21. Awal yang Membagongkan

579 34 2
                                    

Jevano melangkah keluar ruangan pertemuan tadi. Kali ini, dia tidak akan sembrono. Di tangannya sudah ada gawai yang menunjukkan denah sekolahnya. Dia tidak bodoh untuk membuntuti orang lagi dan dituduh sebagai penguntit seperti apa yang dikatakan Haikal tadi.

Akhirnya ketemu. Dia memasuki pintu keramat yang akan menolongnya setelah ini. Kantin. Sejujurnya, perut miskinnya itu sudah keroncongan lagi saat acara tadi karena hanya sarapan dengan sandwich ala orang kaya buatan bundanya. Memang rasa sandwich yang dia makan tadi pagi tidak buruk, tapi jumlah kalorinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan paginya. Ah, lebih tepatnya porsi.

Jevano menghentikan langkahnya sejenak dan melihat sekeliling. Tidak banyak murid yang ada di sana. Hanya ada murid yang berseragam sama sepertinya, biru abu. Dari denah yang dia lihat, ini adalah kantin untuk kelas sepuluh. Jadi hanya murid-murid yang satu generasi dengannya yang menempati kantin ini.

Segera, dia mendekati ke salah satu stan makanan. Dia memilih makanan yang sekiranya bisa untuk mengganjal perutnya sampai nanti siang. Dia memesan satu kebab. Tapi, saat hendak membayar, dia tidak menemukan kartu atm sekolah yang digunakan untuk pembayaran di kantin meskipun sudah merogoh semua kantong sakunya. Padahal kebab yang dipesan sudah ada di tangannya. Enggak mungkin juga, dong, dia mau bilang utang. Secara, ini sekolah orang kaya. Mana yang jualan masih muda lagi. Ditambah dia juga tidak punya kenalan yang bisa dimintai tolong.

"Kebab dua yang kayak punya dia, ya, Kak. Sekalian tagihannya jadiin satu." Seseorang di belakang Jevano menyodorkan kartu kuning ke penjual kebab, alat pembayaran kantin sekolah.

Jevano menoleh. Ada seorang murid yang lebih tinggi darinya sedang tersenyum ke arahnya. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi murid itu mendahului. "Makasih banyak."

Alis Jevano mencuat. Kemudian dia sadar bahwa itu adalah sebuah sindiran. "Te-terima kasih." Dia menggeser posisinya agar lebih leluasa berkomunikasi.

Murid itu mengangguk. "Tapi ada syaratnya."

"Hhmm?"

"Temani aku makan." Murid tersebut mengambil dua kebab yang sudah jadi dan menggerakkan kepalanya, isyarat kepada Jevano agar mengikutinya.

Jevano begidik. Masalahnya yang mengajaknya ini seorang murid laki-laki. Maksudnya, apa tidak salah?

Akan tetapi, tanpa kata lagi, Jevano tetap melangkahkan kakinya untuk mengikuti lelaki yang baru saja menolongnya itu. Mereka sampai di satu meja yang telah diisi oleh seorang gadis di sana. Gadis itu mendongak. "Lama banget. Cuma beli kebab doang padahal," protes gadis itu.

Jevano memperhatikan gadis tersebut. Ukuran badannya terlihat mungil apalagi saat lelaki yang bersamanya tadi duduk di sebelah gadis itu. Kulitnya seputih susu dan terlihat unyu dengan bandana kotak-kotak yang senada dengan seragam mereka, menghiasi rambut panjang gadis tersebut.

"Tangan yang jualan juga cuma dua. Butuh waktu kali." Lelaki itu menjawab dengan santai. "Duduk aja. Kamu gak bakalan berdiri di situ terus, kan?"

Jevano tersadar dari pikirannya. Dia pun duduk di hadapan mereka.

Gadis itu terlihat kebingungan dan menatap lelaki di sebelahnya dengan kerutan di dahi. "Siapa?"

"Kenalan, deh. Gampang, kan?" Lagi, lelaki itu menjawab dengan enteng. "Aku Syahid. Ini temenku Maharani." Lelaki yang bernama Syahid itu membuka bungkus kebabnya.

"Aku Jevano." Sedikit agak canggung saat Jevano mengucapkan kalimat itu. Dia merasa seperti orang yang menurut karena tidak mau kehilangan harga diri.

"Panggil aku Rani aja. Maharani terlalu panjang." Gadis itu ikut membuka kebabnya dan mulai menikmatinya.

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang