Chapter 9

188 22 4
                                    

"Kau sedang berencana membuatku gendut dan buncit atau bagaimana? Kenapa begitu banyak makanan disini kaya kita mau pesta saja? Kau yakin ini cuma untuk kita berdua?" keluhku tak percaya dengan semua makanan yang sudah tertata dengan berbagai macam hidangan mulai dari salad, spaghetti, bahkan steak juga tersedia semua layaknya makanan prasmanan.

"Katamu kau tidak bisa menemaniku keluar makan di restoran, ya aku bawa restoran saja kemari. Tidak masalah-kan?" paparnya santai sembari memakan kentang yang menjadi makanan pendamping steak.

"Maksudku gak begini juga, Hen. Kan kau bisa pesan dua makanan untuk kita berdua, bukan 20 macam makanan begini. Mubazir-kan? Pastinya kita berdua tidak akan bisa habis. Terus siapa yang akan makan sisanya. Masa dibuang? Kau ini menghabiskan uang saja." protesku sambil mendengus kesal melihat tingkahnya yang terlalu konsumtif.

Aku adalah pribadi yang paling tidak suka melihat makanan terbuang percuma apalagi makanan enak. Melihat makanan di hadapanku ini tentu sangat membantu meningkatkan nafsu makananku. Steak yang masih terlihat juicy, sayuran salad yang fresh dan tidak layu tentu menggiurkan untuk kucicipi hingga perutku bak ingin segera berbunyi kencang agar bisa mendapat asupan makanan. Tapi aku juga sadar, ini semua takkan bisa kumasukkan ke perutku yang terbiasa makan dengan porsi kecil. Ini bukan 1 2 porsi punya makanan tetapi freaking 10 porsi untuk satu orang. Itu seperti akan memberikan makan babi bukan manusia.

"Kita bisa berikan ke staff staff yang ada disini dan jika masih sisa kita bisa kasih ke orang yang lebih membutuhkan. Simple as that, yang terpenting sekarang kita makan berdua dulu. Nikmati saja dulu hidangan dan kita pikirkan nanti untuk sisanya." putusnya sambil menarik tanganku untuk duduk di sofa bersama dirinya yang terletak beberapa meter dari meja riasku.

Aku yang tidak siap dengan tarikan paksanya menjerit sedikit, dan langsung terjatuh dalam pelukannya. Aku pertamanya sempat berontak ingin melepaskan genggamannya pada bahuku tetapi dia menahannya dengan kekuatan yang lebih besar dariku dan akupun hanya bisa pasrah menuruti keinginannya.

"Aku belum bisa makan dulu, Hen." ucapku menghela nafas berat melihatnya terus memaksakan keinginannya padaku.

"Kenapa? Kau tidak suka dengan makanannya? Aku bisa membelikan yang baru. Kamu mau apa? Indonesian Food atau Chinese atau Japanese?" cecarnya menatapku khawatir apabila aku tidak suka dengan makanan yang dibawanya.
Dia lalu mengambil handphone yang berada di kantong beranjak berdiri menelpon seseorang.

Saat aku mendengar dia malah menghubungi sekretarisnya untuk membelikan makanan baru, mataku seketika melotot tajam ikut berdiri dengan cepat untuk meraih telephonenya. Namun karena kurang berhati-hati aku malah hampir tersandung terkena kakinya yang menghalangi jalanku.

Akupun sudah bersiap untuk terjatuh dan menutup mataku tetapi aku malah merasakan ada lengan yang menopangku agar jangan sampai terjatuh. Saat aku perlahan membuka mataku dan berbalik ke arah itu, aku bisa melihat mata Henry penuh kekhawatiran dan kemudian membantuku untuk berdiri kembali. Dia lantas menyimpan lagi Hpnya di saku celana dan menatapku dengan mengernyitkan dahinya.

"Kau tadi mau ngapain, An?! Kenapa kau begitu ceroboh?! Bagaimana jika tadi kau terjatuh?! Dan aku tidak ada sana untuk menolongmu! Bisa bisa kau sudah gegar otak atau minimal amnesia!" marahnya mencengkram pundakku dan mengedarkan matanya ke seluruh tubuhku memastikan tidak ada luka akibat kejadian tadi.

Perhatiannya seperti ini tentu mengagetkanku karena biar Marvin sekalipun tak pernah melakukan hal yang sama terhadapku. Dia yang tak punya hubungan apa apa denganku bisa memperlakukanku begini itu seketika menciptakan jantungku berdetak tak karuan dan saat mata kami bertemu mata itu seakan menyihirku untuk jatuh kepadanya.

Tak pernah aku sangka, hatiku dapat berbolak balik secepat ini hanya karena sebuah perhatian. Dengan orang yang dulunya sangat kubenci sebab sikap arogannya. Memang cinta itu buta. Batasan antara cinta dan benci juga tak beda jauh. Sehingga ketika sang waktu mengizinkan kebencian itu mendadak menjadi sebuah rasa terpukau yang diisi dengan degupan jantung yang kencang.

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang