24. Full Tank

621 33 9
                                    

"Heh, Hellen. Jangan ngadi-ngadi, ya." Juwita meletakkan sendok es krim sangking kagetnya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Hellen. "Gue enggak ada rasa sama sekali sama Mas Jamal. Kita berdua sepakat buat jalani ini sesuai dengan perjanjian. Kita saling bantu aja. Bahkan Mas Jamal buat aku kayak saudara laki-laki."

Hellen memutar bola matanya. "Sekarang lo ngomong kayak gitu, Kak. Enggak tahu lagi besok-besok."

Wanita itu mencebik. "Yang gue tahu sekarang, ya, itu. Gue sama Mas Jamal berusaha sebaik mungkin buat terus saling mendukung. Btw, buat tekad dan minat gue untuk masak, itu bukan karena gue ada rasa sama Mas Jamal, ya." Juwita ingin menekankan sekali lagi kepada Hellen bahwa dia tidak punya rasa apa-apa dengan Jamal.

"Iya. Iya." Agaknya Hellen mulai jengah. "Karena lo enggak mau setengah-setengah, kan, menjalani peran. Apalagi perjanjian lo sama Pak Jamal enggak boleh diketahui sama Jevano."

Juwita menjentikkan jarinya. "Nah, itu lo pinter."

Hellen menjulurkan lidah. Dia tidak mau meneruskan ucapannya. Percuma, nanti ujungnya bakalan dibantah oleh wanita yang ada di depannya itu. Dia pun memutuskan untuk menghentikan konversasi sejenak dan mengamati Juwita yang sedang fokus lagi dengan es krimnya lagi.

"Enak banget ini. Kenapa lo baru bilang kalau Devan punya kafe." Juwita memuji es krim red velvet dengan topping caramel cappucino miliknya. Tak ada niatan untuk membahas kembali topik percakapan barusan.

Hellen mendesah pasrah, lalu mengambil sendoknya. Dia ikut menikmati es krim yang telah dipesannya. "Sebahagia lo aja, ya, Kak. Gue cuma bisa bantu doa biar lo bisa mendapatkan kebaikan seperti yang selalu lo coba berikan ke orang lain," batinnya sambil menatap ke Juwita penuh arti.

"Iya, weh. Kenapa gue baru ke sini juga setelah sekian lama. Coba ini, Kak. Varian baru di kafe ini." Hellen menyendokkan es krimnya dan menyuapi Juwita.

Mata wanita dua puluh tujuh tahun itu terbuka lebih lebar. "Iya. Enak. Rasa berry-nya enggak ketutup sama rasa susu."

Hellen mengangguk, mengiyakan.

Gerakan mereka terhenti begitu saja. Terlalu serempak untuk sebuah kebetulan. Bahkan tarikan napas mereka sama dalam satu hitungan.

"Juga, gue masih inget banget gimana rasanya patah hati, Len. Enggak enak." Tatapan mata Juwita menjadi sendu dan kosong ke arah meja. "Gue enggak mau terlalu berharap, karena bisa aja Mas Jamal menemukan wanita yang lebih baik dari gue. Lagian gue nikah sama dia juga niat awalnya cuma mau bantu ekonomi mereka. Bukan buat jatuh cinta."

Hellen menatap sahabatnya prihatin. Susah sekali rumus kehidupan wanita di depannya ini. Dia memang tidak pernah mendapati Juwita menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Saat masih kuliah pun dia tidak pernah mendengar rumor kencan tentang Juwita. Awalnya dia tidak mempermasalahkan hal itu. Dia anggap itu adalah kehidupan privasi yang tidak harus semua orang tahu. Hingga Juwita bercerita sendiri tentang kisah patah hatinya dan memutuskan untuk tidak mau berharap banyak pada hubungan kasih ataupun cinta dengan lawan jenis.

"Tapi tenang aja. Gue sama dia terbuka, kok. Mas Jamal juga pengertian. Jadi, gue yakin dia enggak akan bikin gue sakit hati." Juwita tersenyum. Senyuman getir dan sok tegar yang bisa dirasakan oleh Hellen di balik manisnya wajah ayu itu.

Hellen mau tidak mau juga ikut tersenyum. "Asalkan lo tetep inget aja bahwa selalu ada gue yang akan siap siaga untuk nemenin lo, Kak." Dia berucap tulus dan berbuah anggukan dari sahabatnya.

"Makasih banyak, ya, Hellen. Semoga jalan hidup lo lebih baik daripada gue. Semoga lo mendapatkan cowok yang layak buat lo, yang bener-bener mencintai lo." Kata-kata Juwita itu membuat genangan air di pelupuk mata keduanya terkumpul.

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang