Tujuh

321 36 3
                                    

Siang itu Jimin duduk di salah satu meja kedai kopi, tersenyum remeh memainkan layar ponselnya. Sedari  kemarin Yoongi masih belum mengabarinya sama sekali, bahkan hanya sebuah pesan pun tidak, jelas-jelas Jimin sudah menunjukkan kepedulian lebih dan siap bertanggung jawab tapi perempuan itu malah acuh, membuat seringaian itu terbit di bibir Jimin dengan sebuah ide di kepala, mari beri kejutan saat bertemu nanti.

Derit suara tarikan kursi di depan Jimin, Jungkook yang baru tiba kini duduk dihadapannya, sedari tadi memang ia tengah menunggunya, ia yang meminta Jungkook untuk menemuinya. 

"Aku masih marah karena seharian kemarin kau tak menghubungiku sama sekali, aku datang karena kau yang memaksa" gumam Jungkook dengan raut muka yang sengaja dibuat kesal.

Jimin meringis mendengarnya, "kau akan jauh lebih marah dengan apa yang akan aku katakan"

"Apa???" sinis Jungkook langsung.

"Bagaimana kalau pesan minum atau makanan ringan dulu?" ujar Jimin mengalihkan untuk mencairkan suasana yang semakin tegang diantara mereka.

"Tidak... Langsung saja, aku ingin dengar apa yang bisa membuatku lebih marah lagi" balas Jungkook semakin sinis.

Jimin membuang nafas pelan sebelum melanjutkan, meyakinkan diri bahwa langkah yang diambilnya kali ini memang langkah yang tepat.

Dengan satu tarikan nafas Jimin berujar "Mari akhiri hubungan kita Jungkook"

Ini dia, bom sudah dijatuhkan, tinggal menunggu reaksi si penerima.

Butuh tiga detik sampai Jungkook menjawab "Jangan bercanda"

"Tidak...Aku sangat serius" Jimin menatapnya tajam penuh keseriusan.

Jungkook bungkam. Jimin benar, dia menjadi semakin marah dari sebelumnya sampai rasanya tidak tahu harus merespon, hingga satu pertanyaan muncul dalam hati juga terucap secara lisan tanpa sadar  "Alasannya???"

Sekarang berganti Jimin yang diam, merasa tak tega melihat semburat kekecewaan di wajah Jungkook. Dia sangat menyayangi  Jungkook, dan akan selalu. Perlahan kini Jimin mengerti bahwa rasa sayangnya pada Jungkook mungkin bukanlah rasa sayang untuk seorang kekasih, melainkan untuk seorang yang sudah lama bersama layaknya saudara, dia sudah mengenal Jungkook hampir seumur hidupnya.

"Aku akan mempunyai bayi" mau tak mau Jimin tetap harus menjelaskan alasannya pada Jungkook.

Dan alasan itu jauh dari apa yang bisa di terima Jungkook, kemarahannya menguap menjadi kekecewaan yang luar biasa, membuat air matanya menetes begitu saja "Teganya... Padahal kau mengaku menyukaiku sejak lama Jimin"

Jimin tahu ia telah menjadi lelaki brengsek saat ini, dan itu tidak bisa diubah, dia hanya bisa menanggapi kalimat Jungkook dengan kediaman penuh penyesalan. Bukan menyesal karena Yoongi yang tengah mengandung anaknya tapi karena sudah menyakiti hati Jungkook, hingga hanya bisa membiarkan Jungkook pergi dengan umpatan dan makian penuh kebencian untuknya. Hubungan yang baru terjalin seumur jagung itu harus berakhir. Jimin berharap Jungkook bisa memaafkannya suatu hari nanti.








*






Di pagi berikutnya Yoongi sudah siap berangkat kerja kembali, sudah dua hari ia libur kerja karena insiden memilukan malam lalu, meski traumanya masih ada, tapi fisiknya sudah baik-baik saja, bahkan kebiasaan mual di pagi hari pun tidak datang lagi, mungkin karena resep obat dan vitamin yang diresepkan dokter yang masih rutin ia konsumsi.

Kini ia sudah benar-benar bisa menerima kehamilannya, bahkan ia rasa mulai menyayangi janin bayi yang ada di perutnya saat ini. Sedang yang belum siap ia terima yaitu perubahan sikap ayah dari bayinya, dia hanya tidak ingin berharap terlalu banyak, sejak awal  pula memang Yoongi tak meminta pertanggung jawaban dari pemuda itu, maka ia putuskan untuk mengabaikan Jimin kali ini juga.

PURPLE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang