17. Rumah Baru

1.4K 67 8
                                        

Malamnya, Jamal sekeluarga benar-benar pindah rumah setelah selesai berkemas. Tuan dan Nyonya Anggari melepaskan kepergian mereka di depan rumah.

"Sering-sering main ke sini, Jevano," pinta Nyonya Anggari sambil memeluk cucunya.

Jevano mengangguk. "Iya, Nek."

Juwita tersenyum melihat mamanya yang akur dengan anaknya. Entah apa yang sudah dilakukan papanya saat berpergian dengan sang mama hingga saat pulang sudah berubah seperti ini. Dia jadi ingin meminta saran dari papanya, 'kiat-kiat untuk menakhlukkan hati orang supaya bisa luluh'. Karena dia sangat membutuhkannya untuk meluluhkan hati Jevano.

Astaga, kalau diingat lagi, dia jadi nelangsa. Dia kira perlahan, Jevano akan mencoba memanggilnya 'bunda' atau paling tidak memberinya wajah ceria seperti sekarang ini. Nyatanya tidak. Bahkan sampai saat mereka akan pergi dari rumah ini pun Jevano tetap bermuka datar jika berbicara dengannya. Dia seperti dikucilkan oleh anak tirinya itu.

Juwita langsung menggeleng. Tidak. Tidak. Dia tidak boleh berperasangka buruk. Dia harus tetap optimis untuk mendekati Jevano. Ah, apalagi seragam yang dia buatkan untuk Jevano sudah jadi, so semoga anak itu memberinya wajah dengan senyuman di bibir dan mata. Wajah manis yang selalu dia sukai.

"Kami berangkat dulu, ya, Pa, Ma." Jamal mengakhiri acara perpisahan itu. Mobil mereka sudah disiapkan dan dia sudah mendapatkan kuncinya dari Pak Jimi, supir keluarga Anggari.

"Hati-hati, ya. Jaga keluarga kamu dengan baik." Tuan Anggari memeluk menantunya sekali lagi dan menepuk-nepuk punggung pria itu.

"Baik, Pa. Aku akan berusaha sebaik mungkin."

Tuan Anggari manggut-manggut. "Iya. Iya. Besok jangan lupa."

Jamal mengangguk. Jevano dan Juwita sudah masuk mobil. Kemudian, dia menyusul. Dia mengemudikan mobil itu. Jamal membuka jendela agar mereka bisa melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya di malam itu.

"Akhirnya bakalan tinggal di rumah baru." Juwita yang duduk di sebelah kursi kemudi, terdengar sangat bersemangat. "Aku yakin enggak bakalan mengecewakan." Dia menyandarkan kepalanya ke jok dan menoleh ke suaminya.

Jamal yang sedang fokus dengan kemudi hanya tersenyum sebagai jawaban persetujuan. Sesekali dia melirik ke arah istrinya.

"Jev," panggil Juwita yang hanya direspon dengan gumaman dari pemuda yang duduk di kursi belakang. Sejenak dia tertegun karena jawaban singkat dan dingin itu. Tapi, dia tidak menampakkannya. "Seragam kamu sudah Bunda bawa dan udah siap pakai. Nanti sampai rumah dicoba lagi, ya. Semuanya atributnya sudah lengkap, kok. Oh, ya. Pin nama ada di sakunya, belum Bunda pasang. Nanti pasang sendiri, ya."

Jevano hanya menjawab dengan deheman. Dia melihat ke arah luar jendela, seperti tidak tertarik dengan apa yang dikatakan oleh sang bunda.

"Jev," tegur sang ayah.

"Apa, Yah?"

"Diajak omong Bunda itu, loh."

"Iya, aku denger, kok. Seragam sudah selesai, nanti dicoba pakai lagi, sama pinnya belum dipasang, ada di saku." Jevano mengulangi poin yang dikatakan bundanya dengan tepat.

Juwita segera mengelus lengan Jamal saat melihat suaminya itu hendak berkata lagi. "Iya, Jev. Jadi nanti sebelum istirahat dicoba dulu, ya. Biar Bunda lihat juga."

"Iya, Tante."

Juwita masih tetap berusaha tersenyum meskipun sebagian hatinya terasa teriris. Panggilan itu ... mengingatkannya lagi pada satu tujuan sederhana yang harus dia capai. Dia hanya ingin bisa dekat dengan Jevano secepat mungkin. Dia hanya ingin bisa mengambil hati anak itu agar bisa mengurusnya dengan lebih baik. Ya, tidak ada lagi yang dia inginkan lagi sekarang selain itu. Semoga dia bisa cepat mewujudkan keinginannya tersebut.

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang