Acara sarapan di rumah utama keluarga Anggari selesai. Jamal langsung dilambai oleh mertuanya untuk mengikuti ke lantai dua. Tuan Anggari membawanya ke ruang kerja yang ada di rumah tersebut.
Sepanjang langkahnya menuju ruangan itu, Jamal menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh Tuan Anggari dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak boleh salah atau paling tidak, dia tidak boleh terlihat kikuk di depan papa istrinya. Dia harus terlihat mempunyai wibawa meskipun tidak sempurna dan masih menjaga kerendahan hati.
Tuan Anggari mempersilakannya masuk. Lalu, dia yang menutup pintu ruang kerja itu.
"Santai saja. Saya tidak akan menginterogasi kamu, Jamal." Tuan Anggari menepuk pundak Jamal dan tersenyum. Dia melangkah ke dekat jendela.
Jamal mengikuti langkah mertuanya dan tetap menjaga jaraknya, sekitar tiga langkah di belakang. "Ada keperluan apa, sekiranya saya dipanggil ke sini ... Pak?"
Tuan Anggari terkekeh sambil berbalik badan ke belakang. "Panggil saya Papa, Jamal. Ingat, kamu sudah menjadi menantu saya."
"Baik, Pa," ucapnya patuh.
Tuan Anggari menatap Jamal dengan posisi lurus berhadapan. Membuat sang menantu tertegun di tempat. Lalu, dia mengulaskan senyuman teduh, tahu jika menantunya sedang tegang. "Rileks, Jamal. Saya tidak akan mempermasalahkan pernikahan kalian berdua. Well, itu adalah masalah kalian dan kalian sendiri yang menyetujuinya. Saya mengajak kamu kemari untuk menawarkan pekerjaan sekaligus melatih kami untuk menduduki tempat yang telah saya siapkan di perusahaan keluarga kami."
Tuan Anggari kembali terkekeh melihat menantunya yang tetap membisu. "Ya, mungkin sekarang kamu berpikir bahwa saya memeriksa latar belakang kamu, bagaimana kehidupan kamu, bagaimana kinerja kamu, di mana kamu tinggal, dari mana kamu berasal dan lain sebagainya. Kalau kamu memang berpikir begitu, berarti kamu benar." Senyumannya tetap terpatri di bibirnya.
Jamal menelan ludah. Ternyata dia sedang menghadapi orang sekaligus pemimpin dari keluarga yang tidak main-main.
"Jangan terkejut, Jamal. Saya tidak akan mungkin merelakan anak gadis saya satu-satunya kepada sembarang orang. Paling tidak saya harus mengecek bagaimana kamu hidup selama ini. Dan ternyata ...," ucapan Tuan Anggari menggantung saat dia membuat gestur mengangkat pundak beserta tangannya setara siku. "Kamu bersih dan kinerjamu baik. Saya yakin juga Juwita tidak akan memilih pria yang tidak bertanggung jawab."
"Yah, awalnya sulit percaya bahwa anak saya bisa memilih kamu sebagai suami, mengingat Juwita itu anaknya sangat suka memilih dan malah hampir perfeksionis. Bahkan, dia sebelum ini bilang bahwa dia tidak ingin menikah. Mamanya sampai pusing." Mengingatnya, Tuan Anggari menggelengkan kepala.
"Tapi, apa yang sekarang terjadi? Seorang Jamal bisa membuat Juwita membuka hati. Bahkan tanpa memandang status sosial atau statusmu sebagai Duda."
Jamal menunduk. Dia merasa tidak enak. Dia juga sadar diri bahwa dia bukan dari kalangan menengah ke atas. Ah, tidak. Keluarga Anggari malah sudah di atas. "Maafkan saya, Pa."
"Oh, tidak. Tidak, Jamal. Jangan berkecil hati dan jangan pernah merasa rendah. Aku tidak mempermasalahkan itu sama sekali." Tuan Anggari mendekati menantunya dan menepuk pundak pria itu. "Saya yakin kamu pasti mempunyai banyak cerita yang kamu simpan. Saat saya tahu bahwa kamu adalah seorang duda dan telah memiliki anak satu sebesar Jevano sekarang, kamu pasti telah melewati banyak hal dalam hidupmu. Saya menghargai itu."
Kedua telapak tangan Tuan Anggari bertumpu di bahu Jamal. "Jamal, lihat saya."
Jamal menurut. Dia mengangkat wajahnya dan mendapati kedua sorot mata mertuanya sangat tegas dan sungguh-sungguh, namun teduh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Istri Duda
ChickLit(Follow me first, ya, guys! Makasih) Karena terus disuruh kencan buta oleh sang ibu, Juwita Anggari Hidayat akhirnya memilih untuk menikah dengan duda anak satu, Jamal Antonio Ruhan, yang telah menolongnya dari para lelaki nakal di jalanan. Hal itu...