Dentingan alat makan terdengar samar dan sesekali memenuhi ruang keheningan. Keluarga kecil itu masih menikmati nasi goreng seafood karya kolaborasi itu. Jamal dan Jevano tampak khusyuk dengan isi piring mereka, menyisakan Juwita yang memutar otak untuk mencari topik pembicaraan yang bisa memecah kesunyian di antara mereka.
"Jev," panggil wanita itu kepada anaknya. Jevano hanya menggumam sambil mengunyah makanannya. "Akhir pekan mau ngapain?"
Anaknya hanya mengedikkan bahu. Seperti tidak tertarik dengan tema yang dipilih bundanya.
"Kamu enggak ada janji sama temen kamu di sekolah atau apa gitu?"
Jevano menggeleng. "Baru juga masuk sekolah." Dingin dan datar. Seperti Jevano biasanya.
Juwita melipat bibirnya. Dia ragu akan meneruskan percakapan ini.
"Dia orangnya agak nerd, sih, sebenernya." Jamal menyahuti, tampak menggoda sekaligus mencairkan suasana.
Jevano mengangkat pandangannya dan menatap ayahnya tajam. "Aku enggak nerd, ya." Tidak terima dia.
Jamal memajukan bibir bawahnya. "Masa?" Wajah mengejeknya sangat menyebalkan di mata Jevano.
"Terserah Ayah ajalah. Sebahagianya Ayah."
"Iya. Iya. Kutu buku yang sampai kutuan rambutnya." Jamal semakin gencar menjahili anaknya sendiri.
"Ih, mana ada. Rambutku bersih dan wangi, ya. Aku cuma suka baca sama belajar doang. Lagian siapa juga yang ngajarin aku buat selalu belajar?" Jevano ingin membalik keadaan.
"Orang yang paling peduli sama anaknya. Orang hebat yang ingin anaknya jauh lebih hebat lagi. Sama satu lagi, orang yang ingin anaknya enggak menyesal di kemudian hari." Lalu Jamal menjulurkan lidahnya. Dia tahu Jevano lemah terhadap perhatian yang seperti itu.
Benar saja Jevano jadi terdiam dan tidak membalas ayahnya lagi. Dia hanya menunjukkan wajah manyunnya. Dia bahkan tidak bisa menyembunyikan dirinya yang sedang tersipu. Suapanlah yang menjadi pengalihan.
Jamal mengusak rambut Jevano gemas. Tidak terasa anaknya sudah tumbuh sebesar ini. Perasaan baru kemarin Jevano masih mengenyut ibu jari dalam gendongannya. Kini anak itu sudah bisa membuatnya bangga bahkan sudah berkali-kali.
Hati Juwita menghangat. Perasaan senang menjalar di sekujur tubuhnya saat melihat interaksi antara anak dan suaminya. Menggemaskan sekali.
"Jadi, akhir pekan kamu cuma mau di rumah aja, nih?" tanya Juwita lagi.
Jevano memandang Juwita sejenak. Raut mukanya berubah seketika. Lalu, dia mengangguk kecil. Sangat berbeda sekali reaksinya.
Cukup menusuk, tapi Juwita mengabaikannya. Dia tidak boleh terbawa perasaan di tengah suasana harmonis yang barusan tersusun di antara mereka. Ini akan merusak usahanya untuk lebih dekat dengan Jevano.
"Hmm. Oke." Juwita mengangguk. Di dalam bayangannya, dia sudah menyusun rencana agar bisa lebih dekat lagi dengan Jevano. Dia tersenyum optimis. Ada banyak hal yang bisa dia lakukan di akhir pekan bersama Jevano. Mungkin dia akan mengajak anaknya jalan-jalan atau menemaninya belajar. Ah, dia jadi tidak sabar memghabiskan waktu dengan anak manis itu.
Kening Jevano mengerut, melihat bundanya seperti itu. Sedangkan Jamal, dia hanya memandang santai interaksi dua anggota keluarga kecilnya dan menikmati makanan di piring yang belum habis dengan tampan.
Makan malam mereka selesai dengan damai. Jevano membereskan semuanya dan hendak mencuci piring, sudah menjadi kebiasaannya untuk membersihkan peralatan setelah makan. Akan tetapi Juwita menghalangi dan memintanya. Mau tidak mau, dia melepaskannya begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Istri Duda
أدب نسائي(Follow me first, ya, guys! Makasih) Karena terus disuruh kencan buta oleh sang ibu, Juwita Anggari Hidayat akhirnya memilih untuk menikah dengan duda anak satu, Jamal Antonio Ruhan, yang telah menolongnya dari para lelaki nakal di jalanan. Hal itu...