Fano termenung, merasakan pelukan yang penuh kasih dari orang-orang yang kini mengaku sebagai keluarganya. Ini adalah hal yang sangat ia inginkan selama bertahun-tahun-perasaan diterima, dihargai, dan dicintai. Namun, ada satu hal yang masih membingungkan dan mengganggu pikirannya.
"Kalian keluarga gua, kan?" tanya Fano ragu, matanya mencari-cari kejelasan di antara wajah-wajah yang penuh kasih sayang itu.
Stevan, ayahnya, menatapnya dengan lembut. "Wajahmu kenapa seperti tidak percaya akan semua ini, nak?" ucapnya, penuh kekhawatiran.
Fano menunduk, menyadari betapa sulitnya menerima kenyataan ini. "Gua tahu cuma anak sebatang kara di dunia ini," ucapnya, suaranya penuh kegetiran. Ia tidak pernah berharap akan menemukan keluarga seperti ini. Perasaan cemas dan ragu menguasai dirinya. Ia baru saja terkejut dengan ucapan dokter mengenai kecocokan DNA dengan Stevan. Rasanya terlalu banyak untuk diterima dalam satu waktu.
"Gua butuh waktu sendiri," ujar Fano, akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri sejenak.
Lusiana, ibunya, tampak terkejut mendengar kata-kata Fano. Ia merasa cemas, takut kehilangan putra bungsunya lagi. "Jangan pergi lagi dek," ucap Lusiana, suara penuh permohonan.
Fano mengangguk pelan, namun wajahnya menunjukkan keteguhan. "Gua butuh waktu mencerna ini semua. Lusa gua akan memberitahu keputusan sama kalian. Selama itu jangan dekati gua," ucapnya tegas, sebelum berbalik pergi meninggalkan mereka.
Dia berjalan tanpa arah, menyusuri jalanan dengan pikiran yang berkecamuk. Fano merasa bingung dan terombang-ambing, antara menerima kenyataan bahwa ia memiliki keluarga yang menginginkannya dan mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah ia sedang mencari jawaban atas kebingungannya yang semakin dalam.
Fano sudah lama akrab dengan sebagian pengemudi bus dan angkot karena kebiasaannya berkeliling saat mengamen. Dari sana, Fano mendapatkan banyak pelajaran hidup yang keras. Setiap perjalanan memberi cerita baru yang membuatnya semakin terbiasa menghadapi kerasnya kehidupan.
"Kau kenapa, Fano?" tanya Ucok, supir bus yang sering mengangkut Fano, dengan logat Bataknya yang kental.
"Gua bingung, bang," jawab Fano, matanya kosong menatap ke luar jendela bus yang berjalan pelan di tengah kota.
"Tumben sekali kau bingung, biasanya juga senang aja tuh muka," kata Ucok sambil tertawa kecil, menyadari bahwa Fano jarang terlihat ragu.
"Hari ini gua ketemu sama sebuah keluarga. Mereka ngaku keluarga kandung gua, bang," ucap Fano, matanya masih kosong namun ada kegelisahan yang mulai terlihat.
"Bah! Benarkah?!" Ucok terkejut mendengar cerita Fano.
"Tes DNA menunjukkan cocok 99%, bang," jawab Fano pelan.
"Lalu kenapa kau malah kabur, Fano?" tanya Ucok, masih heran melihat sikap Fano yang tidak biasa.
"Di satu sisi gua senang, bang, tapi hati kecil gua belum bisa nerima semua ini," keluh Fano, nada suaranya penuh keraguan.
"Lu gak nerima karena apa, No?" tanya Ucok dengan serius.
"Maksud gua, selama 5 tahun kemarin mereka kemana? Gua luntang-lantung di jalanan, sakit DBD, tipes, muntaber... gak ada tuh mereka yang nongol untuk bantu gua. Sekarang mereka muncul gitu aja, seolah-olah gak bersalah sama sekali atas semua yang gua alami," keluh Fano dengan nada kesal dan kecewa.
"Itu takdir dari Tuhan, No. Jangan salahkan itu semua. Lagipula ada hikmahnya juga buat lu. Tentang kedatangan orang tua lu yang terlambat, mungkin aja keberadaan kau sengaja dihapus jejaknya oleh musuh keluargamu," ujar Ucok dengan bijaksana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stefano Mahardika (END)
Ficción GeneralStefano Mahardika, atau yang akrab disapa Fano, adalah remaja tengil yang gemar bolos sekolah dan menjalani hidup keras di jalanan. Hidup sebatang kara, ia bertahan dengan mengamen dari pagi hingga malam demi sesuap nasi dan sekedar bertahan hidup. ...