YeolHana

52 6 0
                                    

Aku tidak bisa tidur malam ini, semua badanku terasa sakit. Padahal tabrakan tadi tidak begitu keras. Seperti hanya menyenggolnya mobil saja. Tangan kananku sakit sekali. Rasa nyerinya luar biasa meski hanya tersentuh sedikit. Membuatku tidak leluasa bergerak, cahaya kamar tampak temaram ketika aku membuka mata. Aku bisa melihat ibu di sofa, tapi dimana Ji Woo?

" Hyung,,,"

" Hyung.."

Ah, rupaya dia ada disebelahku. Apakah dia sedang mengigau? Aku menghela nafas dalam-dalam. Mengapa jadi seperti ini ceritanya. Mengalami kecelakaan yang mengharuskan untuk rawat inap dan menghadapi Ji Woo, yang dari sikapnya saja sudah bisa kutebak Dia malas untuk menjagaku. Selalu membuang muka saat mata kami tak sengaja bertatapan. Jelas sekali Dia ingin menghindar. Haaaaaahhh.. Lagi2 aku menghela nafas. Terlalu penuh rasanya isi kepala ini. Entahlah.. Aku hanya ingin segera bertemu pagi.



Pagi harinya..

Ibu pamit padaku saja, karena Ji woo masih tertidur. Tadi ibu sudah menggoncang-goncangkan Ji Woo, tapi Ji woo hanya menjawabnya asal.

"Ibu pergilah, biarkan saja dia tidur." Saranku pada ibu.

Ibu menganggukkan kepalanya dan tersenyum meninggalkan kami. Aku hanya memandangi Ji Woo yang masih asyik tertidur. Perlahan Dia mulai gelisah dan terbangun karena silau matahari. Matanya hanya segaris. Belum sepenuhnya tersadar. Iya meggeliat, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan menguap sambil menutup mulutnya. Mengucek-ngucek mata kanannya dengan rambutnya yang berantakan, lucu sekali wajahnya. Aku jadi teringat Ji woo ketika dulu dia masih baru masuk taman kanak-kanak. Saat itu Ji Woo memiliki pipi yang chubby, dan matanya yang sipit. Ibu setiap pagi membangunkannya untuk sekolah dan wajahnya persis ketika kala itu.

Dia melihatku tapi tidak bicara apa-apa, baru saja aku akan berbicara namun dia beranjak mencuci muka dan gosok gigi kemudian menyiapkan makanan pasien yang sudah tersedia di meja. Kami saling diam. Ji woo mendekat kearahku dan memastikan semua dalam keadaan baik-baik saja. Dia membawakan makanannya ke atas ranjang dan mengatur kasur pasiennya agar aku dapat dengan mudah bergerak. Dia mengambil sesendok makanan beserta laukknya dan menyuapiku. Kami masih saling diam.

"Han Ji woo?" tanyaku

Dia hanya menatapku datar, kemudian mengalihkan pandangannya pada santapanku yang sudah hampir habis. Dia sukses membuatku menelan semua lauk tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Melihat Ji Woo berjalan merapikan alat makan, membuatku semakin berpikir keras. Aku tidak ingin terus berada dalam situasi ini. Terlalu sesak jika harus terus menahannya. Kuyakinkan diriku berkali-kali. Aku harus jujur. Ji Woo harus tau apa yg sebenarnya terjadi.

"Han Ji Woo... Bisakah Hyung berbicara padamu?"

Yang semulanya dia berdiri sambil membawa nampan, perlahan mulai duduk dan mengisyaratkan bahwa kali ini dia akan mendengarkan. Lagi-lagi tanpa sepatah katapun.

"Maafkan aku sebelumnya sudah membuatmu marah, memang aku yang terlalu egois. Aku benar-benar tidak punya pendirian." Ji woo hanya menunduk mendengarkan di sampingku.

"Kau tau, berberapa bulan terakhir ini aku sedang dicemaskan oleh sesuatu?" belaku.

Ji woo menoleh kearahku dengan tatapan sinis.

Aku sedikit takut dengan tatapannya ini, " Baiklah, memang sepertinya aku harus mengatakan yang sejujurnya." Aku mencoba menyakinkan diriku lagi.

"Iya benar aku menyukaimu, menyukaimu sebagai laki-laki dewasa bukan sebagai adikku."

"Bagaimana ya aku harus memulainya?"

"Aku saja tidak percaya dengan kenyataan ini, aku harap kamu dapat menerimanya Han Ji woo"

"Sebenarnya kau bukan adik kandungku, yaa.. bisa dibilang kau Adikku tapi di tubuh kita tidak mengalir darah yang sama."

Ji woo mendadak berdiri. Sedikit membanting nampan yang di atasnya ada beberapa mangkok, gelas serta piring.

"Jangan bicara omong kosong, Hyung!" sanggahnya dengan nada tinggi.

Dia mendekat kearahku dan berbisik tepat disamping telingaku.

"Hyung... sebaiknya kita melupakan semua yang telah terjadi selama seminggu kebelakang ini. Ahhh.. 3 bulan kebelakang. Aku sudak muak" Ji woo bergegas menaruh perlengkapan makan tadi di meja.

Dia memilih untuk duduk di sofa. Ji woo benar-benar marah kali ini. Aku hanya bisa memandanginya dari jauh. Aku sungguh bodoh tidak benar-benar yakin dengan perasaan Ji woo kepadaku, aku bodoh sengaja memancing Ji Woo, berciuman dengan Dae Sul dirumah. Bukan Ji Woo yang tidak yakin dengan perasaannya. Tapi aku yang tidak percaya dengan perasaanku sendiri. Aku kembali berbaring karena bingung harus berbuat apa? Ji Woo hanya mengerjakan tugasnya di sana.

Tepat ketika makan siang Ibu datang dan mengabarkan jika aku sudah diizinkan dokter untuk pulang. Aku sungguh bersyukur, aku sudah tidak tahan dirumah sakit terlebih lagi Ji woo hanya mendiamkanku.

"Kalian sudah makan?" Tanya ibu.

"Sudah bu, tadi kami berdua makan bersama" bohong Ji woo kepada ibu. Setelah menyuapiku dia keluar mencari makanannya sendiri.

"aa.. geuraee..? uri adeul nomu jjang..." sahut ibu "Ji woo tadi makan apa?"

"Tadi ada bibimbap di kantin rumah sakit bu."

"Oke, dokter sudah mengijinkan Hyungmu pulang, bantu ibu menyiapkannya ya, sepertinya dia tidak bisa pakai pakaiannya sendiri." Perintah ibu.

"nee.. serahkan padaku bu." Jawabnya dengan manja.

Aku heran Ji Woo berubah 180 derajat jika ada ibu. Ibu meninggalkan kami berdua untuk mengambil obat di apotik dan menyuruh kami menyusulnya di parkiran. Kamar ini kembali hening. Ji woo merapikan dan mengemas semua pakaian kami serta menyiapkan baju gantiku.

Pandangannya lurus kedepan, padahal sekarang aku sedang menatapnya.

Dia melepaskan satu persatu kancing bajuku. Perasaankanku tidak karuan, entah mengapa saat ini dadaku berdegup kencang. Kulihat Ji Woo tenang-tenang saja. Hanya suara nafas kami yang terdengar.

Ji woo membantuku turun dari ranjang, aku ingin menganti celanaku sendiri, aku tidak sanggup jika Ji Woo juga harus membantuku kali ini. Bisa saja nanti aku lepas kendali lagi seperti di Seokcho.

" Bisakah kau tolong bukakan pintu kamar mandi untukku?" pintaku.

"Yakin Hyung tidak perlu bantuanku? Menggunakan baju saja susah terlebih lagi celana?" sambil melipat kedua tangannya, merendahkanku.

"Aku akan mencobanya lebih dulu." Balasku

"Terserah Hyung saja." Sambil berjalan membukakan pintu kamar mandi.

Benar yang Ji woo katakan. Susah sekali mengenakan celana dengan satu tangan, tangan kananku masih nyeri sekali. Menggerakkannya saja membuatku ektra kerja keras. Karena tidak seimbang akhirnya ku terjatuh, untungnya tidak jatuh ke arah tanganku yang patah.

Ji Woo segera masuk dan membantuku berdiri.

"Bisa tidak sekali saja kau tidak mencari perhatian seperti ini?" sindir Ji Woo

" Mwo?" aku berusaha tidak emosi menjawabnya.

"Aku akan membantumu mengganti celanamu" jawabnya.

Dibandingkan perasaan malu aku lebih merasa tersinggung disini. Sambil membantuku mengganti celana, aku menegurnya karena dia sungguh keterlaluan menuduhku mencari perhatian.

"Neegaaa...?" Sambil sedikit tersenyum sinis dia keluar dari kamar mandi. Dia mengambil tas yang berisi pakaian bekas kami dan mengecek barang-barang agar tidak ada yang tertinggal. Aku masih di belakangnya. Ketika dia menggeser pintu kamar, dia berhenti sejenak.

"Jika memang aku begitu keterlaluan menuduhmu seperti itu, lalu yang kau lakukan beberapa waktu lalu di Hotel maksudnya apa? Dan keesokan harinya kau sudah mencium wanita lain? Bukankah kau yang keterlaluan?"

Skakmat. Aku tidak dapat menjawab pertanyaannya.


APAKAH AKU MENCINTAI HYUNG?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang