20. Kawan Baru

792 46 6
                                    

Jevano menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia berusaha mencari petunjuk yang bisa dia gunakan untuk pergi ke jalur yang benar untuk murid baru sepertinya. Tidak mungkin jika dia harus bertanya kepada para murid yang lebih tua darinya. Sebenarnya bukan tidak mungkin, dia terlalu malu saja untuk bertanya. Makanya, Jev, kamu tersesat di jalan.

Seketika pandangan lelaki itu menangkap seseorang yang menggunakan seragam yang sama dengannya. Seperti mendapatkan hidayah dari surga, langkah kakinya langsung mengikuti arah orang tersebut. Dia tetap menjaga jarak antara dirinya dan orang tersebut. Bagaimana pun harga dirinya juga harus dijaga karena yang dia ikuti bukanlah seorang yang memakai celana sepertinya. Dia berambut panjang di bawah bahu dan memakai rok. Ah, ternyata seperti itu gaya seragam biru abu-abu untuk perempuan. Baru kali ini Jevano melihatnya.

Tenggelam dalam pikiran sejenaknya, Jevano kehilangan jejak gadis yang dia jadikan patokan jalan itu. Dia pun celingukan dan mendapati gadis itu berjalan cepat ke jalan setapak di tengak halaman yang dipenuhi rumput hijau sebelah kanan. Dengan segera dia mengikutinya lagi. Dia tidak ingin tersesat lagi.

Akan tetapi nahas, Jevano benar-benar kehilangan jejak gadis itu. Dia celingukan lagi. Sial. Benar-benar sial. Dia tidak tahu ini di mana. Dia malah ada di tempat asing juga sepi, seperti di belakang sebuah bangunan. Tapi, dia juga tidak tahu, gedung apa ini.

"Ini orangnya?" Suatu suara membuat Jevano mencari dari mana asalnya. Seorang lelaki keluar dari tembok samping bangunan tersebut. Di belakangnya ada gadis yang dia ikuti tadi. Jevano berusaha mengontrol ekspresi wajah terkejutnya. Dia menatap balik lelaki yang sedang memandangnya tajam dan garang. "Ngapain lo ngikutin dia? Lo mau apa, hah?"

Jevano mengernyitkan dahinya. Dia melihat ke gadis itu menyembunyikan diri di balik si lelaki yang menurutnya agak sok hero ini. Dia melihat lelaki tersebut dari atas sampai bawah. Warna seragamnya sama dengan miliknya. Berarti sama-sama murid baru, kan? Dengan leluasan dan lega, Jevano menerbitkan senyuman memicing yang sangat samar. "Gue enggak mau apa-apa. Gue cuma jalan." Suaranya dingin.

Mendengar jawaban dari Jevano, lelaki tersebut menoleh ke arah gadis yang berdiri di belakangnya. "Lo gak salah orang, kan?"

Gadis itu menggeleng. "Enggak. Aku yakin, kok, enggak salah. Buktinya, dia juga ke sini." Dia menggenggam lengan bawah lelaki yang dia buat tameng itu. Ada perasaan sedikit takut saat mendengar suara Jevano yang sangat datar tadi.

"Oke. Kalau lo enggak mau apa-apa, kenapa lo ngikutin cewek ini?" tanya lelaki 'sok hero' itu. "Dia bilang kalau tadi ada yang buntutin dia. Enggak mungkin, dong, lo enggak punya motif apa-apa. Dia aja sampai risih karena diikuti sama lo. Mendingan lo jujur aja biar enggak ada kesalahpahaman."

Jevano menatap lurus lelaki itu. Dia agak ragu untuk mengaku. Ah, akan tidak cool lagi kalau dia membeberkan fakta bahwa dirinya tersesat. Tapi, baiklah, dari pada dia disangka yang tidak-tidak. "Gue gak tahu ruang aula buat pertemuan anak baru di mana. Jadi, gue ikutin dia." Baiklah, dia harus tetap stay cool.

Lelaki itu mengernyitkan dahi lantas tertawa lepas. "Sumpah lo? Cuma itu doang?" tanyanya yang diangguki oleh Jevano. Dia menggenggam tangan gadis itu dan membawanya untuk berdiri sejajar. "See? Cuma perasaan kamu aja, Rin."

Gadis itu menunduk. Wajahnya terlihat murung sekaligus manyun. Pipinya jadi kemerahan menahan malu. "Maaf," cicitnya.

Jevano hanya melihat itu dengan datar. Dia bahkan tidak menjawab permintamaafan gadis tersebut.

"Oke. Karena udah clear, gimana kalau sekalian kenalan aja. Lo anak baru juga, kan? Kenalin, gue Haikal." Lelaki itu mengulurkan tangannya.

Jevano menyambut tangan tersebut setelah melihat pin nama di dada sebelah kiri lelaki itu. Dia mengangguk. "Gue Jevano."

Jadi Istri DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang