☞ Jangan lupa follow dan beri bintang serta comment
________
Grusha berjalan keluar dari pintu belakang, atensinya menatap sebuah rumah kecil yang hendak dia tuju. Kedua tangannya bergerak membuka borgol rumah, lalu membuka pintu tersebut. Sesuai dugaan Grusha, ibu panti telah kabur dari rumah ini. Duca meletakkan tubuh Kaysen ke atas tempat tidur. Carla menarik selimut untuk menutupi setengah tubuh Kaysen. Kemudian Duca mencoba untuk menghubungi Valentin untuk memeriksa kondisi Kaysen. Duca mendecak kesal karena Valentin tak kunjung mengangkat teleponnya.
"Kamu tunggu disini, aku akan panggil seseorang untuk memeriksa keadaan kaysen." Tutur Duca. Lalu dia melenggang keluar dari kamar ini.
Sherin muncul dari balik pintu sembari membawa nampan berisi minuman serta beberapa cemilan. Dia meletakkan nampan tersebut ke atas meja kecil yang berada di ruangan ini. Carla menatap Sherin.
"Kamu...asistennya Kaysen juga?" Tanya Carla sembari memperhatikan Sherin dari atas hingga bawah.
"Ah itu... eum, aku asistennya Duca." Balas Sherin berhati-hati.
"Duca? Siapa dia?" Tanya Carla dengan tatapan yang berbeda. Kemudian dia mendekat ke arah Sherin.
"Apa Kaysen pernah dekat dengan perempuan lain selain Kaisa?" Tanya Carla sekali lagi.
"Banyak tanya nih orang," Batin Sherin.
"Duca itu tadi yang membawa Kaysen kemari. Aku masih ada pekerjaan, jadi aku tidak bisa menemanimu disini." Tutur Sherin.
"Baiklah," Gumam Carla.
Sherin melenggang keluar dari ruangan ini. Kemudian dia pergi ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasaknya. Ibu panti kembali ke rumah panti, dia terkejut dan hampir tidak percaya jika semua pelayannya telah terbaring kaku di lantai dengan keadaaan yang tidak wajar serta telah membusuk. Lalu dia pergi ke belakang rumah untuk membuat lubang untuk mengubur mayat para pelayan. Dia mengambil cangkul dan segera membuat lubang besar.
Valentin berdiri di tepi sungai, dia menatap pantulan tubuhnya di permukaan air sungai. Kini Teon kembali mengendalikan tubuh Valentin, dia melihat bayangannya di permukaan air sungai. Lalu dia melanjutkan perjalanannya untuk keluar dari hutan ini. Sementara, ponsel Valentin terus bergetar di dalam mobil menampilkan beberapa notifikasi panggilan dari Duca.
"Sssttt!! Jangan bergerak atau mereka akan menangkapmu!" Bisik makhluk yang membuat Kaisa tersungkur ke tanah.
Kedua manik makhluk itu menatap beberapa prajurit bangsa Orc yang tengah berjalan keluar dari hutan ini. Kemudian makhluk tersebut mengeluarkan sihirnya agar aroma tubuh Kaisa tidak sampai di hidung mereka, dengan begitu Kaisa akan selamat.
"Mereka sering berburu manusia diam-diam walaupun raja melarang untuk pergi ke alam manusia tanpa ada suatu kepentingan disana." Tuturnya sembari mengamati para prajurit yang hendak turun dari bukit.
"Kamu juga sama seperti mereka, apa kamu akan memakanku juga?" Tanya Kaisa dengan hati-hati.
Makhluk itu hanya diam. Kemudian dia menatap Kaisa, tatapannya seakan Kaisa adalah harapannya.
"Sebenarnya, jadi begini aku belum mati sejak sembilan abad yang lalu. Ada seseorang yang mengutukku agar aku tetap hidup, aku tidak tahu apa alasannya dia mengutukku." Tuturnya sembari berbalik memunggungi semak-semak. Dia menatap kedua telapak tangannya.
"Siapa?" Tanya Kaisa. Perlahan dia mendekat ke arah makhluk ini dan berakhir duduk di sampingnya.
"Seorang penyihir, dia juga membuat dirinya abadi sepertiku. Dulunya dia adalah pemimpin penyihir yang sangat hebat. Setelah satu abad berlangsung, kutukan entah yang datang darimana tiba-tiba seluruh bangsa Orc menjadi ganas dan saling memakan saudaranya saat emosionalnya tidak terkendali. Karena itu, kami berdua pergi ke hutan ini untuk bertahan hidup. Namun tidak lama dia pergi meninggalkanku sendirian dan bergabung bersama mereka." Tuturnya. Tatapan kesepian dan kesedihan sangat mendominasi kedua matanya, ada kerinduan yang begitu dalam. Kaisa paham akan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOOZY
Fantasy⚠️ Warning ⚠️ !! Cerita ini mengandung kekerasan fisik !! _____________________________ Arsene Orc atau biasa dipanggil oleh bangsanya dengan nama Orka. Dia telah tertidur selama delapan abad. Hingga pada abad ke dua puluh satu, seseorang tidak seng...