Haii??!
Nela sedang membereskan peralatan dapur bersama Kinanti, mereka berdua baru saja selesai membuat cemilan sembari menunggu waktu sore. Padahal Nela bisa saja membeli, apalagi uang pemberian suaminya melimpah ruah. Tapi karna tidak ada kerjaan, ditambah bosan, jadilah seperti ini. Dapur menjadi berantakan karna eksperimenya.
"Rasanya nggak mengecewakan, kan, Ki?" tanya Nela pada Kinanti yang kembali mencomot cilok di atas piring. Ini memang pertama kalinya mereka membuat makanan khas kota Bandung itu. Biasanya mah beli, atau menitip Bik Rumi jika keluar rumah, tapi kali ini mencoba peruntunganya sendiri. "Kacangnya agak gosong, ya?"
"Nggak papa, Mbak. Masih bisa di makan."
"Enak, ya, kamu banyak makan tapi nggak gendut. La aku." Nela menatap dirinya sendiri. Semenjak menikah ia merasa dua kali lipat lebih besar, apalagi Argan yang membebaskanya.
"Mbak Nela kan udah nikah, mau kuatir apa lagi." Kinanti meletakan panci terakhirnya yang sudh tercuci pada rak penyimpanan. "Itu tandanya Mbak Nela bahagia dan bersahaja. Nggak usah di pikirin omongan orang. Toh Pak Argan nggak masalah, malah tambah cinta, kan."
Kanela memukul pundak Kinanti dengan pipi bersemu. Bisa saja gadis kecil itu membuatnya tersanjung. Selama ini Argan memang tidak mempermasalahkan bagaiman bentuk tubuhnya, bahkan perutnya yang bergelambir seperti ketan basah pun Argan tetap suka.
Kata Argah,sih, seksi. Apalagi dada dan juga bokongnya yang besar. Selalu menjadi tempat favorit suaminya.
"La, kamu sendiri gimana?"
"Aku kenapa, Mbak?"
"Pacar." ucap Nela memperjelas. Kini mereka sudah pindah ke taman belakang, membawa serta cilok yang masih sisa beberapa. Sembari menunggu Argan pulang kantor. "Katanya kamu deket sama bos batu bara depan, bener?"
Kinanti mendengus pelan. "Bukan deket, Mbak. Kemarin, kan, aku cuma gosokin bajunya. Itupun yang suruh Teh Neneng." jelasnya. Mana bisa ia di sandingkan dengan bos batu bara yang bernama Sutan itu, memang dirinya siapa. Hanya seorang pembantu.
Niatnya kan membantu karna Teh Neneng yang sebagai pembatu di rumah itu sedang mengunjungi anaknya di pingiran kota. Sedangkan bosnya yang datang tanpa pemberitahuan tiba-tiba meminta baju ganti yang memang belum sempat Teh Neneng gosok. Akhirnya Neneng meminta bantuan Kinanti yang memang pada saat itu sedang senggang.
Tapi sepertinya niatnya di salah tangap oleh orang-orang. Apalagi Bik Rumi yang melihat dirinya dengan tetangga depan rumah majikanya itu sedang tarik-tarikan. Bukan apa, Sutan hanya ingin memberi imbalan karna Kinanti mau menggantikan Neneng menyiapkan keperluanya, tapi malah di tolak gadis itu. Jadilah terjadi adegan seperti film india.
"Kalau jadi juga nggak papa, loh. Dia kan kaya. Kata Mas Argan dia belum pernah nikah. Siapa tau jadi sama kamu. Jarang di rumah ini, lebih sering di pabriknya. Kalimantan."
"Kok pabrik, Mbak. Kan tambang. Dia kan bos batu bara."
"Lah, itu kamu udah tau. Cocok, nih. Nanti aku kasih tau Mas Argan."
"Eh, jangan, Mbak!" Kinanti berteriak panik. "Lagian nggak mungkin Pak Sutan suka saya, dia kaya banget, Mbak. Saya kan cuma pembantu."
Nela menghela nafas pelan. Ia tau kegundahan gadis itu selama ini. "Nggak ada yang anggep kamu pembantu di rumah ini, Ki. Abah juga anggep kamu sebagai anaknya. Buktinya kamu juga masuk dalam daftar warisan Abah. Tapi kamu sendiri kan yang tolak. Suruh sekolah juga nggak mau."
"Maaf, Mbak." Kinanti tertunduk malu.
Selama ini Abah Kanela memang menganggap Kinanti anaknya sendiri, bahkan nama mereka pun di miripkan. Padahal Nela juga sudah memiliki adik laki-laki, Khasan. Saat itu orang tua Kinanti yang memang bekerja merawat salah satu ladang milik keluarga Kanela merasa terbebani dengan kehadiran Kinanti yang tanpa perkiraan. Orang tuanya sempat ingin menggugurkan Kinanti saat waktu dalam kandungan, tapi Abah Nela tidak memperbolehkan. Menurut Abah anak adalah anugrah Tuhan, jadi jika orang tua Kinanti berkenan, Kinanti akan di angkat anak.
Dan bersyukurknya kedua orang tua Kinanti mengiklaskan, tapi dengan syarat Kinanti tetap tau mereka orang tua kandungnya. Abah pun menyanggupi, bahkan seluruh keperluan Kinanti Abah yang tanggung. Sayangnya saat sudah beranjak dewasa, Kinanti mulai menolak pemberian Abah. Bahkan saat akan di sekolahkan juga menolak, katanya tidak ingin merepotkan. Lalu gadis kecil itu memilih bekerja saja. Dan lagi-lagi Abah menawarkan agar Kinanti bekerja saja dengan Kanela. Menemani kakak angkatnya itu di kota.
"Kamu adikku, Ki."
"Maaf, Mbak."
"Udah, mandi sana." suruh Kanela. Ia tidak ingin kembali mendengar permintaan maaf dari adik angkatnya itu.
Kinanti mengangguk, lalu berjalan menjauh menuju kamarnya. Tidak lama suara deru mobil Argan pun menyapa pendengaran Kanela, ia dengan cepat membuka pintu untuk suami tercintanya.
"Tumben?" tanya Argan ketika melihat Nela yang membuka pintu. Hampir satu tahun mereka menikah, tapi ini pertama kalinya di bukakan pintu oleh istrinya. Biasanya Kinanti, Bik Rumi, atau dirinya sendiri. "Yang lain kemana?"
"Nggak seneng?"
"Bukan gitu, Sayang. Cuma tumben saja Kamu mau membuka pintu."
"Jadi aku nggak boleh buka pintu? Jadi kamu lebih seneng kalu aku nggak nyambut kamu pulang kerja? Gitu?"
"Kenapa marah-marah, heum?" Argan peluk Nela yang akan beranjak pergi. Istrinya itu manyun, tapi tak menolak. "tadi jadi buat ciloknya?"
"Udah, tapi nggak enak. "Nela menurut saat Argan mengiringnya untuk berjalan menuju kamar. Ia bahkan lupa akan amarahnya tadi.
"Kenapa nggk enak? Katanya mau kasih saya coba."
"Kacangnya gosong. Jadi agak pait. Tapi udah di abisin Kinanti sama aku. Bik Rumi kan belum pulang."
Argan mengangguk-angguk mengerti. Bik Rumi memang sedang pulang ke kampungnya, lusa baru kembali lagi. "Nanti saya buatkan yang enak."
"Emang bisa?"
"Bisa."
"Gimana caranya? Mas, kan, nggak bisa masak."
"Mau lihat."
Nela mengangguk semangat. Bayangan cilok yang kenyal nikmat di tambah saus kacang yang kental sangat lah nikmat. Tidak sepeti miliknya tadi yang sedikit kehitam-hitaman.
"Eehh.. Ahh.." Nela berteriak mendesah ketika putingnya malah di tarik oleh Argan. Kapan lelaki itu memasukan tanganya?
"Enak, kan?"
"Ihhh." Nela menatap argan kesal. Ia pikir lelaki itu benar-benar akan membuatkanya cilok dengan saus kacang yang enak. "Aku mau cilok saus kacang."
"Adanya telor, sosis sama saus mayo, mau?"
"Nggak."
Argan terbahak ketika melihat wajah merah Kanela, ia tau istrinya itu pasti merajuk. Lagian aneh-aneh saja, mana bisa dirinya membuat makanan yang biasa di jajakan di pinggir jalan itu, mencoba saja tidak pernah. Argan kan sekolah di tempat-tempat internasional, di tambah pendidikan stratanya di luar negeri. Mana sempat dirinya mengeksplor kuliner indonesia. Apalagi yang bersifat pinggir jalan.
"Mau bantu saya, nggak. Nanti saya belikan cilok yng enak."
"Apa?" Nela memincing, menatap Argan garang. "Nggk bohong kaya tadi lagi tapi."
"Iya. Cuma minta potongin rambut."
Nela amati rambut suaminya. Sudah rapih. Belum lama ini mereka baru ke salon, mengunting rambut lelaki itu sekalian membeli beberapa keperluan. "Apanya yang di potong, kan masih pendek."
"Yang bawah." bisik Argan.
Sorry for typo.
Luvv💜💜
Double up, tunggu maleman dikit.