22

19 1 0
                                    

Putra tunggal Keluarga Kim pulang setelah memperoleh libur sebentar dari studinya di Hansong. Keluarganya menyambut dengan sukacita, apalagi putri bungsu Tuan Kim yang sempat dikira shinbyeong telah sembuh sepenuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama, mereka berkumpul berempat dalam suasana yang sehangat sajian malam ini, lalu bercengkerama di ruang keluarga mengenai keseharian mereka, sesekali diselingi senda-gurau.

"Syukurlah obat salah satu tabib wanita yang Ayah panggil manjur," ungkap sulung Kim lega. "Surat-surat Ibu makin lama terkesan makin putus asa hingga aku gelisah, tetapi ternyata masih ada jalan."

"Seperti yang diharapkan dari tabib-tabib di Hansong. Bahkan para wanita penyembuh pun memiliki kemampuan yang luar biasa." Tuan Kim manggut-manggut, sementara Chaewon dan Nyonya Kwon bertukar pandang penuh rahasia. Faktanya, obat-obat yang dibawa dari jauh itu kalah ampuh dari metode penyembuhan seorang tabib Baekseonchon sendiri.

"Chaewon?"

"Ya, Kakak?" jawab si gadis mungil tergagap-gagap.

"Ayah bertanya padamu. Kau sekarang kan sudah sembuh, jadi bisa melakukan apa pun dengan bebas. Apa ada sesuatu yang ingin kaulakukan atau miliki?"

Chaewon mengerjap-ngerjap tak percaya dan berpaling pada ayahnya yang tersenyum lembut. "Apakah boleh aku meminta sesuatu? Apa pun?"

"Tentu saja. Ini merupakan ungkapan kegembiraan Ayah atas kesembuhan putri paling cantik di rumah." Tuan Kim mengusap pipi Chaewon sayang, melengkungkan senyum si gadis. Nyonya Kwon yang mengamati itu berpikir mungkin suaminya sudah sedikit berubah karena insiden ini. Berkah yang tersamar. Bukan berarti Nyonya Kwon ingin melewati peristiwa yang tidak menyenangkan itu lagi.

"Selama yang kauminta bukan Bulan atau Matahari, Ayah rasa Ayah bisa memenuhinya untukmu."

Tuan Kim tidak mengantisipasi jawaban yang Chaewon berikan kemudian dengan wajah berseri-seri.

"Aku ingin belajar pengobatan!"

Mata Nyonya Kwon membola, memperingatkan Chaewon dari seberang meja yang sayangnya tidak digubris. Semangat anak perempuannya sedang meluap-luap; gerak tubuh yang menyiratkan penolakan pasti akan luput dari perhatian Chaewon. Senyum Tuan Kim sudah menipis, tetapi kegembiraan Chaewon tidak padam sedikit juga.

"Pengobatan? Mengapa tiba-tiba kamu ingin mempelajarinya?"

"Tidak tiba-tiba, Ayah. Ini karena aku sangat kagum dengan para tabib! Saat aku diobati dan mengalami perbaikan, rasanya seperti tabib telah menjawab doa-doaku!" Meski bertutur menggebu-gebu, Chaewon berhati-hati untuk tidak menyebut siapa tabib yang dimaksudnya. "Aku juga ingin membangkitkan kembali harapan orang-orang yang sakit. Kalau belajar dengan tekun, pasti bisa, kan?"

"Chaewon, pelankan suaramu." Yang Nyonya Kwon kehendaki, sebenarnya, adalah 'hentikan pembicaraan ini'. Bahkan ketika nama Yoonoh tidak disebutkan, keinginan Chaewon yang terlanjur diutarakan bisa saja membocorkan rahasia mereka jika dibahas lebih panjang.

Di lain pihak, Tuan Kim menyembunyikan pandang menyelidiknya dalam anggukan-anggukan pelan selama Chaewon bercerita. Sebagai seorang bangsawan, ia menginginkan putri belianya ini segera diperistri bangsawan lain agar dapat menjamin kesejahteraan dan kemurnian keturunan. Namun, ketertarikan sebesar ini jarang Chaewon tunjukkan, memaksanya mempertimbangkan lagi pandangan tentang pelajar wanita. Mungkin, ia akan mengirimkan putrinya ke Hansong—seperti si sulung—supaya Chaewon bisa belajar dengan tabib wanita. Jika Chaewon cukup terampil, siapa tahu Tuan Kim juga bisa mengukuhkan posisi di hati pejabat Hansong dan menaikkan martabat seluruh keluarga?

Anak sulung Tuan Kim merupakan satu dari pelajar sastra terbaik. Bukan mustahil Chaewon akan memiliki prestasi yang cemerlang juga—meskipun seorang perempuan. Kalau kerja mereka cukup bagus untuk dipanggil ke Hansong, Tuan Kim dan istrinya bisa saja diboyong kembali ke pusat pemerintahan, lalu mereka berempat akan hidup semakmur dulu.

The Bride's Eating Persimmon ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang