Chapter 28

179 12 0
                                    

"Pergilah sendiri!" ketusku.
"Ikut denganku sekarang atau aku seret kamu keluar?"

"Seret diriku takkan mengubah apa apa, Na. Kau juga tidak punya cukup kekuatan untuk membawaku dari kamar tidur ke mobil." remehku tetap menutup mataku berniat untuk kembali tertidur. Setidaknya dengan tidur, aku bisa melupakan sedikit permasalahan yang datang dalam hidupku meski tak bersifat permanen.

"Kalau begitu siap siap saja kau kehilangan kesempatan terakhirmu bersama dengan Henry." beber Nana santai sembari berjalan keluar.

Mendengar nama Henry yang terlontar dari mulut Nana membuat mataku langsung terbuka lebar dengan diriku beranjak duduk menghadapnya bingung.

"Maksudmu?"
"Bila aku sebut Henry saja baru nyahut, dari kemarin aku selalu dikacangin sama dia." gerutu Nana yang tentunya masih terdengar jelas di telingaku namun aku tidak mau untuk mempermasalahkan itu sekarang karena yang lebih penting ucapan Nana barusan.

Dia mengatakan masih ada kesempatan diriku bersama Henry? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Apa Tuhan mendengar ratapanku hingga tiba tiba memberikan mujizat seperti ini?

"Cepat, Na. Jelaskan padaku. Jangan membuatku penasaran begini." desakku ingin segera mendapat jawaban dari Nana.

"Dia memintaku untuk membawaku ke satu tempat agar kalian bisa bicara berdua." jawab Nana singkat seakan memunculkan berbagai pertanyaan di otakku.

"Untuk apa dia menghubungiku disaat aku mempunyai telepon di tanganku?" tanyaku curiga.

"Ya mana aku tahu, memangnya aku Tuhan? Atau keturunan cenayang yang bisa membaca pikiran orang? Barangkali dia menghubungiku karena sungkan untuk memintamu bertemu atau mungkin saja dia sedang malas berbicara denganmu. Akupun juga tidak tahu yang penting dia baru saja mengechatku dan memintaku memberitahukanmu." jelasnya yang seakan langsung mampu menyenangkan hatiku.

Akhirnya setelah hampir 2 minggu tak bertemu dan bertanya kabar, dia mau untuk berbicara denganku lagi. Aku berharap setelah pertemuan kita kali ini, hubungan kami bisa kembali seperti sedia kala. Dengan sigap akupun langsung berdiri dan menghampiri Nana dengan wajah yang penuh senyuman.

"Aku harus bersiap sekarang." lontarku dan segera mengambil handuk untuk segera mempersiapkan diri agar aku bisa bertemu dengan Henry dalam keadaan segar dan menawan.

"Jangan terlalu berekspektasi tinggi, An. Bisa saja dia memintamu bertemu dengannya karena ingin mengakhiri hubungan kalian."

Mendengar kata kata itu seakan tombak yang menghancurkan harapanku tuk kesekian kalinya. Perlahan handuk yang kupegang terjatuh di lantai dan wajah yang sedari tadi sumringah setelah mendengar kabar menyenangkan seketika berubah murung kembali. Disaat itu aku tahu bahwa untuk apa aku bahagia disaat ada kemungkinan pertemuan ini menjadi pertemuan terakhirku dengannya? 

Tidak ada gunanya aku berdandan cantik jika pada akhirnya kekecewaan itu kembali datang dalam kehidupanku. Bukankah aku terbiasa untuk terjatuh setelah berharap. Seakan dunia ini merasa bahagia melihatku mengharapkan sesuatu setinggi awan dan membiarkanku terjatuh ke dasar dengan kecepatan kilat melalui realita yang menyakitkan.

Merasakan ketidaksesuaian ekspektasi yang datang untuk meruntuhkan pandanganku bahwa aku bisa membangun kisah hidup yang sempurna dengan jemariku sendiri. Karena pada dasarnya ekspektasi mudah untuk dirancang seorang diri namun kenyataan tak bisa kendalikan selain berserah pada sang pencipta yang mengatur seluruh kejadian dimuka bumi ini.

"An, kau tak apa apa?" tanya Nana khawatir setelah melihat gerak gerikku yang kembali melemas.

"Aku baik baik saja. Hanya tersadar dari ucapanmu bahwa aku seharusnya tak terlalu banyak berharap. Terlebih pada orang yang telah kusakiti." racauku berbalik ke arah tempat tidur dan kembali menutupi diriku dengan selimut hingga ke kepala.

"An, An. Aku tidak bermaksud memupuskan harapanmu begitu? Maksudku, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya maka dari itu….."

"Maka dari itu aku lebih baik menghindari pertemuan itu daripada harus bertaruh dan berdiri di pertengahan balok es yang entah kapan akan kembali mengguyurkan dengan kenyataan pahit." potongku di dalam selimut sembari mulai menangis.

"An, temuilah dia. Jangan bersikap kekanak kanakan begini dengan menghindari masalah. Hadapi masalah itu daripada terus bersembunyi dan mempertahankan apa yang sebentar lagi bukan menjadi milikmu. Bukankah yang terpenting dalam suatu hubungan adalah kenyamanan? Jika kau hidup dalam ketidakpastian dimana kau akan selalu diperhadapkan dengan kemungkinan dirinya untuk pergi, lebih baik kau merelakan, An." pesan Nana terhadapku yang membuka pandanganku lebih lagi.

Yang kulakukan sekarang takkan pernah menyelesaikan masalah yang ada melainkan menunda masalah itu untuk sesuatu yang lebih besar. Tanpa sadar jika aku terus mengulur waktu begini maka masalah ini hanya akan menjadi bom waktu yang entah kapan akan meledak dengan sendirinya. Alangkah lebih baik apabila aku berani menyelesaikan masalah seperti kapan lalu dan menerima konsekuensi akibat dari permasalahan itu.

"Baiklah aku akan menemuinya." putusku.

-------------------

Sesampainya aku di salah satu restoran yang terkenal dengan pemandangannya yang sangat estetik, aku dan Nana berjalan masuk dan diarahkan oleh salah seorang pelayan ke arah rooftop restaurant. Disana aku bisa melihat Henry yang mengenakan jas biru membelakangiku menghadap ke arah balkon restoran. Disitu Nanapun memutuskan tidak mengikutiku yang berjalan ke arah balkon agar bisa memberikan ruang pada diriku dan Henry agar kami bisa berbicara empat mata saja.

"Hen." panggilku suara pelan dengan rasa gugup dan tangan yang mulai basah karena aku tidak apa yang sedang direncanakan olehnya.

"Kau datang." katanya datar berbalik ke arahku dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutebak.

Akupun tak tahu harus memulai pembicaraan dengannya, ada begitu banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya namun bibir ini terasa begitu kelu untuk melontarkan satu katapun kepadanya. Aku cuma bisa memainkan kuku jariku dan menunduk tak berani menatap wajahnya yang memandangiku begitu tajam. Dari situasi yang ada diantara kami, tentu aku bisa merasakan kemarahan dari dalam dirinya akan sikapku kapan lalu namun dia coba tutupi dengan wajah tanpa ekspresi andalannya.

"Ada hal yang ingin kau bicarakan denganku?" dengan ragu ragu aku mulai membuka pembicaraan diantara kami berdua.

"Aku ingin mengungkapkan sesuatu kepadamu hari ini." tegasnya dan akupun seketika mendapat firasat yang tidak enak dengan ucapannya barusan. Seperti aku sudah bisa menduga apa yang akan dia katakan setelah ini. Tapi hal itu tentunya tak membuatku siap mental untuk mendengarnya.

"Aku sudah berpikir secara matang matang dalam berapa hari ini dan aku berpikir bahwa sepertinya hubungan kita tidak bisa dilanjutkan lagi, An." saat itu aku sadar hubungan kita telah benar benar berakhir.

"Aku ingin mengakhiri hubungan kita."

Hello GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang