Mobil putih itu berhenti di garasi rumah. Mesinnya sudah mati total dan dengan otomatis kunci pintu terbuka. Hawa dingin dari air conditoner sudah tidak berhembus lagi. Menambah gerah lelaki yang masih terduduk di bangku penumpang depan itu.
"Enggak turun, Jev?" tanya Juwita, merasa ada yang aneh dengan anaknya.
Jevano hanya melihat sejenak ke bundanya dan mengangguk. Tidak ada lagi wajah terkekeh ataupun senyuman yang bersahabat seperti tadi. Pemuda itu kembali dengan wajah lempengnya yang lebih mirip triplek ganteng. Harap jangan lupakan fakta bahwa dia adalah anak dari Jamal yang tampan.
Ibu dan anak sambung itu turun dari kendaraan dan menuju ke bagasi. Sudah ada dua pelayan mereka yang menunggu. Awalnya Jevano heran, kenapa ada dua orang yang mendatangi mereka dan berdiri di belakang mobil. Pertanyaannya pun terjawab saat Juwita membuka pintu bagasi. Dua pelayan itu dengan segera mengambil barang-barang belanjaan mereka, akan membawakannya masuk ke rumah.
"Tolong taruh di ruang tamu atau ruang tengah dulu aja semuanya." Juwita menginstruksi. "Eh, gak papa, kan, Jevano? Biar Ayah lihat juga."
Jevano menelan ludah susah payah saat ayahnya disebut. Itu bahkan yang ingin dia hindari. Astaga, dia kurang bergerak cepat. Seharusnya dia sendiri saja yang mebawa semuanya dan menyembunyikannya dari sang ayah. Alamat kalau sudah begini, dia harus benar-benar menyiapkan telinganya.
Di sepanjang jalan yang ditempuh untuk masuk ke ruang tengah, Jevano merapal berbagai doa untuk keselamatan jiwa dan raganya. Baiklah, ini memang sangat berlebihan, tapi ini juga KENYATAAN.
Nafas Jevano hampir tidak bisa ditarik lagi dengan baik. Bahkan untuk mengeluarkannya saja sulit. Lebih lagi dia disambut oleh tatapan ayahnya yang sedang melihat lurus ke arahnya setelah tertunduk dalam melihat ke atas meja. Sang ayah memang hanya berdiri di sana, di ruang tengah. Sudah tidak ada lagi tumpukan kertas kerjaan di sekeliling ayahnya. Semuanya sudah tergantikan dengan berbagai barang yang dia beli bersama bundanya tadi.
Aura mencekam dari ayahnya sudah menyebar ke seluruh rumah dan membuatnya sulit melanjutkan langkah. Sebisa mungkin dia menyembunyikan dirinya di belakang sang bunda meskipun mereka berjarak tiga langkah. Yang penting, kalau bisa dia tidak terlihat oleh ayahnya. Ini bahaya.
"Sudah pulang?" Jamal menyapa. Senyumannya lebar sangat terasa hangat menyambut dua anggota keluarga kecilnya. Dia mengulurkan tangannya ke arah Juwita dan disambut oleh wanita itu dengan genggaman dan rangkulan di lengannya.
"Iya." Juwita mendesah, melepaskan lelah. "Lumayan capek juga setelah lama enggak jalan-jalan." Dia bergelayut di tangan suaminya dan berdiri di samping pria itu.
Kalau begini tidak ada lagi tempat sembunyi untuk Jevano. Dia juga ikutan mendekat dan berada di dalam jajaran sofa yang membentuk setengah lingkaran menghadap ke televisi. Dia menatap was-was ke arah ayahnya yang masih bertukar senyum manja dengan sang bunda. Percintaan orang tuanya bukan yang utama baginya sekarang. Tapi, apa yang akan ayahnya katakan adalah masalah baginya meskipun dia tidak tahu apa itu. Entah, firasatnya buruk sekali.
"Beli apa aja?" tanya Jamal lalu berterima kasih kepada para pelayan yang telah membawakan barang belian anak dan istrinya. Cukup banyak dan memenuhi meja ruang tengah.
Juwita yang sedang memeluk lengan sang suami, sedikit mendongak. "Beli kebutuhan Jevano doang, sih. Aku lupa mau belanja bahan makanan untuk rumah kita. Tapi, bisa dipending, sih. Lagian masih dua hari lagi sebelum kita pindah dan sibuk dengan kewajiban masing-masing."
Jamal mengangguk-angguk. Dia melihat-lihat barang belian itu. Tangannya membuka tas belanjaan dan menemukan setumpuk baju. "Beli baju juga ternyata."
"Cocok banget buat Jevano, Mas. Coba lihat, deh." Juwita sangat antusias dan segera melepaskan genggaman tangannya untuk mengambil satu kemeja yang dia pilih tadi. "Sini, deh, Jev. Kasih lihat ke Ayah kalau kamu tambah ganteng pakai ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Istri Duda
Chick-Lit(Follow me first, ya, guys! Makasih) Karena terus disuruh kencan buta oleh sang ibu, Juwita Anggari Hidayat akhirnya memilih untuk menikah dengan duda anak satu, Jamal Antonio Ruhan, yang telah menolongnya dari para lelaki nakal di jalanan. Hal itu...