7. Tanpa Rasa

900 43 2
                                    

Mentari dan langit sedang akur untuk membuat bumi terlihat lebih indah dan cerah. Entah karena alasan apa, mereka seperti mendukung sekali kebahagiaan pasangan pengantin baru kita. Warna biru dan sinar cerah adalah kombinasi yang pas untuk menikmati hari.

Jevano baru saja selesai mandi setelah membereskan semua barangnya yang ada di kontrakan. Dia berniat untuk menjemur handuknya. Matanya tidak sengaja melihat sang ayah sedang memasukkan beberapa barang yang tadi belum sempat dia kemas di ruang tengah. Dia mendesah.

Hari ini adalah sehari setelah pernikahan ayahnya. Dia kira, dia dan ayahnya akan tidur di kamar hotel bintang lima, mengingat acara pernikahan kemarin digelar di sana. Pun, dari yang dia dengar, hotel itu milik keluarga ibu tirinya.

Bukan, bukan maksud Jevano mau memanfaatkan fasilitas bagus yang tak pernah dia rasakan selama hidupnya. Namun, kenapa tidak sekalian saja istirahat di sana, sih, padahal badannya sudah capek sekali tadi malam. Rasanya nanggung aja.

Pun ayahnya itu aneh sekali. Bukannya biasanya pengantin baru selalu satu tempat setelah menikah? Ini, kenapa mereka malah kembali ke kontrakan?

"Jevano! Ayo cepat! Nanti kita terlambat!" Teriakan itu membuat pemuda lima belas tahun kita yang manis ini tersadar dari lamunannya. Buru-buru dia merapikan handuknya di kawat jemuran.

"Aku sudah di sini, Ayah. Memang kita mau ke mana sepagi ini?" tanya Jevano sopan sambil mendekati ayahnya yang masih sibuk.

Jamal mengangkat pandangannya sejenak, mengecek keberadaan anaknya. Lalu, dia menunduk lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Ke rumah Kakek dan Nenek. Kita sarapan di sana."

Jevano hanya mengangguk. Entah karena dia paham atau maklum akan sesuatu. "Kenapa enggak dari kemarin saja kita di sana? Kan, enggak perlu repot-repot pagi begini, Yah."

Jamal selesai menyegel kardus yang ada di depannya dengan solasi. Dia menegakkan badan dan memandang anaknya lekat. "Ayah, kan, kemarin sudah bilang. Kita perlu siap-siap untuk pindah ke rumah baru, Jevano. Kamu lupa?"

Jevano terdiam. Dia mencoba mengingat perkataan ayahnya yang itu. Matanya pun melebar, begitu juga dengan mulutnya. "Ah, percakapan pas siang kemarin? Di rumah Kakek Nenek?"

Jamal mengangguk sambil mengangkat satu suduh bibirnya, menampakkan lesung pipi yang tampan di sana.

"Oh, mekanya."

"Mekanya apa?" Jamal mengerutkan keningnya.

"Mekanya Ayah ngajak aku pulang ke sini. Aku kira Ayah enggak tinggal di hotel tadi malam karena Ayah grogi." Jevano menjeda kata-katanya. Jamal yang disebut mulai menaruh tatapan curiga. "Eh, tapi. Ayah grogi enggak, sih? Aku enggak salah, 'kan? Ah, mekanya Ayah enggak mau bermalam sama—"

"Jevano!"

"Eh, iya, Ayah. Ampun. Jevano ambil tas di kamar dulu." Lelaki itu pun langsung berlari ke kamarnya, menyelamatkan diri sebelum diterkam oleh sang ayah. Lagian, Jev, kenapa malah goda pengantin baru gitu, loh.

Jamal menggeleng, menatap punggung Jevano dan lari anaknya yang sangat gesit itu. Dia menghela napas. Tidak terasa anaknya sudah sebesar itu. Tatapannya meneduh. Senyumannya mengembang. "Akhirnya kamu punya ibu, Nak."

***
Di kediaman utama keluarga Anggari,

Juwita sedang menata hidangan bersama dua asisten rumah tangga. Dia bolak-balik ke dari dapur ke meja makan. Berkali-kali asistennya itu menyuruhnya berdiam dan memantau saja, namun dia tetap bersikeras ingin membantu.

"Mana itu suami sama anak kamu? Udah jam berapa ini, kok, malah belum pada datang?" Itu adalah suara Nyonya Anggari yang sudah dari lima belas menit yang lalu menunggu kedatangan menantu dan cucu barunya. Awalnya, dia sudah siap akan duduk di ruang makan. Namun, karena ternyata terlalu awal bersiap-siap, jadinya dia harus menunggu terlebih dahulu di ruang tengah sambil menonton berita pagi.

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang