16. Pasangan Bucin dan Jevano Jomlo

901 41 2
                                    

Tuan dan Nyonya Anggari pulang ke rumah. Saat itu, Jevano sedang membaca di perpustakaan kakeknya dengan sangat serius. Dia sampai tidak tahu bahwa kakek dan neneknya sudah kembali.

"Jevano!" Sapaan riang Tuan Anggari itu membuat Jevano kaget dan langsung berdiri dari duduknya. Tubuhnya serasa kaku, seperti maling terpergok warga. Dia pun lega saat melihat wajah senyum kakeknya di ambang pintu. Pria paruh baya itu membentangkan kedua tangannya.

Jevano ikut tersenyum. "Kakek." Dia melangkah mendekat ke kakeknya dan mengijabahi ajakan pelukan pria tersebut.

"Astaga, Kakek tinggal berapa lama di sini dan kamu sudah berisi." Tuan Anggari menepuk pundak dan punggung cucunya, merasakan otot pemuda itu yang semakin kencang dan bervolume.

Jevano hanya bisa terkekeh malu. Di balik pelukan kakeknya, dia bisa melihat sang nenek yang baru saja datang. "Nenek," sapanya sopan.

Tuan Anggari melepaskan pelukannya dan menoleh ke belakang. Ternyata sang istrinya sudah ada di sana. "Gimana? Juwita di mana?"

"Enggak tahu. Udah aku cari tapi enggak ketemu." Nyonya Anggari terlihat kesal.

Jevano pun mendekati wanita itu dan menyalaminya. Kemudian dia dipeluk dengan hangat.

"Sehat, Jev?" tanya sang nenek.

Jevano memberikan dua senyuman, di bibir dan di mata. "Sehat, Nek. Nenek gimana?" tanyanya balik

"Sehat dong. Apalagi habis refreshing." Tuan Anggari mengedipkan sebelah matanya dan mendapatkan pukulan di bahu dari sang istri.

"Ayah sama Bunda kamu di mana, Jev?" Nyonya Anggari memasuki perpustakaan dan diikutin oleh dua lelaki itu.

"Tadi Bunda katanya mau jahit. Kalau Ayah, mungkin di ruang kerjanya Kakek."

Tuan Anggari senyum-senyum sendiri. "Oh, kirain lagi ngapain mereka berdua. Kok sepi banget." Lagi-lagi pria itu mendapatkan timpukan dari istrinya.

"Hush, apa, sih, Pa. Ada Jevano juga."

Jevano hanya diam. Tidak mungkin juga dia merespon pembicaraan kakek neneknya. Reputasi anak baik dan polosnya dipertaruhkan.

Mereka bertiga duduk di sofa nyaman di tengah perpustakaan yang luas itu. Mereka dikelilingi rak dari kayu eksklusif yang berisikan jajaran buku yang tertata rapi.

Tuan Anggari duduk di samping istrinya. Jevano duduk di hadapan mereka.

"Habis ini kamu pindah ke rumah baru, ya?" tanya Tuan Anggari memastikan.

"Katanya Ayah begitu." Jevano menjawab dengan sopan. Duduknya pun tegap.

"Kamu enggak mau tinggal di sini aja sama Kakek sama Nenek? Kamu setiap hari bisa baca di sini, loh." Tuan Anggari mencoba untuk membujuk cucunya agar tinggal bersamanya. "Baru aja kita ketemu kemarin cuma makan pagi tapi langsung pisah berhari-hari. Kakek juga pengin serumah sama kamu, Jev. Ngerasain punya cucu."

"Jevano ikut apa yang dikatakan Ayah aja, Kek. Enggak berani kalau putisin sendiri."

"Lagi pula habis ini Jevano juga udah masuk sekolah, Pa. Sama aja nanti kamu enggak ketemu sama Jevano juga di rumah. Inget, kerjaan juga masih banyak." Nyonya Anggari menegur. Tangannya bertautan dengan milik sang suami.

Punggung Tuan Anggari menyandar. Dia mendengkus. "Ah, kerja lagi. Untung ada menantu kamu, Ma. Habis ini kayaknya aku bakalan pensiun aja. Udah bosen kerja aku. Mending aku olah raga aja setiap hari. Sepedaan sama Jevano. Iya, enggak, Jev?"

Jevano hanya bisa tersenyum manis dengan matanya. Dia bingung mau menjawab apa.

"Ajari dulu ayahnya Jevano sampai bisa dilepas di perusahaan." Nyonya Anggari menepuk punggung tangan suaminya.

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang