku mulai terasa berat hingga aku terbawa ke alam mimpi bawah sadarku.

"Bangun, Anna!" teriak seseorang yang tentunya mengganggu tidurku dan pada saat aku mengerjapkan mataku perlahan, aku bisa melihat bahwa di luar masih gelap yang menandakan ini masih malam dan bukan sudah pagi. Mengetahui bahwa satu hari penderitaanku belum berganti dengan hari yang baru yang tidak ada bedanya dengan hari kemarin akupun cuma bisa menghela nafas berat sambil mengacuhkan omelan Nana yang terus menerus menggoyangkan tubuhku untuk bangun.

"Untuk apa kau menggangguku lagi, Na? Bisakah kau memberikanku sedikit ketenangan." gumamku menutup mata. 

"Kita harus pergi ke suatu tempat dan kau harus ikut denganku."

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang