10. Awal Pendekatan

797 41 5
                                    

Jamal menutup pintu kamar Juwita di lantai dua rumah utama Keluarga Anggari itu dengan pelan. Kamar itu otomatis menjadi kamarnya juga. Keadaan rumah juga hening. Dia tidak mau membuat kegaduhan meskipun hanya suara pintu. Saat mengangkat pandangannya, keningnya berkerut karena mendapati anak laki-lakinya berdiri tak jauh dari sana.

Kini, di rumah besar itu hanya tinggal keluarga kecilnya dan para pelayan. Kedua mertuanya sudah pergi sedari tadi. Bahkan Tuan Anggari sengaja mempercepat kepergiannya dengan sang istri dan tidak membiarkan wanita itu untuk mengetahui tentang kejadian yang anaknya alami. Bisa gawat nanti. Mungkin Jamal harus berterima kasih kepada mertuanya untuk itu.

Jevano mendekat dengan langkah bimbang. Dia sedikit menggigit bibir bawahnya. Beberapa jemarinya tertaut sedikit bergetar. "Ayah," sapanya yang terdengar seperti tawanan yang bersalah.

Jamal menghadap penuh ke anaknya. "Ada apa, Jev?" tanyanya santai. Dia melihat gelagat anaknya yang asing itu dan tersenyum tipis. Dia tahu persis bahwa Jevano sedang sangat merasa bersalah.

"Keadaan Bunda ... gimana, Yah?" Nadanya bergetar. Begitu juga dengan bibirnya.

"Bunda sekarang sedang istirahat." Jamal melebarkan tangan dan melingkarkannya ke pundak sang anak untuk mengajak berjalan bersama. "Kita masih akan di sini sampai kaki Bunda sembuh."

Jevano menunduk. "Bunda pasti kesakitan banget, ya, Yah?"

Jamal tidak bisa menyembunyikan senyumannya, begitu pula dengan lesung pipinya. Dia dan anaknya mulai menuruni tangga. "Hmm, bisa dibilang begitu. Tapi, enggak perlu terlalu khawatir. Dokter juga bilang begitu."

Pemuda itu mengangguk. "Maafin aku, ya, Yah. Sekali lagi aku minta maaf."

Jamal menghela napas dan mengeluarkannya, membuat suara dengan itu. "Kalau minta maaf jangan ke Ayah. Yang sakit Bunda, minta maaf ke Bunda." Dia mengamati wajah Jevano yang sendu itu. Lalu dengan gemas dia mengusak rambutnya. "Anak Ayah jangan gengsi kalau mau minta maaf."

"Ayah! Rambutku udah ditata ini. Berantakan, loh." Jevano sibuk mengembalikan tatanan rambutnya. Pundaknya semakin dipeluk erat orang ayahnya.

"Janji nanti minta maaf ke Bunda."

Bibir Jevano mengerut. "Iya. Iya. Aku juga tahu kalau aku salah."

Jamal mengangguk. Dia menghentikan langkahnya saat anak tangga yang mereka turuni habis. Dia memegang lengan atas Jevano dan menghadapkan anaknya kepadanya. "Jev, Ayah harap kamu paham bagaimana kamu harus bersikap sekarang. Kehidupan kita akan berbeda untuk ke depannya. Kamu harus cepat belajar lingkungan baru ini agar kamu bisa menentukan langkah."

Mata Jevano menyipit. Kenapa ayahnya tiba-tiba berbicara serius dengannya? Dia menatap ayahnya, aneh. "Kita enggak lagi masuk ke keluarga mafia, kan, Yah?"

Jamal langsung menampar lengan atas anaknya. "Ngawur! Pikirannya game sama novel melulu. Habis ini kamu masuk sekolah. Liburannya sudah hampir selesai."

Pemuda itu cemberut. "Habisnya Ayah kasih nasihatnya serius amat. Udah kayak adegan film Mission Impossible aja."

"Kalau gitu Ayah jadi Tom Cruise-nya, sih. Kebetulan Ayah juga ganteng." Jamal bergaya dengan menggosok telunjuk dan ibu jarinya ke dagu.

Bibir Jevano memincing, menatap ayahnya dengan pengingkaran. "Ih, pede amat, Pak. Bahkan upilnya Ayah sama Tom Cruise aja beda."

Jamal menarik anaknya dan langsung memitingnya. "Bilang apa? Coba bilang lagi yang tadi."

Jevano berusaha melepaskan diri namun sia-sia. Dia menepuk-nepuk lengan ayahnya agar dilepaskan. "Ampun, Yah. Plis, ampun. Engap ini. Sakit banget, enggak bisa napas."

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang