2 (ketemu keluarga)

18.6K 977 25
                                        

Setelah menikmati makan malam yang hangat di rumah Radit, Fano kembali ke rumah kontrakannya. Hari itu terasa panjang dan penuh kejutan, namun ia tetap merasa lelah dan hanya ingin tidur. Namun, langkahnya terhenti saat sekumpulan pria berpakaian hitam tiba-tiba menghalangi jalan.

"Lu om-om pedo bisa nyingkir gak sih?! Ngalangin jalan aje!" Fano kesal dan mencoba menghindar dari mereka.

"Maaf tuan muda, anda harus ikut bersama kami," ucap pria botak, terlihat serius.

"Siape lu? Ngatur gue!" Fano semakin kesal, merasa tak nyaman dengan perlakuan mereka.

"Ini perintah tuan besar membawa tuan muda ke mansion," pria botak itu menjelaskan lebih lanjut.

Fano memandang pria itu dengan tatapan penuh kebencian. "Tampang lu kayak pedofil gitu! Udahlah minggir!" Fano mendorong pria-pria tersebut dengan kasar, mencoba melanjutkan perjalanannya. "Pergi lu, jangan ganggu gua mau tidur, nanti kadar kegantengan gua menurun karena kurang tidur, kan gak lucu!" gerutunya.

Fano berjalan meninggalkan segerombolan pria itu tanpa rasa takut, tak menyadari ada seseorang yang mengamati dari jauh.

Pria yang mengawasi Fano adalah Stevan Kabar Jovetic, yang merasa yakin bahwa Fano adalah putra kandungnya yang telah hilang. "Putraku sudah ketemu, dengan cara apapun aku akan membawa dia pulang," ucap Stevan, matanya menyiratkan tekad dan kebanggaan yang besar.

Namun Fano, tanpa mengetahui hal itu, hanya merasa terganggu dengan kejadian yang baru saja terjadi. Begitu sampai di kontrakannya, Fano merasakan sebuah kegelisahan. "Pasti ulah si Risman nih!" gerutunya.

Ia menyalakan lampu rumah yang remang-remang dan menghempaskan tubuhnya di atas tikar tipis yang menjadi tempat tidurnya selama ini. Tidak ada kasur atau perlengkapan tidur yang nyaman, hanya tikar yang cukup untuk menutupi tubuhnya. Fano pun mulai merasakan kelelahan yang berat.

"Sebenarnya gua anak siapa sih?" tanya Fano dalam hati, monolog itu memunculkan keraguan dalam dirinya yang semakin membebani pikirannya.

Ia membuka jendela kecil di sampingnya dan menatap langit malam yang cerah. Bintang-bintang yang bersinar begitu terang memberi kesan damai, meskipun di hatinya Fano merasa kosong. Di luar, ia terlihat seperti anak yang tidak peduli dengan apapun, tetapi sebenarnya dia adalah sosok yang rapuh.

"Setidaknya kasih petunjuk siapa nama kedua orang tua gua?" lirih Fano, berharap suatu saat ada jawaban atas segala kebingungannya.

Tiba-tiba, hujan turun dengan cepat, derasnya air mengalir menenangkan suasana hati Fano yang gelisah. Ia menutup jendela dan mencari selimut tipis bergambar Winnie the Pooh untuk menghangatkan tubuhnya yang dingin. "Dingin banget, coba aja punya selimut tebal kayak orang kaya gitu," keluh Fano. Sesekali ia bermimpi hidup seperti keluarga kaya raya, namun tahu bahwa itu hanya sekadar angan-angan. "Ngarep bener gua lahir dari keluarga kaya raya," katanya dalam hati.

Selimut tipis itu tidak cukup menghangatkan tubuhnya yang kurus, tetapi Fano berusaha tidur dengan nyaman, meski merasa terbatas oleh kondisi ekonominya yang jauh dari cukup. "Fano bobo dulu ah, kali aja bisa mimpi tidur di kasur empuk kayak di film apaan itu gua lupa, yah bodoh amat lha," harapnya, mencoba tidur dan melupakan kenyataan untuk sementara waktu.

Namun, tanpa disadari Fano, ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam kontrakannya. Pria asing itu berdiri di depan Fano yang tertidur pulas. Tidak ada niat jahat dalam tatapannya, hanya ada kerinduan yang mendalam di mata tajam pria tersebut.

"Akhirnya kau ketemu juga," ucap pria itu, suara lembut namun penuh makna.

Pria asing tersebut kemudian menggendong Fano dengan hati-hati. Fano, yang sangat lelah, tidak bergerak sedikit pun, seolah tak sadar ada yang mengangkat tubuhnya. "Fano pasti kebo banget tidurnya," ujar pria itu dengan senyum tipis, menyadari betapa lelapnya tidur Fano.

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang