15. Mau Melambai ke Kamera

677 42 0
                                    

Gemericik air di kamar mandi masih terdengar jelas. Belum ada tanda-tanda dari orang yang sedang membersihkan tubuhnya itu untuk segera keluar dari sana. Sekitar lima belas menit berlalu dan pemuda yang sudah puas menyegarkan badannya itu keluar dengan celana tiga perempat tanpa baju atasan. Rambutnya basah dan dia tutupi dengan handuk yang tersampir di kepalanya.

"Astaga, Ayah!" Jevano hampir terpeleset ke belakang saat melihat ada sosok pria yang duduk di kasur, menghadap langsung ke pintu kamar mandi. Lampu kamarnya juga belum dinyalakan, membuat penerangan di kamarnya menjadi sangat temaram, hanya ada cahaya bulan. Sudah seperti adegan film horor thriller saja.

Pemuda itu menyentuh dadanya, merasakan detak jantung yang semakin cepat memacu karena kejadian barusan. Pacuan itu semakin kuat saat otaknya yang sangat pintar itu dengan setia menyegarkan memori tentang ayahnya. Huft, mungkin ini saatnya dia mendapatkan pelajaran kedislipinan dari ayahnya.

"Ada apa, Ayah?" tanya Jevano mendekat ke pria tersebut. Dia menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum akhirnya duduk di sebelah ayahnya.

Jamal mengikuti setiap gerak gerik Jevano dari depan kamar mandi sampai menundukkan kepala di sampingnya. Dia tersenyum dalam hati melihat tingkah sang anak yang gemas itu. Ya, walaupun itu seperti berbanding terbalik dengan otot lengan, punggung, dan perut pemuda tersebut. Dia pun menyentuh tubuh anaknya yang belum mengenakan pakaian.

"Waaahhh, pamer hasil memanfaatkan fasilitas rumah dengan baik, nih?" Di sela kesibukannya dengan data perusahaan dan pekerjaan, dia tidak lupa untuk memantau kegiatan anaknya. Sudah menjadi kebiasaan juga untuk mengetahui apa yang dikerjakan anaknya sehari-hari. Dia tidak ingin lepas kontrol terhadap anak semata wayangnya ini.

Jevano hanya terkikik pelan, malu-malu. Dapat dipastikan bahwa matanya ikut tersenyum. Dia memang menggunakan ruang gym setiap dia lelah membaca. Kakeknya juga pernah menelpon ayahnya untuk mengatakan hal tersebut, untuk memanfaatkan fasilitas rumah besar itu dengan sebaik mungkin. Pemuda ini pun harus menurut bukan? Oke, senyum mata ala Jevano.

Tangan Jamal berpindah dari perut anaknya ke kepala pemuda itu yang sedang menunduk. Dia menghela napas sebelum mengutarakan maksudnya ke sini.

"Maaf, Ayah. Jevano enggak tahu kalau yang dihabiskan Bunda untuk kebutuhan Jevano bisa sampai segitu banyak. Jevano tadi berusaha buat beli yang murah tapi ... enggak bisa karena Bunda pilihin yang bagus, yang mahal." Jevano mengungkapkan rasa bersalahnya kepada sang ayah. Bahkan sebelum ayahnya memulai berbicara. Dia sudah tahu alasan ayahnya ke kamarnya.

Jamal terkekeh pelan dan langsung memeluk anaknya. Suara tawanya terdengar berat ala bapak-bapak ganteng. Dia menepuk-nepuk punggung atas anaknya. Ada rasa bangga dengan kepekaan yang dimiliki anaknya ini.

"Ayah enggak mau menyalahkan kamu, Jevano." Dia melepaskan pelukannya di badan anaknya yang sudah wangi itu. Dia mengacak rambut basah Jevano lalu mengelus pipinya. "Ayah cuma mau mengingatkan aja. Setelah kamu mendapatkan semua ini dengan sangat mudah ...."

"Jevano harus melakukan yang terbaik untuk Bunda agar enggak mengecewakan Bunda karena udah memberikan Jevano semua ini." Jevano meneruskan ucapan ayahnya.

Jamal mengangguk. "Pinter. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk membalas semua kebaikan yang Bunda kasih ke kamu. Sebagai rasa terima kasih, juga sebagai usaha kita untuk menjaga harga diri kita. Paham?"

Jevano mengangguk. Ayahnya selalu mengatakan hal tersebut setiap kali dia berterima kasih dan berjanji akan membalas dengan suatu hari nanti. "Mengganti kebaikan seseorang karena rasa terima kasih memang tidak salah. Akan tetapi, kamu bisa melakukan hal lain untuk membalas budi orang lain dengan berusaha memanfaatkannya dengan baik."

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang