6 bulan menjalani hari hari tanpa seseorang yang kita harapkan dengan dunia yang serasa tak henti hentinya menguras hati dan mental kita tentu bukanlah perkara yang mudah. Setiap jam yang terlewat seakan terlalu menyesakkan jiwa tanpa tahu bagaimana caranya untuk bernafas lega.
Di posisi sulit itu, dengan kepala tegak aku melangkahi setiap komentar jahat menusuk hati itu. Kubalas cacian dan makian masyarakat dengan senyuman indah tanpa berusaha melawannya.Karena apa? Sebab aku tahu aku memang pantas untuk mendapatnya. Walau dibalik layar, aku menangis dalam raungan luka di kamarku sendiri. Tak ada yang kubiarkan masuk tuk menemaniku meluruhkan seluruh untaian kata yang membuatku merasa rendah diri karena aku sadar dari kesendirian itulah akhirnya bisa menciptakan diriku yang saat ini. Anna yang lebih kuat dan berpikiran matang.
Aku tak butuh lagi seseorang sebagai tempat sandaran karena semua bisa kuatasi seorang diri. Tanpa ada siapapun di sampingku termasuk dia. Sejak saat itu, kontak kami benar benar terputus dan aku yang memblokir nomornya. Hal ini kulakukan agar aku bisa lebih tenang. Tidak perlu dirinya menambah penderitaan yang kurasakan dengan rasa kasihan ataupun olokan yang merendahkan.Pada awalnya, sosial mediaku dipenuhi oleh hujatan hingga aku diminta untuk vakum sementara oleh entertaimentku demi kesehatan mentalku tetap terjaga.
"Cewek pencari popularitas."
"Wanita ganjen tukang parasit."
"Pembohong! Tukang main belakang!"Begitulah kira kira sekian dari banyaknya hinaan yang kudapatkan di sosial mediaku belum lagi bila aku mengisi acara-acara dimana para reporter mempertanyakan pendapatku tentang hubungan Marvin dan Fio padahal aku dan mereka tidak lagi memiliki masalah apa apa. Tentu menjadi seorang model, kita diminta agar bisa tebal muka dan itulah yang kulakukan supaya aku bisa mengatasi situasi situasi tanpa menimbulkan kericuhan yang semakin mempersulit posisiku.
Pada dasarnya skandal yang terjadi pastinya dengan sendiri akan tergerus oleh waktu dan menghilang layaknya butiran debu. Begitulah yang terjadi pada diriku. Seiring berjalannya waktu, semuanya perlahan kembali ke tempat semula dimana aku bisa menjalani aktivitas seperti sedia kala tanpa ada lagi yang tiba tiba merusak mobilku ataupun melempariku dengan telur busuk di tengah jalan. Walau tak bisa dipungkiri, masih ada yang sering julid dengan postingan yang kulakukan karena tidak semua orang adalah orang yang fokus pada masalahnya sendiri. Mereka lebih suka mencampuri urusan orang lain dan menilai pribadiku bahkan saat kita baru berjumpa sekali.
Aku juga tak dapat memaksa mereka mengubah pandangannya terhadapku. Kemudahan mereka menghakimiku adalah hak mereka yang tak bisa aku larang karena kita hidup dalam era yang bebas berpendapat meski mereka tak tahu apa yang mereka katakan jauh lebih tajam dari pisau yang membunuh dan merenggut nyawa seseorang. Yang dilukai bukanlah fisik melainkan mental seseorang. Sebuah luka tak kasat mata yang jauh lebih menyakitkan ketimbang luka fisik yang berdarah.
"Kau itu suka cari masalah atau bagaimana-sih, An? Kau ingin kembali ke posisi dulu? Bukankah kau sendiri yang bilang kau trauma mengalami hal itu hingga mengurung diri dan menghindari semua orang termasuk diriku. Tapi apa buktinya sekarang? Kau malah pergi untuk terjun ke dalam kobaran api masalah lagi." marahnya menarik tanganku dan memutarku untuk menghadapnya.
Aku dengan malas berbalik menatapnya sambil berkata menunjukkan raut wajah tak bersalah, "Memangnya apa salahnya menghadiri pernikahan mantan tunangan, Na? Eh salah, bukan mantan juga-sih karena kita-kan berhubungan apa apa. Terus apa ya?! Ah gak tahulah, pokoknya itulah. Toh dia mengundangku-kan?"
"Kau ini bodoh apa sok naif-sih, An?! Kau dan Marvin bukan sahabat karib yang memiliki hubungan baik baik saja selama ini. Karirmu bahkan diujung tanduk karenanya dan sekarang kau malah datang ke pernikahannya layaknya orang normal. Kau tak pikir bagaimana publik akan mencercamu kembali? Kurasa karangan bunga sudah cukup untuk menganti kedatanganmu. Tidak perlu sampai kau bermain api lagi dan muncul di pernikahannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Goodbye
عاطفيةBerawal dari sama sama patah hati karena hanya menjadi second lead dengan akhir tragis, keduanya dipertemukan dalam situasi yang tak terduga dan lantas menjalin hubungan abnormal atas dasar rasa benci. Rasa benci yang perlahan berubah menjadi percik...