Lima murid baru itu berdiri mengelilingi salah satu meja kantin kelas sepuluh. Mereka menatap tak percaya ke berbagai hidangan yang tertata rapi di sana. Macam makanannya memang tidak aneh-aneh. Ada nasi goreng seafood, nugget, sosis, rica daging dan buah-buahan yang telah dipotong rapi di wadah.
"Ini kantin sekolah atau restoran, sih?" Haikal menyiku lengan Jevano. "Lo gak salah dapet bekal beginian dari orang tua?"
"Gue juga enggak tahu," jawab Jevano singkat.
"Tapi kenapa kamu panggil kita dah?" Rani bersendekap. Masalahnya, dia tidak kenal dengan dua orang yang ada di hadapannya saat ini.
"Karena kalian yang aku kenal. Kalian juga udah bantu aku, jadi ... ya, beginilah." Jevano mengatakan apa adanya.
Rani menghela napas dalam. "Ya, udah. Terlanjur bareng juga. Aku Maharani. Panggil aja Rani. Kita belum kenalan, kan?" Supel sekali gadis mungil satu ini.
"Aku Arina." Gadis dengan jepit rambut di sebelah Haikal itu menyuguhkan senyum ramahnya.
"Haikal."
"Syahid."
"Jevano."
"Kamu enggak usah, ya. Kamu aja yang bikin kita ke sini." Rani tak segan menyolot dan blak-blakan. Jiwa bebasnya memang seperti itu.
Jevano hanya menyengir.
"Gue suka gaya lo." Haikal mengacungkan telunjuk ke Rani dan dibalas dengan tanda oke jemari gadis itu.
"Jadi, makan siang eksklusif, nih?" tanya Haikal lagi.
"Hmm, anggap aja awal yang menyenangkan. Meskipun yang lebih awal lagi pembukaannya karena utang kebab." Rani membuka kartu.
Jevano langsung melotot ke arah gadis yang sedang tertawa kesenangan karena berhasil menggodanya. Syahid hanya tersenyum.
"Maksud?" Dahi Haikal mengerut.
"Udah. Gak usah dibahas." Syahid menengahi. Dia mengambil sendok tanpa menunggu yang lain.
Muka Jevano sudah memerah karena malu. Dia hanya diam dan mengikuti Syahid. "Ayo makan," finalnya. Semuanya pun mengambil sendok dan bersiap untuk menikmati hidangan.
Arina yang sedari tadi tidak berbicara, menatap Jevano dengan intens selama beberapa saat. Tatapannya datar, hampir tidak menyiratkan apa-apa. Dia langsung memalingkan pandangannya ketika lelaki yang dipandangi hendak membalas tatapannya.
"Kamu tadi habis penyambutan ke kantin, Jev?" tanya Arina di sela-sela menikmati nugget.
Jevano terdiam sejenak, lalu mengangguk.
"Bilangnya ke kamar kecil, tahunya ke kantin." Haikal menimpali.
Jevano hanya tersenyum miring sedikit, hampir tidak terlihat. Syahid dan Rani yang tadi bertemu Jevano di kantin hanya diam dan menyimak.
"Lain kali jujur aja kalau mau ke kantin. Emang kita baru kenal, sih. Tapi, gue sama Arina juga enggak bakalan gampang judge lo yang aneh-aneh. Manusia butuh makan kali." Haikal mencomot rica daging yang terasa pedas itu.
"Kalian berdua juga tadi yang hakimi gue, ya." Jevano mencoba mengingatkan kejadian tadi pagi. Haikal ini amnesia atau bagaimana.
"Ya, itu, kan, soalnya ada bukti lo ngikutin si Arina. Mekanya gue konfirmasi biar jelas."
"Iya, juga, sih." Jevano mengangguk dan mengambil sosis yang tinggal satu.
"What? Lo buntutin si Arina? Di hari pertama sekolah? Hmm, selera lo tinggi juga." Rani mengomentari. Kalau dilihat, Arina memang terlihat bukan gadis sembarangan. Dia yakin kalau gadis itu berasal dari keluarga berada. Tampak dari barang-barang yang digunakannya. Tas, gelang, sepatu, kalung, bahkan jepit rambut yang dikenakan oleh gadis itu penuh dengan brand Perancis terkenal. Cocoklah dengan wajah cantik ala blasteran baratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Istri Duda
Чиклит(Follow me first, ya, guys! Makasih) Karena terus disuruh kencan buta oleh sang ibu, Juwita Anggari Hidayat akhirnya memilih untuk menikah dengan duda anak satu, Jamal Antonio Ruhan, yang telah menolongnya dari para lelaki nakal di jalanan. Hal itu...